“Gejala itu ditunjukkan oleh situasi di mana kebenaran objektif atau yang sesuai fakta, kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik. Pemikiran masyarakat mengenai sesuatu justru dipengaruhi oleh emosi dan keyakinan pribadi,” tuturnya kepada Suara.com, Kamis (12/10/2017).
Prof DR Justin Sudarminta
Bagaimana kebenaran faktual “dipinggirkan” dan digantikan oleh “kebenaran versi sendiri” itu merebak? Sang profesor menyebut berita-berita palsu alias hoaks di media sosial maupun media massa juga turut memengaruhi hal tersebut.
“Kuatnya budaya pencitraan yang disebarluaskan lewat media sosial, serta industri rekayasa opini publik lewat penyebaran informasi yang palsu, membuat kabur mana yang asli dan mana yang palsu, mana yang benar dan mana yang salah, mana fakta mana opini,” terangnya.
Akibatnya, kata dia, masyarakat kontemporer Indonesia justru semakin permisif atau mewajarkan apa yang sesungguhnya sudah tak lagi wajar.
Misalnya, menyebar ujaran kebencian mengenai sesuatu dengan alasan hal itulah yang menurut keyakinannya merupakan kebenaran, meski tak sesuai fakta objektif.
Tak hanya itu, Profesor Sudar juga menunjukkan era pascakebenaran di Indonesia turut ditandai dengan pemakaian gaya bahasa eufemisme dalam hidup sehari-hari.
Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar, yang dianggap merugikan atau tidak menyenangkan. Padahal, bahasa yang “kasar” itulah yang tak menutupi fakta objektif.
Prof Sudar menuturkan, pemakaian gaya bahasa eufemisme itu guna menggangap wajar apa yang sesungguhnya sudah tidak wajar. Gaya bahasa seperti itu juga banyak dipakai para politikus atau narasumber media massa, untuk menutupi suatu fakta objektif.
Baca Juga: Poligami Selebriti, Media Massa Jadi 'Komprador' Patriarki
Misalnya, mengganti diksi ‘pernyataan yang salah’ dengan ‘keseo lidah’; ‘berita bohong’ menjadi ‘tidak sepenuhnya benar’; ‘daerah miskin’ menjadi ‘daerah tertinggal’; ‘bencana kelaparan’ menjadi ‘rawan pangan’; ‘kenaikan harga’ menjadi ‘penyesuaian harga’; ‘penggusuran’ diganti menjadi relokasi/penataan’; dan sebagainya.
Memeriksa Kebenaran
Julian Baggini, filsuf Amerika Serikat dan juga Pemimpin Redaksi majalah “The Philosophers' Magazine”, dalam artikelnya di The Guardian, Minggu 17 September 2017, mengatakan persoalan utama hoaks bukanlah mengenai apakah arti kebenaran itu sendiri.
“Masalah kita bukan terutama dengan arti kebenaran, tapi bagaimana dan oleh siapa kebenaran terbentuk,” tulisnya.
Ia menjelaskan, mayoritas orang mengklaim suatu kebenaran sangat mudah untuk diketahui karena berdasarkan asumsi sederhana.
“Asumsi yang dimaksud adalah, sebagian besar orang selalu menganggap benar mengenai apa yang dipikirannya, terlepas apakah yang dipikirkannya itu berdasarkan fakta objektif atau tidak. Keyakinan itu timbul karena mereka mengacu pada asumsi-asumsi yang sudah ada sejak dulu dan diturunkan lintas generasi,” tuturnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 September: Klaim Pemain 108-112 dan Hujan Gems
- Thom Haye Akui Kesusahan Adaptasi di Persib Bandung, Kenapa?
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Saham DADA Terbang 2.000 Persen, Analis Beberkan Proyeksi Harga
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
Pilihan
-
Profil Agus Suparmanto: Ketum PPP versi Aklamasi, Punya Kekayaan Rp 1,65 Triliun
-
Harga Emas Pegadaian Naik Beruntun: Hari Ini 1 Gram Emas Nyaris Rp 2,3 Juta
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sultan Tanjung Priok Cosplay Jadi Gembel: Kisah Kocak Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah Massa
-
Pajak E-commerce Ditunda, Menkeu Purbaya: Kita Gak Ganggu Daya Beli Dulu!
Terkini
-
Tak Mau PPP Terbelah, Agus Suparmanto Sebut Klaim Mardiono Cuma Dinamika Biasa
-
Zulhas Umumkan 6 Jurus Atasi Keracunan Massal MBG, Dapur Tak Bersertifikat Wajib Tutup!
-
Boni Hargens: Tim Transformasi Polri Bukan Tandingan, Tapi Bukti Inklusivitas Reformasi
-
Lama Bungkam, Istri Arya Daru Pangayunan Akhirnya Buka Suara: Jangan Framing Negatif
-
Karlip Wartawan CNN Dicabut Istana, Forum Pemred-PWI: Ancaman Penjara Bagi Pembungkam Jurnalis!
-
AJI Jakarta, LBH Pers hingga Dewan Pers Kecam Pencabutan Kartu Liputan Jurnalis CNN oleh Istana
-
Istana Cabut kartu Liputan Wartawan Usai Tanya MBG ke Prabowo, Dewan Pers: Hormati UU Pers!
-
PIP September 2025 Kapan Cair? Cek Nominal dan Ketentuan Terkini
-
PLN Perkuat Keandalan Listrik untuk PHR di WK Rokan Demi Ketahanan Energi Nasional
-
PN Jaksel Tolak Praperadilan, Eksekusi Terpidana Kasus Pencemaran Nama Baik JK Tetap Berlanjut