Pengacara orangtua Angeline dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kota Denpasar, Siti Sapurah, Selasa (16/6/2015). [suara.com/Luh Wayanti]
Pendamping Hukum Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Denpasar Siti Sapurah mengkritik sikap sebagian anggota kepolisian yang menangani kasus pelecehan seksual terhadap anak.
"Saya melihat empati mereka sangat kecil kepada korban, terus penegakan hukum yang sangat jauh dari keadilan yang di undang-undang perlindungan anak yang sudah disosialisasikan," ujar Siti kepada Suara.com, Jumat (1/12/2017).
Siti merupakan aktivis yang dulu pernah mendampingi keluarga bocah bernama Angeline di Denpasar . Angeline, bocah yang meninggal secara tragis. Saat ini, Siti masih menangani sejumlah kasus kekerasan terhadap anak.
Siti mengungkapkan kerap memarahi oknum yang berbicara dengan kata-kata yang kurang etis kepada korban pelecehan seksual.
"Misalnya aparat ngomong ini kan bapak kandungmu, apakah kamu tidak kasihan kalau dia dipenjara, nanti kamu nggak punya bapak diketawai sama teman-teman," kata Siti menirukan ucapan petugas.
"Ini kan bahasa-bahasa yang kurang ajar ya, yang selalu diberikan kepada anak-anak didepan penyidik," Siti menambahkan.
Siti meminta semua aparat dan masyarakat mempunyai mindset yang sama, terhadap anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual.
"Kadang-kadang korban dibawa 10 tahun itu masih bisa kita perjuangin bahasanya, kalau yang udah diatas 12 tahun pasti ditanya sama polisi: kamu menikmati nggak saat diperkosa," kata Siti.
Menurut dia sikap anggota yang demikian justru membuat para predator anak senang karena mendapatkan pembelaan.
Penanganan kasus pelecehan seksual membutuhkan keseriusan. Kasus semacam ini, kata Siti, sebagian besar tidak memiliki saksi mata. Siti menemukan kasus polisi menjadikan alasan ketiadaan saksi mata sebagai alasan tidak dapat menjerat pelaku.
"Seperti satu kasus yang saya dampingi, polisi tidak mau menangkap pelaku karena tidak adanya saksi mata. Kita harus mengubah mindset kita, bahwa kejadian seperti ini tidak mungkin ada saksi mata," kata Siti.
"Dimana polisi hanya melihat apakah vagina korban tidak robek, hanya dicolek saja luar vagina anak, maka sudah dinyatakan sebagai pelecehan seksual. Karena itu menyentuh badan yang tidak boleh disentuh," Siti menambahkan.
Siti juga mengatakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak kerap dijadikan panduan menangani kasus pelecehan seksual anak, padahal sudah ada Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang memuat perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
"Aparat seharusnya melihat Perppu Nomor 1 Tahun 2016, karena ada pasal-pasal yang menjerat pelaku yang lebih lama, ada yang 20 tahun sampai hukuman mati," ujar Siti.
Perppu Nomor 1 Tahun 2016 menjelaskan bahwa pidana yang melakukan pelecehan akan dipenjara selama lima tahun dan paling lama 15 tahun, sedangkan dalam kasus pelecehan yang dilakukan oleh anggota keluarga korban maka akan ditambah sepertiga dari awalnya.
"Kalau lima tahun dia (pelaku pelecehan) keluar dari penjara bisa saja dia melakukan hal tersebut lagi pada anggota keluarganya yang lain," ujar Siti.
"Bukan hanya undang-undang Nomor 35 tahun 2014 yang dilihat, tetapi juga Perppu Nomor 1 Tahun 2016," Siti menambahkan.
Kurang edukasi
Siti juga menekankan pentingnya edukasi orangtua terhadap anak tentang anggota tubuh yang bersifat privasi -- yang tidak diperbolehkan disentuh oleh orang lain.
"Kenapa ini semua bisa terjadi. karena secara edukasi orangtua merasa tabu untuk memperkenalkan badan privasi anak kepada anak, perlu sekali orangtua terutama seorang ibu untuk menjelaskan hal-hal tersebut," kata Siti.
Siti menjelaskan terdapat empat anggota tubuh yang harus dijaga yang tidak boleh disentuh oleh siapapun, di antara lain, mulut, bagian dada bagi perempuan, alat kelamin, dan lubang dubur.
Keempat bagian tubuh itu tidak diperbolehkan untuk disentuh ataupun diraba orang lain, apalagi dipaksa melakukan hubungan seksual.
"Harus dijelaskan kepada anak perempuan terutama, ini vagina harus dijaga, dikasih penjelasan agar anak-anak paham," kata Siti.
"Orangtua harus mengajarkan pada anak saat anak-anak sudah mulai bisa berbicara, jadi dijelasin kalau bagian ini tidak boleh disentuh orang lain," Siti menambahkan.
Anak-anak yang mengalami pelecahan seksual akan mengalami trauma sepanjang hidupnya. Lebih parah lagi, masa depan bakal terganggu.
"Intinya penegakan hukum dan mindset kita harus sama," kata Siti.
Kasus di Bali
Siti kemudian bercerita tentang situasi kasus pelecehan seksual di Pulau Dewata. Dia menyebut daerah ini menjadi surga bagi kaum pedofil.
Bali, kata dia, merupakan kota kedua setelah Jakarta yang tertinggi kasus pelecehan seksual.
"Lebih banyak di Jakarta, Bali kemudian di Medan,"tambahnya.
Menurut Siti persoalan di Bali pelik. Siti sangat khawatir dengan masa depan anak-anak di Bali.
"Ketika orang lokal melakukan pelecehan maka akan berusaha sekuat tenaga untuk dilindungi, agar nama baik tidak tercemar," ujar Siti. (Julistania)
"Saya melihat empati mereka sangat kecil kepada korban, terus penegakan hukum yang sangat jauh dari keadilan yang di undang-undang perlindungan anak yang sudah disosialisasikan," ujar Siti kepada Suara.com, Jumat (1/12/2017).
Siti merupakan aktivis yang dulu pernah mendampingi keluarga bocah bernama Angeline di Denpasar . Angeline, bocah yang meninggal secara tragis. Saat ini, Siti masih menangani sejumlah kasus kekerasan terhadap anak.
Siti mengungkapkan kerap memarahi oknum yang berbicara dengan kata-kata yang kurang etis kepada korban pelecehan seksual.
"Misalnya aparat ngomong ini kan bapak kandungmu, apakah kamu tidak kasihan kalau dia dipenjara, nanti kamu nggak punya bapak diketawai sama teman-teman," kata Siti menirukan ucapan petugas.
"Ini kan bahasa-bahasa yang kurang ajar ya, yang selalu diberikan kepada anak-anak didepan penyidik," Siti menambahkan.
Siti meminta semua aparat dan masyarakat mempunyai mindset yang sama, terhadap anak-anak yang menjadi korban pelecehan seksual.
"Kadang-kadang korban dibawa 10 tahun itu masih bisa kita perjuangin bahasanya, kalau yang udah diatas 12 tahun pasti ditanya sama polisi: kamu menikmati nggak saat diperkosa," kata Siti.
Menurut dia sikap anggota yang demikian justru membuat para predator anak senang karena mendapatkan pembelaan.
Penanganan kasus pelecehan seksual membutuhkan keseriusan. Kasus semacam ini, kata Siti, sebagian besar tidak memiliki saksi mata. Siti menemukan kasus polisi menjadikan alasan ketiadaan saksi mata sebagai alasan tidak dapat menjerat pelaku.
"Seperti satu kasus yang saya dampingi, polisi tidak mau menangkap pelaku karena tidak adanya saksi mata. Kita harus mengubah mindset kita, bahwa kejadian seperti ini tidak mungkin ada saksi mata," kata Siti.
"Dimana polisi hanya melihat apakah vagina korban tidak robek, hanya dicolek saja luar vagina anak, maka sudah dinyatakan sebagai pelecehan seksual. Karena itu menyentuh badan yang tidak boleh disentuh," Siti menambahkan.
Siti juga mengatakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak kerap dijadikan panduan menangani kasus pelecehan seksual anak, padahal sudah ada Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang memuat perubahan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
"Aparat seharusnya melihat Perppu Nomor 1 Tahun 2016, karena ada pasal-pasal yang menjerat pelaku yang lebih lama, ada yang 20 tahun sampai hukuman mati," ujar Siti.
Perppu Nomor 1 Tahun 2016 menjelaskan bahwa pidana yang melakukan pelecehan akan dipenjara selama lima tahun dan paling lama 15 tahun, sedangkan dalam kasus pelecehan yang dilakukan oleh anggota keluarga korban maka akan ditambah sepertiga dari awalnya.
"Kalau lima tahun dia (pelaku pelecehan) keluar dari penjara bisa saja dia melakukan hal tersebut lagi pada anggota keluarganya yang lain," ujar Siti.
"Bukan hanya undang-undang Nomor 35 tahun 2014 yang dilihat, tetapi juga Perppu Nomor 1 Tahun 2016," Siti menambahkan.
Kurang edukasi
Siti juga menekankan pentingnya edukasi orangtua terhadap anak tentang anggota tubuh yang bersifat privasi -- yang tidak diperbolehkan disentuh oleh orang lain.
"Kenapa ini semua bisa terjadi. karena secara edukasi orangtua merasa tabu untuk memperkenalkan badan privasi anak kepada anak, perlu sekali orangtua terutama seorang ibu untuk menjelaskan hal-hal tersebut," kata Siti.
Siti menjelaskan terdapat empat anggota tubuh yang harus dijaga yang tidak boleh disentuh oleh siapapun, di antara lain, mulut, bagian dada bagi perempuan, alat kelamin, dan lubang dubur.
Keempat bagian tubuh itu tidak diperbolehkan untuk disentuh ataupun diraba orang lain, apalagi dipaksa melakukan hubungan seksual.
"Harus dijelaskan kepada anak perempuan terutama, ini vagina harus dijaga, dikasih penjelasan agar anak-anak paham," kata Siti.
"Orangtua harus mengajarkan pada anak saat anak-anak sudah mulai bisa berbicara, jadi dijelasin kalau bagian ini tidak boleh disentuh orang lain," Siti menambahkan.
Anak-anak yang mengalami pelecahan seksual akan mengalami trauma sepanjang hidupnya. Lebih parah lagi, masa depan bakal terganggu.
"Intinya penegakan hukum dan mindset kita harus sama," kata Siti.
Kasus di Bali
Siti kemudian bercerita tentang situasi kasus pelecehan seksual di Pulau Dewata. Dia menyebut daerah ini menjadi surga bagi kaum pedofil.
Bali, kata dia, merupakan kota kedua setelah Jakarta yang tertinggi kasus pelecehan seksual.
"Lebih banyak di Jakarta, Bali kemudian di Medan,"tambahnya.
Menurut Siti persoalan di Bali pelik. Siti sangat khawatir dengan masa depan anak-anak di Bali.
"Ketika orang lokal melakukan pelecehan maka akan berusaha sekuat tenaga untuk dilindungi, agar nama baik tidak tercemar," ujar Siti. (Julistania)
Komentar
Berita Terkait
-
Gelar Pangeran Andrew Dicabut Gegara Pelecehan Seksual, Keluarga Giuffre Beri Respon Sinis
-
Kapolda Metro Jaya Perintahkan Propam Tindak Polisi Pelaku Catcalling di Kebayoran Baru
-
Heboh Polisi Berpeci Catcalling Cewek Sepulang Pilates, Begini Pengakuan Korban!
-
Usai Dibui Gegara Kasus Pelecehan Seksual, Dani Alves Mendadak Jadi Alim
-
Anya Geraldine Buka Kisah Lama, Nyaris Jadi Korban Pelecehan Seksual saat SMP
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Jenderal TNI Muncul di Tengah Konflik Lahan Jusuf Kalla vs GMTD, Apa Perannya?
-
Geger Keraton Solo: Putra PB XIII Dinobatkan Mendadak Jadi PB XIV, Berujung Walkout dan Keributan
-
Cetak 33 Gol dari 26 Laga, Pemain Keturunan Indonesia Ini Siap Bela Garuda
-
Jawaban GoTo Usai Beredar Usul Patrick Walujo Diganti
-
Waduh, Rupiah Jadi Paling Lemah di Asia Lawan Dolar Amerika Serikat
Terkini
-
Hormati Putusan MK, Polri Siapkan Langkah Operasional Penataan Jabatan Eksternal
-
Istana Pastikan Patuhi Putusan MK, Polisi Aktif di Jabatan Sipil Wajib Mundur
-
Polemik Internal Gerindra: Dasco Sebut Penolakan Budi Arie Dinamika Politik Biasa
-
KPK Usut Korupsi Kuota Haji Langsung ke Arab Saudi, Apa yang Sebenarnya Dicari?
-
Boni Hargens: Putusan MK Benar, Polri Adalah Alat Negara
-
Prabowo Disebut 'Dewa Penolong', Guru Abdul Muis Menangis Haru Usai Nama Baiknya Dipulihkan
-
Satu Tahun Pemerintahan Prabowo, Sektor Energi hingga Kebebasan Sipil Disorot: Haruskah Reshuffle?
-
Hendra Kurniawan Batal Dipecat Polri, Istrinya Pernah Bersyukur 'Lepas' dari Kepolisian
-
400 Tersangka 'Terlantar': Jerat Hukum Gantung Ratusan Warga, Termasuk Eks Jenderal!
-
Respons Pimpinan DPR Usai MK Larang Polisi Aktif di Jabatan Sipil, Apa Katanya?