Suara.com - Komisi Nasional Perempuan menilai usia reformasi Indonesia yang menginjak tahun ke-20 belum memperlihatkan adanya Pemajuan dan Pemenuhan HAM Perempuan serta Pembangunan Perdamaian. Kerangka kebijakan yang disusun pemerintah masih diskriminasi.
Komisioner Komnas Perempuan Yuniyati Chuzaifahdi mengatakan meski memperlihatkan adanya perubahan dalam kebijakan untuk penyikapan berbagai konteks konflik di Indonesia. Tetapi kemajuan tersebut belum memberikan manfaat yang optimal untuk pemenuhan HAM perempuan khususnya korban konflik dan untuk membangun perdamaian yang sejati.
"Hal ini disebabkan karena kerangka kebijakan yang tersedia masih memuat kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran yang justru menghalangi negara untuk dapat menyelesaikan konflik secara tuntas, termasuk memulihkan hak-hak perempuan korban," kata Yuniyati Chuzaifah di Jakarta, Rabu (23/5/2018).
Menurut dia kebijakan penyikapan konflik yang secara bersamaan memuat kemajuan, kesenjangan, kontradiksi dan kemunduran tersebut adalah konsekuensi dari politik hukum yang mencerminkan proses reformasi yang mengalami defisit demokrasi, akibat maraknya praktik politik transaksional, primordial, korupsi, dan penggunaan politik identitas yang mempertebal intoleransi.
Di samping itu, model pembangunan yang masih menguntungkan sebagian saja dari masyarakat, mengutamakan pendekatan keamanan dalam penanganan gugatan warga, serta minim pelibatan substantif bagi perempuan maupun golongan-golongan masyarakat lain yang selama ini dipinggirkan, turut menghadirkan peluang bagi lahirnya kebijakan yang diskriminatif.
"Situasi ini diperburuk dengan mekanisme desentralisasi yang belum dilengkapi dengan sistem pengawasan yang mumpuni," kata dia.
Dia menyebut, cara pandang dan pendekatan negara terhadap perdamaian yang bersifat pragmatis menghasilkan produk dan implementasi kebijakan yang justru berpotensi menghadirkan konflik baru dan mengukuhkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan struktural, termasuk antara laki-laki dan perempuan.
Selain itu, komitmen politik yang tidak konsisten, kapasitas penyelenggara negara yang terbatas, serta cara kerja yang belum koordinatif, menyebabkan mekanisme dan institusi penyikapan konflik yang dibentuk tidak bekerja maksimal.
"Ini membuat program penanganan konflik serta dampaknya menjadi kurang efektif, minim inovasi, dan abai pada pengalaman khas perempuan dalam konflik," kata Yuniyati.
Kepemimpinan perempuan dan masyarakat sipil dalam menyikapi konflik, akar penyebab, dan dampaknya, belum didukung dengan kerangka kebijakan afirmasi yang optimal. Bahkan sebaliknya dibatasi dengan kebijakan yang administratif-birokratis, mendiskriminasi, dan bahkan mengkriminalkan.
Berdasar temuan tersebut, maka Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi kepada negara agar melakukan penyikapan konflik secara holistik ke dalam Rencana Pembangunan Nasional (RPJP 2020-2045 dan RPJMN 2020 -2025).
"Ini dilakukan untuk memastikan tujuan pembangunan yang inklusif dan perdamaian yang berkelanjutan dapat dicapai, terutama dengan memprioritaskan program-program yang dapat mengantisipasi berbagai bentuk kerentanan baru dan mencegah konflik berulang," kata Ketiga Komnas Perempuan Azriana.
Perlu juga mengembangkan cara kerja yang lebih komprehensif dan holistik dalam penyikapan konflik, termasuk membangun pemahaman yang utuh, kritis dan relektif mengenai konflik dan faktor-faktor di tingkat makro maupun mikro.
Indriyati Suparno, Komisioner Komnas Perempuan lainnya menyebut pemerintah harusnya bisa saling melengkapi terobosan-terobosan dari kebijakan-kebijakan yang telah ada, untuk mengatasi kesenjangan kebijakan dan memastikan pemanfaatan optimal dari kemajuan-kemajuan yang tersedia di dalam kebijakan, bagi kepentingan pemenuhan hak korban dan pembangunan perdamaian.
"Menguatkan perlindungan dan pertanggungjawaban hukum dalam penyikapan konflik, termasuk mengembangkan mekanisme untuk memastikan dijalankannya putusan pengadilan yang telah inkrah oleh pemerintah, sebagai bagian dari langkah penyelesaian tuntas konflik," kata Indri.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pecah Bisu Setelah Satu Dekade, Ayu Ting Ting Bongkar Hubungannya dengan Enji Baskoro
- 17 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 20 September: Klaim Pemain 110-111 dan Jutaan Koin
- Nasib Aiptu Rajamuddin Usai Anaknya Pukuli Guru, Diperiksa Propam: Kau Bikin Malu Saya!
- Korban Keracunan MBG di Yogyakarta Nyaris 1000 Anak, Sultan Akhirnya Buka Suara
- Momen Thariq Halilintar Gelagapan Ditanya Deddy Corbuzier soal Bisnis
Pilihan
-
Rapor Dean James: Kunci Kemenangan Go Ahead di Derby Lawan PEC Zwolle
-
Nostalgia 90-an: Kisah Tragis Marco Materazzi yang Nyaris Tenggelam di Everton
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan Memori 256 GB Terbaru September 2025
-
Perbandingan Spesifikasi Redmi 15C vs POCO C85, Seberapa Mirip HP 1 Jutaan Ini?
-
Rapor Pemain Buangan Manchester United: Hojlund Cetak Gol, Rashford Brace, Onana Asisst
Terkini
-
KPK Bantah Intervensi dari Istana Gegara Belum Tetapkan Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji
-
Skandal DPRD Gorontalo: "Rampok Uang Negara" dan Selingkuh, Anggota PDIP Ini Langsung Dipecat!
-
Panglima TNI Beberkan Alasan TNI Tambah Alutsista Baru, 'Harimau Besi' yang Mengerikan!
-
Jokowi Perintahkan Relawan Dukung Prabowo-Gibran 2 Periode, Loyalis Malah Beri Jawaban Menohok?
-
Mengupas MDIS: Kampus Singapura Tempat Gibran Raih Gelar Sarjana, Ijazahnya Ternyata dari Inggris!
-
Minta Satpol PP Tak Pakai Kekerasan, Mendagri Tito: Biar Didukung Publik
-
Anak Mantan Bupati Koruptor Kini Dipecat PDIP: Jejak Skandal DPRD Viral "Rampok Uang Negara"
-
7 Klausul Surat Perjanjian MBG SPPG Sleman: dari Rahasiakan Keracunan hingga Ganti Rugi Rp80 Ribu
-
Tiga Kecelakaan Transjakarta dalam Sebulan, Pemprov DKI Fokus Perbaikan Human Factor
-
Serangan Roy Suryo! Sebut Ijazah S1 Gibran Palsu Beli di Website, Samakan IQ Rendah dengan Jokowi