Suara.com - Presiden Joko Widodo secara beruntun melangsungkan tiga pertemuan berbeda dengan ketua umum dari partai non-pendukung di Istana. Hal itu dinilai menjadi bagian dari manuver politik Jokowi demi menambah dukungan bagi koalisi pemerintah.
Jokowi belum lama ini menggelar pertemuan dengan Ketum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Ketum Gerindra Prabowo Subianto, dan terakhir Ketum PAN Zulikifli Hasan. Gerindra terlihat yang paling intens. Di mana Prabowo berlanjut safari pertemuan dengan sejumlah pimpinan parpol koalisi Jokowi.
Jayadi Hanan pengamat politik dari Saiful Mujani Research and Consulting mengatakan, atas dasar itu pula peluang Gerindra bergabung koalisi lebih besar dibanding Demokrat dan PAN.
“Jadi memang tiga partai ini Gerindra, Demokrat dan PAN memang masih ada peluangnya untuk masuk, cuma tampaknya yang paling intensif kan Gerindra tuh lobinya, sudah ketemu Megawati, Prabowo-nya sudah ketemu Jokowi, sekarang dia ketemu dengan partai-partai yang tampaknya tidak setuju Gerindra masuk,” kata Jayadi kepada Suara.com, Selasa (15/10/2019).
Menurutnya, peluang partai-partai non-pendukung bergabung koalisi terbuka lebar karena dibarengi dengan keinginan Jokowi untuk membuat koalisi menjadi gemuk dengan tambahan dari partai non-pendukung. Meski saat ini sudah disokong oleh lima partai, PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, dan PPP di parlemen, namun hal tersebut masih dirasa kurang.
Jayadi melihat ada hitung-hitungan tersendiri mengapa Jokowi ingin menambah satu atau dua partai bergabung dengan koalisi. Salah satu alasannya ialah untuk mem-backup sejumlah kebijakan ekskutif di parlemen bila ada partai di dalam koalisi yang membelot dari kebijakan Jokowi.
"Mungkin dia ingin jaga-jaga kalau kalau ada partai yang membelot salah satu, kalau cuma lima, kan kalau satu membelot tinggal empat. Tapi kalau partainya enam atau tujuh, kalau ada satu yang membelot misalnya kebijakan tertentu kan masih ada enam atau lima. Jadi itu salah satu cara mengamankan dukungan politik dari segi jumlah partai di DPR,” Jayadi menjelaskan.
Sebab bukan tidak mungkin ke depannya Jokowi bakal tersendat lantaran ketidaksetujuan partai koalisi di parlemen terhadap kebijakan yang bakal ia ambil. Untuk memuluskan kebijakan itu, tentunya Jokowi perlu suara mayoritas.
Partai anggota koalisi yang membelot dalam kebijakan tertentu kan biasa dalam sistem kita. Di zaman SBY, PKS suka beda dengan pemerintah padahal anggota koalisi.
Baca Juga: Luhut Sebut Gerindra Jadi Koalisi Jokowi untuk Kepentingan Bangsa
"Di zaman Jokowi ini PAN kan sering beda dengan pemerintah meskipun anggota koalisi, kan kemungkinan itu pasti ada. Jadi untuk mencegah supaya kalau ada pembelotan dari partai dalam kebijakan tertentu itu,” kata Jayadi.
Ia kemudian menyebutkan sejumlah kebijakan ekskutif Jokowi yang memerlukan dukungan partai politik di legislatif. Misalnya soal pemindahan ibu kota, infrastruktur, utang luar negeri, pajak hingga APBN yang semuanya harus melalui persetujuan oleh DPR.
“Jadi itu logika politik ya mungkin dipakai mengapa ada upaya untuk menambah jumlah anggota koalisi Jokowi,” tandasnya.
Berita Terkait
-
Herlambang Wiratraman: Tanpa Penyeimbang, Potensi Otoritarianisme Menguat
-
Mahathir Mohamad hingga Utusan Donald Trump Bakal Hadiri Pelantikan Jokowi
-
Menanti Dilantik jadi Wapres, Maruf Amin Ngaku Deg-degan
-
Ingin Tetap Independen, Alasan Jokowi Tak Libatkan KPK Seleksi Menteri
-
Bakal Dilantik Wapres, Maruf Amin: Saya Tetap Ketua MUI Non Aktif
Terpopuler
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Mobil Diesel Bekas di Bawah 100 Juta, Mobil Badak yang Siap Diajak Liburan Akhir Tahun 2025
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Saham Entitas Grup Astra Anjlok 5,87% Sepekan, Terseret Sentimen Penutupan Tambang Emas Martabe
-
Pemerintah Naikkan Rentang Alpha Penentuan UMP Jadi 0,5 hingga 0,9, Ini Alasannya
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
-
Peresmian Proyek RDMP Kilang Balikpapan Ditunda, Bahlil Beri Penjelasan
-
Resmi Melantai di Bursa, Saham Superbank Melambung Tinggi
Terkini
-
Prabowo Kunjungan di Sumatra Barat, Tinjau Penanganan Bencana dan Pemulihan Infrastruktur
-
Viral Tumpukan Sampah Ciputat Akhirnya Diangkut, Pemkot Tangsel Siapkan Solusi PSEL
-
KPK Buka Peluang Periksa Istri Ridwan Kamil di Kasus Korupsi Bank BJB, Sebut Perceraian Tak Pengaruh
-
Membara Kala Basah, Kenapa Kebakaran di Jakarta Justru Meningkat Saat Hujan?
-
Keroyok 'Mata Elang' Hingga Tewas, Dua Polisi Dipecat, Empat Lainnya Demosi
-
Disebut-sebut di Sidang Korupsi Chromebook: Wali Kota Semarang Agustina: Saya Tak Terima Apa Pun
-
Kemenbud Resmi Tetapkan 85 Cagar Budaya Peringkat Nasional, Total Jadi 313
-
Bukan Sekadar Viral: Kenapa Tabola Bale dan Tor Monitor Ketua Bisa Menguasai Dunia Maya?
-
Muncul SE Kudeta Gus Yahya dari Kursi Ketum PBNU, Wasekjen: Itu Cacat Hukum!
-
Drone Misterius, Serdadu Diserang: Apa yang Terjadi di Area Tambang Emas Ketapang?