Suara.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) turut menyoroti soal gugatan seorang wali murid bernama Yustina ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Yustina menggugat pihak SMA Gonzaga karena anaknya tidak naik kelas.
Komisioner KPAI bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengatakan kasus SMA Gonzaga itu bukanlah yang pertama kali terjadi. Ia menganggap permasalahan itu harus diselesaikan lewat jalur mediasi.
Ia menjelaskan pada tahun 2017, orangtua salah seorang siswi di salah satu SMA negeri di kota Bandung juga mempersoalkan hal yang sama. Pasalnya anak tersebut mendapatkan nilai nol pada satu mata pelajaran.
Menurutnya kasus tersebut janggal karena seharusnya dalam Permendikbud terkait penilaian Kurikulum 2013, pendidik tidak diperkenankan memberikan nilai nol di rapor hasil belajar. Anak tersebut juga mendapatkan nilai yang baik pada mata pelajaran lain.
"Bahkan pernah ikut olimpiade biologi mewakili sekolahnya. Anak itu akhirnya naik kelas dan memutuskan pindah ke sekolah lain," ujar Retno dalam keterangan tertulis, Kamis (31/10/2019).
Lalu Tahun 2019, orangtua siswa berinisial A di salah satu SMA negeri di Sembalun, Lombok Timur (NTB) diputuskan rapat dewan guru tidak lulus. Namun, kata Retno, penyebab tidak lulus bukanlah nilai, melainkan karena perilaku A yang dianggap tidak santun kepada kepala sekolah dan wakil kepala sekolah lantaran kerap mengkritisi kebijakan sekolah.
Berdasarkan hasil pengawasan langsung KPAI banyak kejanggalan atas keputusan sekolah. Ombudsman NTB disebut Retno juga menemukan maladministrasi dalam proses rapat kelulusan siswa.
"Akhirnya dilakukan rapat dewan guru kembali untuk menganulir keputusan sekolah yang awalnya tidak meluluskan A menjadi meluluskan," jelasnya.
Berdasarkan dua kasus yang sudah terjadi itu, Retno menyatakan KPAI mengeluarkan sikap sebagai berikut :
Baca Juga: KPAI: Hampir 40 Persen Anak-anak Hadir di Lokasi Demo
Pertama, KPAI menghormati gugatan yang dilayangkan seorang ibu karena anaknya diputuskan tidak naik kelas dalam rapat dewan guru di salah satu SMA swasta di DKI Jakarta. Sebagai warga Negara berhak menggunakan haknya mencari keadilan, namun apapun keputusan pengadilan nantinya juga harus dihormati siapapun. Tentu sang ibu berani melakukan gugatan ke pengadilan karena memiliki alasan yang cukup menurut keyakinannya. Karena Indonesia Negara hukum, maka kita ikuti proses hukum ini.
Kedua, Dalam Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen pasal 14 ayat 1 menyatakan, bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru memiliki 12 hak, salah satunya ada dalam point ke-6 yaitu “Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan”. Artinya, sekolah dan para guru memiliki kewenangan dalam memberikan nilai dan memberikan sanksi sepanjang hal tersebut sesuai dengan fakta/data yang bisa dipertanggungjawabkan, sesuai dengan norma, kode etik dan peraturan perundangan lainnya yang terkait.
Ketiga, Peraturan perundangan juga menjamin bahwa rapat dewan pendidik dalam memberikan sanksi dan nilai tidak dapat digugat ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), Namun kasus ini bukan di PTUN, tetapi jenis gugatan perdata karena menggugat merasa ada kerugian material dan immaterial yang ditanggungnya. Dari dampak anaknya tidak naik kelas. Sepanjang dewan guru dan sekolah sudah menjalankan semua tusi (tugas dan fungsi) dengan benar maka keputusan tersebut tentunya akan dapat dipertanggungjawabkan di muka pengadilan.
Keempat, Dalam pernyataannya, pihak Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sudah mengajak pihak sekolah dan orangtua untuk melakukan mediasi, namun ajakan mediasi ditolak pihak sekolah. Dengan demikian kasus ini akan bergulir di pengadilan, hakim yang diminta memutuskan perkara ini. Demi kepentingan terbaik bagi anak dan agar anak segera bisa melanjutkan pendidikannya, KPAI justru berharap sekolah dan orangtua bersedia di mediasi oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta atau bisa juga mediasi dengan KPAI sebagai mediatornya, karena KPAI memiliki 8 Mediator bersertifikat Mahkamah Agung (MA) khusus mediator sengketa anak.
Berita Terkait
Terpopuler
- Selamat Datang Elkan Baggott Gantikan Mees Hilgers Bela Timnas Indonesia, Peluangnya Sangat Besar
- KPK: Perusahaan Biro Travel Jual 20.000 Kuota Haji Tambahan, Duit Mengalir Sampai...
- Jangan Ketinggalan Tren! Begini Cara Cepat Ubah Foto Jadi Miniatur AI yang Lagi Viral
- Hari Pelanggan Nasional 2025: Nikmati Promo Spesial BRI, Diskon Sampai 25%
- Maki-Maki Prabowo dan Ingin Anies Baswedan Jadi Presiden, Ibu Jilbab Pink Viral Disebut Korban AI
Pilihan
-
Dari Anak Ajaib Jadi Pesakitan: Ironi Perjalanan Karier Nadiem Makarim Sebelum Terjerat Korupsi
-
Nonaktif Hanya Akal-akalan, Tokoh Pergerakan Solo Desak Ahmad Sahroni hingga Eko Patrio Dipecat
-
Paspor Sehari Jadi: Jurus Sat-set untuk yang Kepepet, tapi Siap-siap Dompet Kaget!
-
Kunker Dihapus, Pensiun Jalan Terus: Cek Skema Lengkap Pendapatan Anggota DPR Terbaru!
-
Waktu Rujuk Hampir Habis! Jumat Minggu Depan Pratama Arhan Harus Ikrar Talak ke Azizah Salsha
Terkini
-
Transjakarta Tabrak Toko Akibat Sopir Kurang Konsentrasi, Satu Orang Luka-luka
-
SBY Bicara soal Demo 10 Hari Terakhir: Menyadarkan Kita Harus Jaga Dialog dan Kebersamaan
-
Kekayaan Bos Gudang Garam Terjun Bebas, Video Badai PHK Massal Viral!
-
Deodoran hingga Celana Dalam Delpedro Nyaris Disita Polisi, Lokataru: Upaya Cari-cari Kesalahan!
-
Geger Jaket Berisi Ratusan Butir Peluru di Sentani Jayapura, Siapa Pemiliknya?
-
Dikenal Licin, Buronan Asal Maroko Kasus Penculikan Anak Tertangkap usai Sembunyi di Jakarta
-
Prabowo Pertahankan Kapolri usai Ramai Desakan Mundur, Begini Kata Analis
-
Icang, Korban Congkel Mata di Bogor Meninggal Dunia
-
Gibran Dikritik Habis: Sibuk Bagi Sembako, Padahal Aksi Demonstrasi Memanas
-
Wajib Skrining BPJS Kesehatan Mulai September 2025, Ini Tujuan dan Caranya