Suara.com - Komnas HAM memutuskan tragedi penembakan di Paniai, Papua yang terjadi pada 7-8 Desember 2014, termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Merespons keputusan Komnas HAM, Ketua Setara Institute Hendardi menyebut, klaim yang menyatakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak ada pelanggaran HAM sudah terpatahkan. Sebab, tragedi berdarah tersebut terjadi pada era kekuasaan Jokowi.
"Klaim bahwa selama kepemimpinan Jokowi tidak pernah lagi ada pelanggaran HAM berat, sebagaimana disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD, terbantahkan oleh pengumuman Komnas HAM yang dalam Rapat Paripurna memutuskan bahwa kasus Paniai merupakan pelanggaran HAM berat," kata Hendardi melalui keterangan tertulisnya pada Selasa (18/2/2020).
Hendardi menjelaskan, keputusan paripurna Komnas HAM adalah produk kerja penegakan hukum yang harus direspons Kejaksaan Agung sebagai penyidik kasus pelanggaran HAM berat. Hal tersebut merujuk pada Undang-undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Sesuai UU 26 Tahun 2000, Kejaksaan Agung akan melakukan penyidikan dan paralel dengan kerja penyidikan, Presiden Jokowi harus membentuk pengadilan HAM," sambungnya.
Hendardi menyebut, silang pendapat antara Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko dan Komnas HAM setelah pengumuman status kasus Paniai bukanlah sikap produktif. Untuk itu, dia meminta Komnas HAM untuk fokus memperkuat laporan dan pemerintah diminta untuk tidak reaktif.
"Komnas HAM sebaiknya fokus memperkuat laporan penyelidikan, yang biasanya oleh Kejaksaan Agung selalu dilemahkan. Sedangkan pemerintah yang diwakili Moeldoko tidak perlu reaktif," katanya.
Pernyataan Politik
Hendardi menuding, pernyataan Komnas HAM maupun Moeldoko adalah pernyataan politik. Sebab, ada kepentingan masing-masing pihak dalam memandang tragedi berdarah ini.
Baca Juga: Komnas HAM Sebut Pernyataan Moeldoko Soal Paniai Termasuk Politis
"Baik pernyataan Komnas HAM maupun pernyataan Kepala KSP, keduanya adalah pernyataan politik. Jika Komnas HAM sedang menjalankan politik penegakan HAM, maka Kepala KSP sedang menjalankan peran politik melindungi rezim."
Untuk itu, Hendardi menilai peran Kejaksaan Agung menjadi penting dalam hal ini. Kecepatan dalam menetapkan status akan menyajikan jawaban yang lebih presisi.
"Kecepatan Kejaksaan Agung menetapkan status kasus ini akan menyajikan jawaban yang lebih presisi," ungkapnya.
Sebelumnya, Komnas HAM RI memastikan peristiwa penembakan di Paniai, Papua pada 2014 termasuk ke dalam kategori pelanggaran HAM berat.
Dengan demikian, peristiwa pembantaian rakyat Papua di Paniai, Desember 2014 itu adalah pelanggaran HAM berat pertama pada era kekuasaan Presiden Jokowi.
Komnas HAM berharap, peristiwa yang mengakibatkan 4 anak Papua tewas dan belasan lainnya luka tembak tersebut bisa diselesaikan melalui pengadilan.
Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik mengatakan, keputusan itu merupakan hasil sidang paripurna khusus Komnas HAM yang digelar pada 3 Februari 2020.
Dalam sidang itu, sempat dipaparkan hasil penyelidikan tim adhoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai yang sudah bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
"Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripuma peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM," kata Taufan di Kantor Komnas HAM RI, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2020).
Ketua tim adhoc penyelidikan berat HAM peristiwa Paniai, yakni Choirul Anam menuturkan, peristiwa tersebut sudah memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan.
"Unsur pembunuhan sistematis atau meluas dan ditujukan kepada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi," ujar Choirul.
Selain anggota TNI, tim penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat.
Berita Terkait
-
Painai Berdarah Masuk Pelanggaran HAM Berat, Mahfud: Belum Sampai Suratnya
-
Komnas HAM Sebut Pernyataan Moeldoko Soal Paniai Termasuk Politis
-
Komnas HAM: Ada Upaya halangi Proses Hukum Tragedi Paniai Berdarah
-
Paniai Berdarah Jadi Pelanggaran HAM Berat, Moeldoko: Tak Tersistematis
-
Resmi! Pelanggaran HAM Berat Pertama Rezim Jokowi: Paniai Berdarah
Terpopuler
- KPU Tak Bisa Buka Ijazah Capres-Cawapres ke Publik, DPR Pertanyakan: Orang Lamar Kerja Saja Pakai CV
- Cara Edit Foto Pernikahan Pakai Gemini AI agar Terlihat Natural, Lengkap dengan Prompt
- Anak Jusuf Hamka Diperiksa Kejagung Terkait Dugaan Korupsi Tol, Ada Apa dengan Proyek Cawang-Pluit?
- Dedi Mulyadi 'Sentil' Tata Kota Karawang: Interchange Kumuh Jadi Sorotan
- Ditunjuk Jadi Ahli, Roy Suryo Siapkan Data Akun Fufufafa Dukung Pemakzulan Gibran
Pilihan
-
Belajar dari Cinta Kuya: 5 Cara Atasi Anxiety Attack Saat Dunia Terasa Runtuh
-
Kritik Menkeu Purbaya: Bank Untung Gede Dengan Kasih Kredit di Tempat yang Aman
-
PSSI Diam-diam Kirim Tim ke Arab Saudi: Cegah Trik Licik Jelang Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026
-
Pemain Eropa Telat Gabung, Persiapan Timnas Indonesia Terancam Kacau Jelang Hadapi Arab Saudi
-
STY Sudah Peringati Kluivert, Timnas Indonesia Bisa 'Dihukum' Arab Saudi karena Ini
Terkini
-
DPR Acungi Jempol, Sebut KPU Bijak Usai Batalkan Aturan Kontroversial
-
Manuver Comeback dari Daerah: PPP Solok 'Sodorkan' Epyardi Asda untuk Kursi Ketua Umum
-
Mengapa Penculik Kacab Bank BUMN Tak Dijerat Pasal Pembunuhan Berencana? Ini Logika Hukum Polisi
-
PT Gag Nikel di Raja Ampat Kembali Beroperasi, Komisi XII DPR: Tutup Sebelum Cemari Geopark Dunia!
-
KPK Dinilai 'Main Satu Arah', Tim Hukum Rudy Tanoe Tuntut Pembatalan Status Tersangka
-
Mendagri Sambut Kunjungan CIO Danantara, Bahas Pendidikan dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan
-
Nasib 7 Pekerja Freeport Tertimbun Longsor: Titik Terang Belum Juga Muncul, Komunikasi Terputus!
-
Kronologi Sadis Penculikan Kacab Bank BUMN: Kopda FH Sempat Ancam Lepas Korban Gegara Hal Ini!
-
Setelah Bikin Blunder, KPU Minta Maaf karena Aturan Rahasia Ijazah Capres
-
Uang Pengembalian Khalid Basalamah Berubah Jadi Sitaan Korupsi Kuota Haji? KPK: Nanti Kami Jelaskan