Suara.com - Di wilayah kumuh Govandi di timur Mumbai, India, Anjum Shaikh, 27 tahun, telah cukup mendengar tentang pandemi virus corona alias Covid-19. Dia pun menyadari harus mencuci tangan secara teratur untuk menghindari infeksi.
Namun air tidak mengalir di bangunan satu lantai yang dia sebut rumah. Agar bisa memperoleh air, dia mesti membayar tetangga agar bisa mengakses kerannya. Itu pun cuma selama 7 menit pada jam 04.00 pagi waktu setempat dengan intensitas tiga kali seminggu.
“Jika saya tidak bangun tepat waktu, saya akan dibiarkan tanpa air. Jadi, hari-hari ketika giliran saya mengisi air, saya tidak tidur,” katanya seperti disadur Suara.com dari laman South China Morning Post, Rabu (22/4/2020).
Begadang bukan satu-satunya masalah Shaikh. Seperti halnya corona yang sudah menginfeksi 99 penghuni kawasan kumuh tersebut, pemukiman Govandi yang diihuni sekitar 800 ribu penduduk juga merupakan klaster infeksi untuk penyakit mematikan lainnya: TBC.
Pada 2019 saja, sekitar 2.000 kasus TB aktif terjadi di daerah tersebut, berdasarkan data resmi pemerintah. Penduduk setempat meyakini jumlah sebenarnya lebih tinggi ketimbang data yang dilaporkan pemerintah. Diperkirakan 1 dari 10 penghuni sudah terinfeksi.
Meski perhatian di tengah pandemi saat ini tertuju ke Dharavi, daerah kumuh paling terkenal di Mumbai, para pejabat secara pribadi mengakui lebih khawatir tentang Govandi, meski kekinian memiliki lebih sedikit kasus yang dikonfirmasi Covid-19.
Kondisi ini membuat kawasan kumuh Govandi berpotensi menjadi lokasi ledakan pandemi atau outbreak corona. Secara resmi, sekitar 31 ribu orang tinggal di setiap kilometer persegi lingkungan itu, yang memiliki indeks pembangunan manusia terendah di wilayah mana pun di kota itu, menurut UN Development 2009.
Sebuah laporan pada 2015 oleh organisasi nirlaba lokal Apnalaya menemukan lebih dari separuh anak-anak di daerah kumuh mengalami hambatan dalam pertumbuhan. Sebanyak 44 persen kekurangan berat badan. Umur rata-rata hanya 39 tahun, dibandingkan dengan rata-rata nasional 67,9.
Bangunan di sana berbentuk rumah petak satu kamar yang tidak memiliki toilet, sinar matahari, dan ventilasi buruk. Sebuah survei di daerah yang dilakukan tahun lalu menemukan satu toilet per 1.230 orang. Parahnya, 65 persen fasilitas di sana tidak terhubung ke sistem pembuangan kotoran.
Baca Juga: Jeritan Pekerja Migran India Saat Covid-19, Tak Bisa Pulang dan Kelaparan
Selama beberapa dekade, pihak berwenang menolak memasok air minum untuk penghuni rumah di daerah kumuh yang dibangun tanpa izin. Meski keputusan Pengadilan Tinggi Bombay pada 2014 resmi mengakhiri praktik ini, menyambung ke saluran air masih merupakan proses yang mahal dan memakan waktu.
Lebih dari setengah orang di Govandi tidak memiliki akses langsung ke air minum. Mereka mesti merogoh kocek cukup dalam untuk membeli air dari orang lain. Apalagi, kekinian banyak pengangguran dan tabungan menipis setelah lockdown di India. Alhasil, banyak dari mereka tidak mengindahkan kebersihan pribadi.
Zainab Khatoon-Shaikh, 29 tahun, mengejek penasihat kesehatan yang meminta orang mencuci tangan dengan sabun selama 20 detik untuk membunuh corona. Dia dan suaminya Kaleem, tukang kayu, cuma bisa membeli air seminggu sekali dan harus bertahan selama tujuh hari penuh.
"Jika saya terus mencuci tangan, kita tidak akan memiliki cukup air untuk minum dan memasak," katanya. "Jadi, kami memutuskan bahwa kami akan menghemat air untuk digunakan anak-anak kami dengan tidak mandi setiap hari."
Pihak berwenang secara pribadi mengakui gelisah tentang penyebaran lebih lanjut dari coronavirus di daerah kumuh Govandi.
Secara keseluruhan, hanya sekitar 190 orang di Govandi yang telah diuji sejauh ini, dengan tambahan 200 kontak dekat dari mereka yang dites positif dikirim ke karantina. Selain itu, 27 bagian daerah kumuh telah dinyatakan sebagai zona terlarang dan ditutup, menurut data pemerintah.
Berita Terkait
-
Tanpa Ampun, Dejan Lovren Tekel Anaknya hingga Terguling-guling
-
Jeritan Pekerja Migran India Saat Covid-19, Tak Bisa Pulang dan Kelaparan
-
Cara Unik Hilangkan Stres saat Pandemi, Cobalah Memeluk Pohon 5 Menit Saja!
-
4 Berita Positif Perkembangan Wabah COVID-19 di Jogja
-
Video Pria Diseret Petugas dengan APD, Diduga Corona dan Takut Dikucilkan
Terpopuler
- 7 Mobil Bekas Terbaik untuk Anak Muda 2025: Irit Bensin, Stylish Dibawa Nongkrong
- 7 Rekomendasi Lipstik Mengandung SPF untuk Menutupi Bibir Hitam, Cocok Dipakai Sehari-hari
- Gibran Hadiri Acara Mancing Gratis di Bekasi, Netizen Heboh: Akhirnya Ketemu Jobdesk yang Pas!
- 7 Lipstik Halal dan Wudhu Friendly yang Aman Dipakai Sehari-hari, Harga Mulai Rp20 Ribuan
Pilihan
-
Jeje Koar-koar dan Bicara Omong Kosong, Eliano Reijnders Akhirnya Buka Suara
-
Saham TOBA Milik Opung Luhut Kebakaran, Aksi Jual Investor Marak
-
Isuzu Kenalkan Mesin yang Bisa Telan Beragam Bahan Bakar Terbarukan di JMS 2025
-
Pabrik Sepatu Merek Nike di Tangerang PHK 2.804 Karyawan
-
4 HP Baterai Jumbo Paling Murah mulai Rp 1 Jutaan, Cocok untuk Ojol!
Terkini
-
Mengapa Jakarta Selatan Kembali Terendam? Ini Penyebab 27 RT Alami Banjir Parah
-
Korupsi Pertamina Makin Panas: Pejabat Internal Hingga Direktur Perusahaan Jepang Diinterogasi
-
Mengapa Kemensos Gelontorkan Rp4 Miliar ke Semarang? Ini Penjelasan Gus Ipul soal Banjir Besar
-
Soal Progres Mobil Nasional, Istana: Sabar Dulu, Biar Ada Kejutan
-
Kenapa Pohon Tua di Jakarta Masih Jadi Ancaman Nyawa Saat Musim Hujan?
-
Tiba di Korea Selatan, Ini Agenda Presiden Prabowo di KTT APEC 2025
-
Pernah Jadi Korban, Pramono Anung Desak Perbaikan Mesin Tap Transjakarta Bermasalah
-
Skandal Whoosh Memanas: KPK Konfirmasi Penyelidikan Korupsi, Petinggi KCIC akan Dipanggil
-
Formappi Nilai Proses Etik Lima Anggota DPR Nonaktif Jadi Ujian Independensi MKD
-
Ketua DPD: GKR Emas Buktikan Pena Juga Bisa Jadi Alat Perjuangan Politik