"Ya mudah-mudahan di tahun 2021 sudah bisa kita lakukan sebagai pilihan bagi mahasiswa yang ingin untuk menjadi bagian dari komponen cadangan," tambahnya.
Lebih lagi, Dirjen Dikti itu ingin memastikan program perkuliahan Bela Negara agar tidak sia-sia dalam pencapaian gelar.
"Bahkan menurut Pak Menhan dan Pak Wamen juga itu juga nanti mahasiswa mengikuti program komponen cadangan selama 10 bulan, itu dia lulus sebagai sarjana, sekaligus dia mendapatkan sebagai pangkat perwira cadangan. Jadi dobel nanti," kata Nizam.
'Meminimalisir kritisisme dari mahasiswa'
Sementara itu, Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, mengatakan bahwa mengikutsertakan pendidikan militer ke dalam ranah pendidikan formal sangat berbahaya karena dapat memelihara kultur kekerasan.
"Pertama begini, kita tahu bahwa di konsep Bela Negara itu sendiri pasti akan memberlakukan yang namanya kayak semacam wajib militer, dan kita tahu kalau pendidikan militer itu adalah pendidikan yang memang disusun untuk seseorang memiliki capability untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu dan sebagainya, kayak di Akmil (Akademi Militer)," kata Fatia via telpon, (17/08).
"Nah, yang ditakutkan begini, pertama, kita tahu bahwa budaya-budaya atau kultur-kultur kekerasan itu masih ada sampai sekarang karena itu masih terlembaga sejak masa Orde Baru dan jika memang misalkan kultur militerisme ini mulai dirasuki kembali ke ranah-ranah pendidikan formal, itu akan sangat berbahaya," tambahnya.
Selanjutnya, Fatia juga mempertanyakan tujuan kebijakan itu di tengah suara-suara kritis oleh mahasiswa.
"Kita tahu bahwa sekarang mahasiswa sangat aktif, dan sangat kritis terhadap negara, apakah tujuannya untuk meredam itu semua? Meminimalisir kritisisme dari mahasiswa itu sendiri sehingga mereka, misalkan, lebih patuh terhadap sistem-sistem yang dikelola oleh negara, sehingga upaya-upaya kritis, dari anak muda khususnya, itu mulai dibungkam secara perlahan lewat wajib militer ini," tuturnya.
Fatia juga sebut pendekatan militerisme tidak relevan dalam membangun pribadi manusia maupun warga negara. Ia katakan itu merupakan cara-cara kuno yang dibentuk oleh negara.
Baca Juga: Mahasiswa Bersiaplah! Pemerintah Kaji Mata Kuliah Wajib Pendidikan Militer
"Masih banyak cara-cara lain sebenarnya yang bisa dilakukan dalam sektor pendidikan dengan semangat demokrasi dan keadilan yang bisa diupayakan. Jadi mungkin yang harus dilihat dari negara adalah angle yang berbeda, perspektif yang berbeda dari bagaimana anak muda hari ini bergerak. Bukan dengan cara-cara kekerasan ataupun yang memang katanya untuk menguatkan mental dan lain sebagainya itu," kata Fatia.
Hal itu ia utarakan untuk menanggapi pernyataan Dirjen Dikti Kemdikbud Nizam yang mengatakan bahwa program Bela Negara bertujuan untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan bela negara di luar latihan militer yang identik dengan peperangan senjata secara fisik.
"Justru mahasiswa itu harusnya diberikan ruang lebih luas untuk menerapkan ilmunya ke publik ataupun ke masyarakat, bukan dengan cara sistem-sistem militerisme itu, walaupun tidak memegang senjata, tapi sistem-sistem dan budaya-budaya militerisme itu diterapkan pada masyarakat," tambah Fatia.
'Agar lebih mencintai negeri'
Senada dengan Fatia, pengamat pendidikan, Itje Chodijah, mengatakan mahasiswa generasi sekarang membutuhkan pendekatan yang berbeda yang dapat memberikan dampak berkelanjutan.
"Dulu itu ada Menwa (Resimen Mahasiswa). Mahasiswa yang dilatih, tidak murni militer tetapi menanamkan nasionalisme, kemudian latihan-latihan sederhana kemiliteran, dan seterusnya. Itu hidup di tahun 80-90an. Namun, karena berupa sebuah inisiatif yang tidak mengakar maka tidak merata. Hanya ada beberapa kampus aja yang ada Menwanya," kata Itje via telpon, (17/08).
Ia menambahkan bahwa Indonesia kini bahkan tengah memiliki jauh lebih banyak jumlah kampus, negeri maupun swasta dengan klasifikasi yang berbeda-beda, sehingga akan sulit dipantau pelaksanaannya.
Berita Terkait
-
Mahasiswa Bersiaplah! Pemerintah Kaji Mata Kuliah Wajib Pendidikan Militer
-
Kemendikbud Sosialisasikan Pelaksanaan Belajar Dari Rumah
-
Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini di Tengah Pandemi
-
Heboh Gelar Hadi Pranoto, Kemendikbud Jelaskan Cara Menjadi Profesor
-
Kemendikbud Tegaskan Tak Ada Pemberhentian Tunjangan Profesi Guru
Terpopuler
- Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
- 5 Rekomendasi Bedak Two Way Cake untuk Kondangan, Tahan Lama Seharian
- 5 Rangkaian Skincare Murah untuk Ibu Rumah Tangga Atasi Flek Hitam, Mulai Rp8 Ribuan
- 5 Rekomendasi Sepatu Lari Selain Asics Nimbus untuk Daily Trainer yang Empuk
- 5 Powder Foundation Paling Bagus untuk Pekerja, Tak Perlu Bolak-balik Touch Up
Pilihan
-
PSSI Butuh Uang Rp 500 Miliar Tiap Tahun, Dari Mana Sumber Duitnya?
-
Vinfast Limo Green Sudah Bisa Dipesan di GJAW 2025, Ini Harganya
-
Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
Terkini
-
FPI Siap Gelar Reuni 212, Sebut Bakal Undang Presiden Prabowo hingga Anies Baswedan
-
Menag Klaim Kesejahteraan Guru Melesat, Peserta PPG Naik 700 Persen di 2025
-
Menteri PPPA: Cegah Bullying Bukan Tugas Sekolah Saja, Keluarga Harus Turut Bergerak
-
Menteri Dikdasmen Targetkan Permen Antibullying Rampung Akhir 2025, Berlaku di Sekolah Mulai 2026
-
Polisi Tangkap Dua Pengedar Sabu di Bekasi, Simpan Paket 1 Kg dalam Bungkus Teh
-
Mendikdasmen Abdul Muti: Banyak Teman Bikin Anak Lebih Aman di Sekolah
-
Sempat Sembunyi di Bogor, Pelaku Penusukan di Pasar Gaplok Ditangkap Polisi
-
BNPB: Penanaman Vegetasi Jadi Benteng Pertama Hadapi Bencana Hidrometeorologi
-
GKR Hemas Soal Usulan Daerah Otonomi Baru: Tantangan Berat, Tak Mudah Lolos!
-
Sultan Najamudin Tegaskan DPD RI Bukan Oposisi: Siap Dukung Penuh Program Presiden