Suara.com - Mahkamah Agung memotong hukuman dua terpidana kasus korupsi KTP elektronik atau e-KTP, yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, Irman menjadi 12 tahun, dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto menjadi 10 tahun.
"Permohonan pemohon/terpidana Irman dikabulkan oleh MA dalam tingkat pemeriksaan Peninjauan Kembali. MA kemudian membatalkan putusan kasasi MA Nomor 430 K/Pid.Sus/2018 tanggal 18 April 2018," kata Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, di Jakarta, Rabu (30/9/2020).
Majelis Hakim Peninjauan Kembali yang terdiri atas Suhadi (ketua majelis), Krisna Harahap dan Sri Murwahyuni (masing-masing anggota) menyatakan Irman dan Sugiharto terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
"Menjatuhkan pidana kepada terpidana Irman dengan pidana penjara selama 12 tahun, pidana denda sebesar Rp500 juta subsider pidana kurungan selama 8 bulan. Selain itu, terpidana juga dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar USD500 ribu dan Rp1 miliar subsider 2 tahun," kata Andi.
Putusan itu mengurangi vonis kasasi bagi Irman, yaitu hukuman penjara 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 8 bulan kurungan, ditambah kewajiban membayar uang pengganti USD500 ribu dan Rp1 miliar dikurangi uang yang sudah dikembalikan ke KPK sebesar USD300 ribu subsider 5 tahun penjara.
Sedangkan Sugiharto dijatuhi penjara selama 10 tahun dan pidana denda Rp500 juta subsider pidana kurungan selama 8 bulan. Selain itu, terpidana juga dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar USD450 ribu dan Rp460 juta subsider 2 tahun penjara.
Padahal di tingkat kasasi, Sugiharto divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 8 bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti USD450 ribu ditambah Rp460 juta dikompensasi dengan uang yang sudah dikembalikan ke KPK sebesar USD430 ribu, ditambah 1 unit Honda Jazz sebesar Rp150 juta.
"Pertimbangan majelis hakim PK mengabulkan permohonan PK pemohon/terpidana antara lain terpidana telah ditetapkan oleh KPK sebagai juctice collaborator (JC) dalam tindak pidana korupsi sesuai keputusan Pimpinan KPK No. 670/01-55/06-2017 tanggal 12 Juni 2017," terangnya.
Keduanya juga dinilai bukan pelaku utama dan telah memberikan keterangan serta bukti-bukti yang signifikan, sehingga penyidik dan penuntut umum dapat mengungkap peran pelaku utama dan pelaku lainnya.
Baca Juga: 22 Koruptor Dapat Potong Hukuman Dari MA, KPK Belum Terima Salinan Putusan
"Namun demikian putusan PK kedua perkara tersebut hasil musyawarah majelis hakim PK tidak bulat, karena ketua majelis Suhadi menyatakan 'Dissenting Opinion' (DO). Suhadi menyatakan DO, karena terpidana a quo memiliki peran yang menentukan yaitu sebagai kuasa pengguna anggaran," tuturnya.
Menanggapi pengurangan hukuman tersebut, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango mengatakan dengan tetap menghargai independensi kekuasaan kehakiman, seharusnya Mahkamah Agung dapat memberi argumen sekaligus jawaban di dalam putusan-putusannya.
"Khususnya putusan Peninjauan Kembali (PK) yaitu 'legal reasoning' pengurangan hukuman-hukuman dalam perkara-perkara a quo, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik tergerusnya rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi. Terlebih putusan PK yang mengurangi hukuman ini, marak setelah gedung MA ditinggal sosok Artijo Alkostar," kata Nawawi.
Artidjo diketahui adalah ketua majelis kasasi saat memutus kasasi Irman dan Sugiharto pada 2018 lalu. Saat ini Artidjo adalah anggota Dewan Pengawas KPK.
"Jangan sampai memunculkan anekdot hukum, bukan soal hukumnya, tapi siapa hakimnya," ujar Nawawi.
Menurut Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, hingga saat ini KPK belum menerima salinan putusan lengkap secara resmi dari MA terkait putusan majelis PK atas sekitar 22 perkara yang mendapatkan pengurangan hukuman.
Berita Terkait
-
Divonis 16 Tahun! Eks Dirut Asabri Siapkan PK, Singgung Kekeliruan Hakim
-
Skandal Suap di MA Kembali Terungkap: KPK Tangkap Dirut PT Wahana Adyawarna, Menas Erwin Djohansyah
-
DPR RI Sahkan 10 Hakim Agung dan Ad Hoc MA, Puan Maharani Pimpin Pengambilan Keputusan
-
Sah! DPR Ketok Palu 10 Hakim Agung dan Ad Hoc HAM Baru Mahkamah Agung, Ini Daftar Namanya
-
Nasib 16 Calon Hakim Agung Ditentukan Besok, Komisi III DPR Gelar Rapat Pleno
Terpopuler
- 6 Ramalan Shio Paling Beruntung di Akhir Pekan 4-5 Oktober 2025
- DANA Kaget Jumat Berkah: Klaim Saldo Gratis Langsung Cair Rp 255 Ribu
- Fakta-Fakta Korupsi Bupati HSS Kalsel, Diduga Minta Dana Proyek Puluhan Miliar
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 4 Oktober 2025, Klaim Ballon d'Or dan 16.000 Gems
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 3 Oktober: Klaim Ballon d'Or 112 dan Gems
Pilihan
-
Formasi Bocor! Begini Susunan Pemain Arab Saudi Lawan Timnas Indonesia
-
Getol Jualan Genteng Plastik, Pria Ini Masuk 10 Besar Orang Terkaya RI
-
BREAKING NEWS! Maverick Vinales Mundur dari MotoGP Indonesia, Ini Penyebabnya
-
Harga Emas Terus Meroket, Kini 50 Gram Dihargai Rp109 Juta
-
Bursa Saham 'Pestapora" di Awal Oktober: IHSG Naik, Transaksi Pecahkan Rekor
Terkini
-
Terjatuh Saat Terjun Payung di Rangkaian HUT TNI, Praka Marinir Zaenal Mutaqim Meninggal Dunia
-
BNPB Ungkap Kendala Evakuasi Santri Al Khoziny: Satu Beton 'Jebakan' Ancam Runtuhkan Sisa Gedung
-
Paspor Dicabut, Riza Chalid dan Jurist Tan Kini Berstatus Tanpa Negara, Bisa Lolos dari Jerat Hukum?
-
Kronologi Gugurnya Prajurit Elite Marinir Praka Zaenal, Parasut Mengembang Namun Takdir Berkata Lain
-
Tragedi Jelang HUT TNI, Prajurit Intai Amfibi Praka Zaenal Gugur Dalam Insiden Terjun Payung
-
Prabowo Perbarui Aturan Seleksi Pemimpin TNI, Utamakan Kompetensi Ketimbang Senioritas
-
Update Tragedi Ponpes Al Khoziny: 23 Jasad Ditemukan dalam 24 Jam, Total Korban Tewas Jadi 39 Orang
-
Bangunan Ponpes Al Khoziny Ambruk, Prabowo Minta Cek Semua Infrastruktur Pesantren!
-
HUT ke-80 TNI di Monas, Ketua DPD RI : TNI Makin Profesional dan Dekat dengan Rakyat
-
Luhut dan Bahlil Apresiasi Pertemuan PrabowoJokowi, Tanda Kedewasaan Politik