Suara.com - Pemerintah Belanda secara terbuka meminta maaf sempat menerapkan undang-undang, yang mewajibkan transgender untuk menjalani operasi sterilisasi.
Menyadur The Hill Senin (29/11/2021), permintaan maaf tersebut disampaikan atas undang-undang yang mengharuskan para transgender yang ingin mengubah jenis kelamin pada akta kelahiran, harus menjalani operasi dan sterilisasi. Namun, UU tersebut kini sudah tidak berlaku.
"Selama beberapa dekade, orang menjalani prosedur medis yang tidak mereka inginkan sama sekali. Tapi mereka tahu mereka tidak punya pilihan lain," kata Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda Ingrid van Engelshoven.
"Yang lain telah menunggu karena undang-undang ini; mereka terpaksa menunda menjadi diri mereka sendiri selama bertahun-tahun," sambungnya.
Ingrid van Engelshoven juga mengungkapkan bahwa undang-undang tersebut telah menjadi simbol penolakan sosial bagi banyak orang.
Ingrid juga meminta maaf atas undang-undang tersebut, yang dihapus pada tahun 2014 setelah berlaku selama tiga dekade.
"Seharusnya tidak ada yang mengalami apa yang Anda alami. Saya benar-benar menyesal itu terjadi," ungkap Ingrid dalam pidatonya di parlemen.
Ingrid menambahkan bahwa standar mengenai tubuh seseorang, seharusnya tidak termasuk dalam undang-undang dan tidak boleh memaksa orang untuk menjalani operasi.
Sander Dekker, menteri perlindungan hukum Belanda, juga meminta maaf atas undang-undang tersebut.
Baca Juga: Minta Maaf pada Jokowi, Ketua Majelis Partai Ummat Amien Rais Jabarkan Alasannya
"Dalam percakapan yang saya lakukan dengan orang-orang transgender, mereka memberi tahu saya bagaimana undang-undang lama ini telah memaksa pilihan hidup," katanya.
"Pilihan hidup seharusnya dapat dilakukan setiap orang secara bebas, seperti kemungkinan memiliki anak," sambungnya.
Jaringan Transgender Nederland menyambut permintaan maaf itu, dan mengatakan bahwa ratusan orang dihadapkan pada pilihan yang mustahil di bawah UU tersebut.
"Mereka memang bisa memilih kertas yang sesuai dengan identitas gender mereka, tapi dengan harga yang terlalu tinggi," tulisnya.
Kelompok tersebut juga mencatat bahwa Belanda adalah negara pertama yang meminta maaf atas kebijakan semacam ini.
Willemijn van Kempen, seorang wanita transgender Belanda yang mulai berkampanye agar pemerintah meminta maaf, menyambutnya dengan baik.
Berita Terkait
Terpopuler
- Susunan Tim Pelatih Timnas Indonesia U-23 di SEA Games 2025, Indra Sjafri Ditopang Para Legenda
- Diskon Listrik 50 Persen PLN Oktober 2025, Begini Syarat dan Cara Dapat E-Voucher Tambah Daya!
- Shin Tae-yong Batal Comeback, 4 Pemain Timnas Indonesia Bernafas Lega
- 7 Rekomendasi Smartwatch untuk Tangan Kecil: Nyaman Dipakai dan Responsif
- 5 Bedak Padat yang Cocok untuk Usia 50 Tahun ke Atas, Samarkan Flek Hitam
Pilihan
-
Harga Emas Hari Ini: Galeri 24 dan UBS Sentuh Rp 2,4 Juta di Pegadaian, Antam Nihil!
-
Harga Emas Sabtu 25 Oktober 2025: Antam Masih 'Hilang', UBS dan Galeri 24 Menguat
-
Superkomputer Prediksi Arsenal Juara Liga Champions 2025, Siapa Lawan di Final?
-
Bayar Hacker untuk Tes Sistem Pajak Coretax, Menkeu Purbaya: Programmer-nya Baru Lulus SMA
-
Perbandingan Spesifikasi HONOR Pad X7 vs Redmi Pad SE 8.7, Duel Tablet Murah Rp 1 Jutaan
Terkini
-
Harga Serba Naik, Tarif Transjakarta Ikut Naik? Ini Alasan Pemprov DKI!
-
BPJS Watch Soroti Pansel Dewas: Tanpa Aturan Jelas, Jabatan DJSN Banyak yang Incar!
-
PVRI: Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Tanda Kembalinya Bayang-Bayang Orde Baru?
-
Perkuat Ekosistem Bisnis, BNI dan Anak Usaha Dorong Daya Saing UMKM di wondr JRF Expo
-
Dosen Merapat! Kemenag-LPDP Guyur Dana Riset Rp 2 Miliar, Ini Caranya
-
Lewat Bank Sampah, Warga Kini Terbiasa Daur Ulang Sampah di Sungai Cisadane
-
Tragis! Lexus Ringsek Tertimpa Pohon Tumbang di Pondok Indah, Pengemudi Tewas
-
Atap Arena Padel di Meruya Roboh Saat Final Kompetisi, Yura Yunita Pulang Lebih Awal
-
Hadiri Konferensi Damai di Vatikan, Menag Soroti Warisan Kemanusiaan Paus Fransiskus
-
Nyaris Jadi Korban! Nenek 66 Tahun Ceritakan Kengerian Saat Atap Arena Padel Ambruk di Depan Mata