Suara.com - Badan Meteorologi Australia (BOM) mengumumkan fenomena cuaca La Nina telah terbentuk di Samudra Pasifik selama tiga tahun berturut-turut.
Hal ini menurut pejabat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG) adalah kejadian yang cukup unik.
Sebab dari catatan indikator La Nina yang diterbitkan lembaga pemerintah Amerika Serikat yang meneliti iklim dan kelautan (NOAA) dari 1950-an, hanya dua kejadian La Nina yang pernah berlangsung sampai tahun ketiga.
Fenomena yang disebut ‘Triple-dip’ La Niña itu sebelumnya pernah terjadi dari 1973 -1975 serta 1998-2001.
"Sungguh luar biasa La Niña terjadi tiga tahun berturut-turut," kata Sekretaris Jenderal Badan Meteorologi Dunia (WMO) Petteri Taalas.
Menurut BMKG, La Nina akan bertahan hingga akhir 2022, menyebabkan sebagian wilayah Indonesia akan mengalami musim hujan lebih awal.
Apa itu La Nina?
La Nina adalah peristiwa alam yang mengakibatkan Suhu Muka Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya.
Pendinginan SML ini mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum.
Untuk Australia, perubahan curah hujan terjadi di bagian timur, utara, dan tengah, sementara untuk Indonesia, kebanyakan terjadi di wilayah selatan garis khatulistiwa.
Baca Juga: La Nina Melemah, Curah Hujan Meningkat hingga November 2022
Pelaksana Tugas Harian (Plh) Kepala Pusat Perubahan Iklim BMKG, Supari, mengatakan La Nina tidak menyebabkan bencana yang sifatnya tunggal.
Dia mengamini bahwa La Nina menyebabkan akumulasi curah hujan bulanan meningkat, tapi tidak terkait langsung dengan peristiwa yang sifatnya tunggal dan harian. La Nina, sambungnya, menciptakan kondisi yang memungkinkan suatu peristiwa terjadi atau memperbesar peluang event itu untuk terjadi.
“Kita tidak bisa mengaitkan secara langsung apabila ada banjir, banjir ini disebabkan La Nina,” jelas dalam kanal BMKG di YouTube.
Pola cuaca La Nina adalah salah satu dari tiga fase El Niño Southern Oscillation (ENSO). Ini mengacu pada suhu permukaan laut dan arah angin di Pasifik dan dapat beralih antara fase hangat yang disebut El Niño, fase yang lebih dingin dengan sebutan La Niña, dan fase netral.
Peralihan fase itu umumnya memakan waktu sekitar tiga hingga tujuh tahun, tetapi sekarang ini adalah tahun ketiga fase La Nina terjadi berturut-turut dan pertama kalinya dalam abad ini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pelaksana Tugas Harian (Plh) Kepala Pusat Perubahan Iklim BMKG, Supari, menjelaskan fenomena La Niña membawa dampak peningkatan curah hujan di banyak tempat di Indonesia, meski sebenarnya dampak La Nina tidak pernah sama karena dipengaruhi faktor lainnya.
"La Nina tahun 2020 membawa dampak peningkatan curah hujan di banyak tempat, terutama di wilayah tengah dan timur. Kami sedang menginventarisir kembali tahun 2021, dan 2022 dampaknya seperti apa. Tapi memang sejauh ini sepanjang Mei, Juni, Juli, itu kita mengalami kondisi hujan di atas normal," jelas Supari.
Kondisi atas normal yang dimaksud, kata Supari, mencakup hampir 50% wilayah Indonesia.
"Sehingga kita bisa mengatakan sebagian besar wilayah kita mengalami hujan di atas normal," ujar dia.
Supari menambahkan, daerah yang paling banyak mengalami peningkatan curah hujan adalah daerah di wilayah selatan garis khatulistiwa, seperti Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan bagian selatan, serta Sulawesi dan Papua bagian selatan.
Baca juga:
Perubahan iklim: 2022 disebut tahun panas dan kekeringan - BBC News Indonesia
BMKG mencatat La Nina tahun ini berbeda dengan 2021 lalu. Tahun lalu, musim kemarau yang terjadi di Indonesia cukup basah, tapi tahun ini lebih basah lagi.
"Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB, kalau kemarau itu, biasanya bulan Juli-Agustus, curah hujan tidak sampai 50 milimeter, sangat rendah, lalu tahun ini kondisinya curah hujannya jadi 100 milimeter. Hujannya lebih banyak dibandingkan tahun lalu, atau tahun-tahun normalnya," kata Supari.
BMKG mengkategorikan musim kemarau bukan musim tanpa hujan, melainkan musim kering dengan curah hujan bulanan kurang dari 150 milimeter. Artinya, ketika kalau curah hujan di suatu daerah 100 milimeter, itu masih dikategorikan sebagai musim kemarau.
La Nina menyebabkan musim kemarau tahun ini datang lebih lambat. Sebagian zona musim yang seharusnya sudah memasuki bulan-bulan musim kemarau, ternyata masih mengalami musim hujan.
"Karena awal musim kemaraunya itu sudah mundur, lalu musim hujannya kita prakirakan maju, maka nanti kemungkinan besar, sebagian besar memang durasi musim kemaraunya lebih pendek. Yang belum masuk musim penghujan pun, diduga nanti akan mengalami musim kemarau yang lebih pendek," ujar Supari.
Sampai akhir Agustus analisis BMKG menunjukkan 78% dari zona musim di Indonesia sedang mengalami musim kemarau, sementara 22% lagi mengalami musim hujan.
Sebagian dari 22% wilayah yang sedang mengalami musim hujan diidentifikasi tidak mengalami musim kemarau karena musim hujannya yang bersambung dengan musim hujan sebelumnya.
Kondisi seperti itu terjadi di Sumatera bagian tengah, sebagian di Kalimantan Barat, dan sebagian Kalimantan Tengah.
Dalam situsnya, BMKG menyebutkan terdapat peringatan dini curah hujan tinggi pada klasifikasi Siaga hingga Waspada untuk wilayah kabupaten di Provinsi Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku , dan Papua Barat.
Kemudian terdapat peringatan dini kekeringan meteorologis pada klasifikasi Awas hingga Waspada untuk wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Di daerah mana saja curah hujan diperkirakan tinggi?
Prakiraan Curah Hujan Atas 300 mm/bulan untuk Bulan Oktober 2022- Maret 2023 :
- Oktober - November 2022 curah hujan > 300 mm/bulan berpeluang tinggi terjadi di sebagian kecil Sumatera Barat, sebagian Bengkulu, sebagian kecil Bangka Belitung, sebagian Lampung, sebagian Banten, sebagian Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, sebagian Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, sebagian Kalimantan Selatan, sebagian kecil Kalimantan Utara, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Maluku, dan sebagian Papua.
- Desember 2022 curah hujan > 300 mm/bulan berpeluang tinggi terjadi di sebagian Sumatera Barat, sebagian Jambi, sebagian Bengkulu, sebagian Sumatera Selatan, BaBel,sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian NTT, sebagian pulau Kalimantan Barat, sebagian kecil Kalimantan Timur dan Utara, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Papua.
- Januari 2023 curah hujan > 300 mm/bulan berpeluang tinggi terjadi di sebagian Banten, sebagian Jawa Barat, sebagian besar Jawa Tengah sebagian DI Yogyakarta, sebagian Jawa Timur, sebagian Bali, sebagian NTB, sebagian NTT, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Tengah, sebagian Kalimatnan Timur, sebagian kecil Kalimantan Utara, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian sebagian Papua.
- Februari 2023 curah hujan > 300 mm/bulan berpeluang tinggi terjadi di sebagian Banten, sebagian Jawa Barat, sebagian besar Jawa Tengah sebagian DI Yogyakarta, sebagian Jawa Timur, sebagian Bali, sebagian NTB, sebagian NTT, sebagian kecil Kalimantan Timur, sebagian Papua.
- Maret 2023 curah hujan > 300 mm/bulan berpeluang tinggi terjadi di sebagian Banten, sebagian Jawa Barat, sebagian besar Jawa Tengah sebagian DI Yogyakarta, sebagian Pulau Kalimantan, dan sebagian Papua.
Mengapa dampak La Nina berbeda-beda?
Berdasarkan penjelasan Supari, dampak La Nina di Indonesia "tidak pernah sama persis" karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Pertama, La Nina terjadi ketika ada penyimpangan suhu muka laut di Samudra Pasifik yang begitu luas. Pola penyimpangannya itu, kata Supari, tidak pernah sama persis.
Kedua, dampak La Nina terhadap musim hujan di Indonesia itu juga dipengaruhi faktor lain, seperti angin monsun Australia dan monsun Asia.
"Kalau pada saat monson Asia, dampaknya beda dengan monsun Australia. Sehingga dampaknya tidak pernah sama," jelas Supari.
Berita Terkait
-
BMKG Bunyikan Alarm Bahaya, Pemprov DKI Siapkan 'Pasukan Biru' hingga Drone Pantau Banjir Rob
-
Prediksi Cuaca Hari Ini 20 November, BMKG: Waspada Hujan & Angin di Berbagai Wilayah Indonesia
-
7 Fakta Gunung Semeru Terkini Kamis Pagi, Status Darurat Tertinggi
-
Siklon Tropis di Selatan Picu Hujan Lebat, BMKG dan BRIN Imbau Masyarakat Waspada
-
Prediksi Cuaca Hari Ini 18 November 2025: Hujan di Sebagian Besar Wilayah
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
- 5 Rekomendasi Sepatu Running Selevel Adidas Adizero Versi Lokal, Lentur dan Kuat Tahan Beban
- 8 City Car yang Kuat Nanjak dan Tak Manja Dibawa Perjalanan Jauh
Pilihan
-
Harga Minyak Dunia Melemah, di Tengah Upaya Trump Tekan Ukraina Terima Damai dengan Rusia
-
Indonesia jadi Raja Sasaran Penipuan Lowongan Kerja di Asia Pasifik
-
Kisah Kematian Dosen Untag yang Penuh Misteri: Hubungan Gelap dengan Polisi Jadi Sorotan
-
Kisi-Kisi Pelatih Timnas Indonesia Akhirnya Dibocorkan Sumardji
-
Hasil Drawing Play Off Piala Dunia 2026: Timnas Italia Ditantang Irlandia Utara!
Terkini
-
Gibran Wakilkan Pidato Presiden di KTT G20, Ini Alasan Prabowo Tak Pergi ke Afrika Selatan
-
Profil Irjen Argo Yuwono: Jenderal Kepercayaan Kapolri Ditarik dari Kementerian Buntut Putusan MK
-
Hadiri KTT G20 di Afsel, Gibran akan Berpidato di Depan Pemimpin Dunia
-
KPK Buka-bukaan Asal Duit Rp300 M di Kasus Taspen: Bukan Pinjam Bank, Tapi dari Rekening Penampungan
-
Harapan Driver Ojol Selepas Nasib Mereka Dibahas Prabowo dan Dasco di Istana
-
Analis: Masa Depan Politik Budi Arie Suram Usai Ditolak Gerindra dan PSI
-
Soal Anggota Polri Aktif di Kementan, Menteri Amran: Justru Sangat Membantu
-
Pigai Ajak Publik Gugat UU KUHAP ke MK Jika Khawatir dengan Isinya: Kami Dukung, Saya Tidak Takut!
-
KPK Ungkap Alasan Bobby Nasution Belum Dihadirkan di Sidang Korupsi Jalan Sumut
-
Tak Bayar Utang Pajak Rp25,4 Miliar, DJP Sandera Pengusaha Semarang: Ini Efek Jera!