Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menanggapi surat terbuka mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana kepada DPR RI yang meminta dilakukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dia menilai permintaan Denny Indrayana sebagai sebuah aspirasi politik yang disampaikan kepada DPR yang mempunyai kewenangan konstitusional perihal proses pemakzulan atau impeachment kepada presiden.
"Tentunya, DPR jika berkehendak untuk melakukan 'pemakzulan' kepada presiden dan/atau wakil presiden, pastinya dengan mendasari serta berpijak pada kewenagan konstitusional berupa melakukan pengawasan dengan mengunakan beberapa instrumen haknya, diantaranya adalah hak angket atau hak menyatakan pendapat untuk menyelidiki potensi pelanggaran konstitusi tersebut", kata Fahri Bachmid, Kamis (8/6/2023).
DPR bisa melakukan pemakzulan jika memang terbukti ada fakta-fakta yuridis terkait dugaan pelanggaran hukum sesuai mekanisme yang diatur dalam ketentuan Pasal 7B UUD 1945.
Fahri menjelaskan, Pasal 7A UUD NRI tahun 1945 yang mengatur bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Kemudian, DPR bisa mengajukan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR jika sudah mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat mengemban jabatannya.
Namun, Fahri menyebut impeachment kepada presiden dan/atau wakil presiden pada hakikatnya tidak mudah.
Sebab, langkah konstitusional memakzulkan presiden atau wakil presiden pada dasarnya sengaja dibuat berat dan rumit dengan melibatkan tiga lembaga negara, yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR.
Dengan begitu, Fahri menyebut bahwa secara akademik, pemakzulan merupakan 'extraordinary political event' di dalam sistem presidensil.
Baca Juga: Terus Gaungkan Pemakzulan Jokowi, Denny Indrayana: Dia Langgar Etika juga Konstitusi
"Hampir semua konstitusi negara mengatur permasalahan pemakzulan atau impeachment sebagai sebuah mekanisme yang legal dan efektif untuk mengawasi tindakan-tindakan pemerintah di dalam menjalankan konstitusi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan tetap berada pada koridor peraturan perundang- undangan yang berlaku sesuai dengan prinsip-prinsip rule of Law," tutur Fahri.
Hal ini, kata dia, sejalan dengan prinsip atau kaidah pemerintahan sistem presidensialisme, yang tekanannya agar seorang kepala negara hanya boleh di berhentikan dengan alasan hukum dan tidak boleh dengan sangkaan secara politis.
"Apalagi jika melihat konfigurasi politik yang ada di parlement saat ini, kelihatannya tidak mudah, apalagi secara hukum desain kelembagaan impeachment sengaja dibuat agar tidak mudah seorang kepala negara di jatuhkan," sambung Fahri.
Lebih lanjut, dia mengatakan hal itu bisa dicermati dari mekanisme pengambilan keputusan secara kelembagaan yang sengaja didesain sedemikian rupa agar tidak dengan mudah parlemen mendorong usulan penakzulan, baik ke Mahkamah Konstitusi ataupun ke MPR untuk digelar sidang istimewa.
Terlebih, rumusan norma konstitusional mengatur bahwa pengajuan permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
"Ketika proses itu harus berakhir di MPR, maka tentunya mekanisme pengambilan keputusan secara kelembagaan di MPR yang teramat berat sesuai rumusan serta konstruksi normanya," ujar Fahri.
Berita Terkait
-
Terus Gaungkan Pemakzulan Jokowi, Denny Indrayana: Dia Langgar Etika juga Konstitusi
-
Bukan Orang Sembarangan! Ternyata Sosok Ini yang Bikin SBY Mau Turun Gunung Saat Dengar Ada Gerakan Penjegalan Anies
-
Denny Indrayana Kirim Surat ke DPR Minta Jokowi Lengser, AHY: Saya Bisa Simpulkan Itu
-
Minta DPR Makzulkan Jokowi, Plt Ketum PPP Skakmat Denny Indrayana: Emang Siapa Lu?
-
Bikin Gaduh dan Tuai Kontroversi, 5 'Nyanyian' Denny Indrayana Jelang Pemilu 2024
Terpopuler
- Media Swiss Sebut PSSI Salah Pilih John Herdman, Dianggap Setipe dengan Patrick Kluivert
- 8 Promo Makanan Spesial Hari Ibu 2025, dari Hidangan Jepang hingga Kue
- PSSI Tunjuk John Herdman Jadi Pelatih, Kapten Timnas Indonesia Berikan Komentar Tegas
- 7 Sepatu Murah Lokal Buat Jogging Mulai Rp100 Ribuan, Ada Pilihan Dokter Tirta
Pilihan
-
Indosat Gandeng Arsari dan Northstar Bangun FiberCo Independent, Dana Rp14,6 Triliun Dikucurkan!
-
Kredit Nganggur Tembus Rp2,509 Triliun, Ini Penyebabnya
-
Uang Beredar Tembus Rp9891,6 Triliun per November 2025, Ini Faktornya
-
Pertamina Patra Niaga Siapkan Operasional Jelang Merger dengan PIS dan KPI
-
Mengenang Sosok Ustaz Jazir ASP: Inspirasi di Balik Kejayaan Masjid Jogokariyan
Terkini
-
Bupati Bekasi dan Ayah Dicokok KPK, Tata Kelola Pemda Perlu Direformasi Total
-
Menteri Mukhtarudin Terima Jenazah PMI Korban Kebakaran di Hong Kong
-
KPK Ungkap Kepala Dinas Sengaja Hapus Jejak Korupsi Eks Bupati Bekasi
-
Bupati Bekasi di Tengah Pusaran Kasus Suap, Mengapa Harta Kekayaannya Janggal?
-
6 Fakta Tabrakan Bus Kru KRI Soeharso di Medan: 12 Personel Terluka
-
Pesan di Ponsel Dihapus, KPK Telusuri Jejak Komunikasi Bupati Bekasi
-
Rotasi 187 Perwira Tinggi TNI Akhir 2025, Kapuspen Hingga Pangkodau Berganti
-
KPK Geledah Rumah Bupati Bekasi dan Kantor Ayahnya
-
Kejari Bogor Musnahkan 5 Kilogram Keripik Pisang Bercampur Narkotika
-
Pemerintah Tunda Kenaikan Cukai Rokok 2026: Kebijakan Hati-Hati atau Keberpihakan ke Industri?