Suara.com - Pemerintah Indonesia di Jakarta selalu mengklaim situasi sosial politik di tanah Papua kini relatif aman dan sama seperti daerah lainnya, yakni demokratis.
Namun, penilaian seperti itu justru berbanding terbalik dengan penilaian Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobay.
Emanuel Gobay mengatakan, kekinian, ruang gerak masyarakat sipil Papua untuk menyuarakan kebebasan berpendapat serta berekspresi semakin terbatas.
Apalagi, kata dia, aktivis maupun masyarakat yang kerap mendesak pemenuhan hak untuk menentukan nasib sendiri atau right to self-determination bagi bangsa Papua.
Gobay melanjutkan, terdapat tren baru berupa 'bundel pasal' untuk menjerat aktivis Papua, yakni penggunaan 'pasal-pasal karet' UU ITE dan pasal makar.
Menurutnya, hal tersebut sengaja diterapkan kepada aktivis Papua untuk membungkam kebebasan. Sebab, hal yang sama sangat jarang terjadi di daerah-daerah lain Indonesia.
Selengkapnya, berikut petikan wawancara Suara.com dan Jaring.id dengan Emanuel Gobay.
Ada berapa kasus UU ITE dan makar di Papua?
Kalau ITE dan makar hanya dalam kasusnya Assa Asso. Victor Yeimo mereka tidak gunakan UU ITE, hanya saja bukti elektronik yang dugunakan, yaitu video saat dia orasi itu, tapi pasal dalam UU ITE tidak digunakan.
Baca Juga: Ngaku Tak Macam-macam, Begini Dalih Komisi I DPR Kerap Gelar Rapat Revisi UU ITE Tertutup
Selain itu ada Ferry Pakage, itu hanya UU ITE tidak ada pasal makarnya. Ada satu lagi saya lupa namanya dari Yahukimo.
Bagaimana pandangan LBH Papua terkait penerapan UU ITE dan pasal makar yang kerap menyasar aktivis atau orang Papua?
Pasal makar ini dalam penerapannya menggunakan sistem peradilan pidana yang saya simpulkan itu dipraktikan secara diskriminatif.
Kenapa saya katakan itu? Dasar saya mengatakan itu mengacu beberapa fakta, saya lihat dalam kasusnya Kivlan Zen, Ibu Fatmawati dan Egi Sudjana yang juga sama sudah ditersangkakan dengan pasal makar.
Untuk kasus-kasus itu, sampai hari ini, saya belum pernah dengar ada SP3 yang diterbitkan oleh kepolisian tempat mereka ditersangkakan.
Tapi saya juga belum pernah dengar kalau itu diputuskan di pengadilan. Berbeda dengan kasus-kasus Papua, yang selalu naik ke persidangan.
Hasil pemantauan LBH Papua bagaimana dengan proses penanganan perkara makar yang menyangkut orang-orang Papua?
Ketika pasal makar ini digunakan polisi untuk menjerat orang-orang yang bicara isu Papua atau orang Papua, itu sangat cepat dan langsung berujung pada putusan pengadilan.
Di sini lah kita temukan fakta diskriminasi berdasarkan ras yang dilakukan dalam penerapan pasal makar menggunakan sistem peradilan pidana.
Ini juga kemudian menunjukkan adanya fakta kriminalisasi pasal makar terhadap orang Papua. Karena mayoritas yang mereka gunakan pasal makar terhadap aktivis-aktivis ini mereka itu sedang melakukan atau setelah melakukan kemerdekaan menyampaikan pendapat yang dilindungi undang-undang.
Saya pikir ini adalah fakta penegakan hukum yang tidak profesional yang sedang dipertontonkan di muka umum. Semestinya tidak boleh dalam konteks Indonesia sebagai negara hukum seseuai pasal 1 ayat 3 UU 1945.
Pada prinsipnya negara hukum itu cirinya dalah melindungi HAM. Tapi yang kita temukan justru HAM itu dicederai oleh negara melalu aparat penegak hukum dalam fakta penggunaan pasal makar dalam sistem peradilan pidana terhadap orang Papua yang dilakukan secara rasis, diskriminatif, mengkriminalisasi.
Apa dampak yang akan timbul akibat pemidanaan yang terus berulang kepada orang Papua dengan menggunakan pasal makar?
Pasal makar sendiri secara teori pidana masuk dalam kategori kejahatan politik. Karena kejahatan politik maka tentunya ini ada persoalan politik yang belum terselesaikan.
Semestinya negara ini sudah tidak menggunakan pasal makar untuk menyelesaikan konflik politik di Papua. Negara ini harus berpikir lebih maju.
Apalagi negara ini sudah berpengalaman menyelesaikan konflik politik di Aceh, konflik politik di Timur Leste. Persoalan politik di Papua ini kan sama seperti yang di Aceh dan Timor Leste.
Seharusnya pemerintah, dalam hal ini presiden, bisa menggunakan salah satu contoh penyelesaian politik yang pernah dilakukan di Aceh atau Timor Leste untuk menyelesaikan persoalan politik di Papua.
Kalau kemudian kita melakukan pengulangan dengan cara kriminalisasi pasal makar terhadap aktivis, ini kan justru akan mempertontonkan keburukan citra negara hukum Indonesia di mata publik nasional dan internasional.
---------------------------------------------------------------------------------
Artikel ini adalah hasil kolaborasi peliputan antara Suara.com dan Jaring.id yang mendapat dukungan dari Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).
Tim Kolaborasi
Penanggung Jawab: Fransisca Ria Susanti (Jaring.id); Reza Gunadha (Suara.com)
Penulis: Abdus Somad (Jaring.id); Agung Sandy Lesmana dan Muhammad Yasir (Suara.com)
Penyunting: Damar Fery Ardiyan (Jaring.id); Reza Gunadha (Suara.com)
Ilustrasi: Ali (Jaring.id); Suara.com
Berita Terkait
-
Ngaku Tak Macam-macam, Begini Dalih Komisi I DPR Kerap Gelar Rapat Revisi UU ITE Tertutup
-
Janji Diumbar Komisi DPR RI, Pastikan Bakal Lenyapkan Pasal Karet di UU ITE
-
BSSN Terkendala Jalankan Fungsi Karena UU ITE
-
Wacana Sensor Konten di OTT, Lodewijk: Sebuah Terobosan, Namun Perlu Dikaji
-
Bikin Repot Masyarakat, Anies Sebut Aturan Larang Kritik dalam UU ITE Perlu Direvisi
Terpopuler
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 6 Shio Ini Diramal Paling Beruntung dan Makmur Pada 11 Desember 2025, Cek Kamu Salah Satunya?
- Kode Redeem FC Mobile 10 Desember 2025: Siap Klaim Nedved dan Gems Melimpah untuk Player F2P
Pilihan
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
Terkini
-
3 Santriwati Hanyut Sungai Lusi Ditemukan Meninggal, Total Korban Jiwa Menjadi Lima
-
Pilkada Kembali ke DPRD: Solusi Hemat Anggaran atau Kemunduran Demokrasi?
-
Muncul Perkap Anggota Polri Bisa Jabat di 17 Kementerian/Lembaga, Ini Respons Komisi III DPR
-
Polisi Ungkap Pemicu Kebakaran Maut Terra Drone: Akibat Baterai 30.000 mAh Jatuh
-
18 Hari Mengungsi, Korban Banjir Pidie Jaya Butuh Tenda untuk Kembali ke Kampung Halaman
-
Perpol Baru Izinkan Polisi Aktif Isi Jabatan Sipil, Kok Berbeda dengan Putusan MK?
-
Kuasa Hukum: Banyak Pasal Dipreteli Polisi dalam Kasus Penembakan 5 Petani Bengkulu Selatan
-
Komplotan Pencuri Modus 'Pura-pura Ditabrak' Diringkus Polisi
-
Usai Mobil MBG Tabrak Puluhan Anak SD di Cilincing, Apa yang Harus Dibenahi?
-
Jeritan Pilu Pedagang Kalibata: Kios Ludes Dibakar Massa, Utang Ratusan Juta Kini Menjerat