Ia menyoroti Pasal 23 UU Kementerian Negara yang berbunyi:
"Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya...; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta;...dst."
Frasa "wakil menteri" tidak tercantum dalam pasal tersebut, menciptakan celah hukum yang memungkinkan wamen menduduki posisi strategis seperti komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Juhaidy merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena praktik ini menutup kesempatannya di masa depan untuk bersaing secara adil menjadi komisaris BUMN.
"Dengan tidak [ada] larangan dalam UU Kementerian Negara, pemohon yang juga nantinya berkesempatan menjadi komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN akan tertutup karena akan bersaing dengan para wakil menteri yang telah dekat dengan kekuasaan..." demikian kutipan dari berkas permohonannya.
Dalam permohonannya, Juhaidy bahkan mengutip putusan MK sebelumnya (Nomor 80/PUU-XVII/2019) yang secara substansi sebenarnya setuju dengannya.
Pada putusan itu, MK menyatakan bahwa status wamen seharusnya disamakan dengan menteri, sehingga larangan rangkap jabatan juga berlaku bagi mereka.
Namun, sama seperti kasus ini, permohonan tersebut kala itu juga tidak dapat diterima karena pemohonnya dianggap tidak memiliki kedudukan hukum.
Juhaidy berharap bisa "menghidupkan" norma yang diakui MK itu ke dalam undang-undang.
Baca Juga: MK Tolak Syarat Minimal S1 Bagi Capres-Cawapres, HNW: Tetap Harus Ada Rambu-rambu Syarat Pendidikan
Ia meminta MK untuk menambahkan frasa "dan wakil menteri" setelah kata "menteri" dalam Pasal 23, sehingga berbunyi: "Menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:..."
Kini, dengan gugurnya permohonan akibat wafatnya sang pemohon, celah hukum mengenai rangkap jabatan wakil menteri kembali dibiarkan menganga, menunggu pejuang konstitusi lain untuk melanjutkannya.
Tag
Berita Terkait
-
MK Tolak Syarat Minimal S1 Bagi Capres-Cawapres, HNW: Tetap Harus Ada Rambu-rambu Syarat Pendidikan
-
MK Ubah Aturan Pemilu Lagi! Agung Laksono: Perlu Kajian Ulang Atau Amandemen UUD 1945?
-
Agung Laksono Dorong Negara Harus Tetap Laksanakan Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu
-
Strategi Cegah Korupsi ala Prabowo, Sejahterakan Pejabat Sejak Dini
-
MK Tolak Gugatan Mahasiswa soal Syarat Capres-Cawapres Minimal S1, Mengapa?
Terpopuler
- 5 Mobil Keluarga 7 Seater Mulai Rp30 Jutaan, Irit dan Mudah Perawatan
- Lupakan Louis van Gaal, Akira Nishino Calon Kuat Jadi Pelatih Timnas Indonesia
- Mengintip Rekam Jejak Akira Nishino, Calon Kuat Pelatih Timnas Indonesia
- 21 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 19 Oktober: Klaim 19 Ribu Gems dan Player 111-113
- Bukan Main-Main! Ini 3 Alasan Nusakambangan, Penjara Ammar Zoni Dijuluki Alcatraz Versi Indonesia
Pilihan
-
Suara.com Raih Penghargaan Media Brand Awards 2025 dari SPS
-
Uang Bansos Dipakai untuk Judi Online, Sengaja atau Penyalahgunaan NIK?
-
Dedi Mulyadi Tantang Purbaya Soal Dana APBD Rp4,17 Triliun Parkir di Bank
-
Pembelaan Memalukan Alex Pastoor, Pandai Bersilat Lidah Tutupi Kebobrokan
-
China Sindir Menkeu Purbaya Soal Emoh Bayar Utang Whoosh: Untung Tak Cuma Soal Angka!
Terkini
-
Usai Koruptor Lukas Enembe Wafat, Tukang Cukur Langganannya Ikut 'Dibidik' KPK, Mengapa?
-
Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 2231 Berakhir, Berikut Sikap Kedubes Iran di Indonesia
-
KPK Kejar Pihak Lain dalam Kasus Korupsi Lukas Enembe, Sopir dan Tukang Cukur Turut Diperiksa
-
KPK Tetapkan ASN Kementan sebagai Tersangka Kasus Korupsi Pengolahan Karet
-
Disentil Mahfud MD Gegara Ditantang Lapor Kasus Kereta Whoosh, KPK Mendadak Bilang Begini
-
Rumah Staf Digeledah Terkait Kasus CSR BI-OJK, Mobil Diduga Hadiah dari Heri Gunawan Disita KPK
-
DPR Ikut Awasi Pemilihan Bacalon Dekan UI: Harus Bebas dari Intervensi Politik
-
KPK Periksa Biro Travel Haji di Yogyakarta, Dalami Dugaan Korupsi Kuota Haji Kemenag
-
Rocky Gerung Kritik Lembaga Survei: Yang Harus Dievaluasi Bukan Presiden, Tapi Metodologinya!
-
KPK Dalami Penganggaran dan Pengadaan Asam Formiat dalam Kasus Korupsi Pengolahan Karet Kementan