Suara.com - Sebuah unggahan di media sosial dari Bupati Gunungkidul, Endah Subekti Kuntariningsih, sukses memantik perdebatan sengit di kalangan anak muda.
Usulannya? Evaluasi bahkan pencabutan bantuan sosial (bansos) bagi warga yang kedapatan menggunakan dana tersebut untuk membeli rokok dan skincare.
Sontak, wacana ini membelah opini publik, terutama di kalangan milenial dan Gen Z.
Pertanyaan utamanya kini menjadi bola panas: apakah pemerintah berhak mendikte penggunaan dana bansos hingga ke ranah personal?
Dan yang lebih tajam, apakah rokok dan skincare kini telah bergeser menjadi kebutuhan yang setara dengan beras bagi sebagian masyarakat?
Sentilan Keras dari Bupati Endah
Melalui akun Instagram pribadinya, Bupati Endah menyuarakan keprihatinannya terhadap gaya hidup sebagian penerima bansos yang dinilai tidak sejalan dengan semangat pengentasan kemiskinan.
Ia menyoroti ironi di mana negara membantu kebutuhan dasar, namun dana tersebut justru dialihkan untuk kebutuhan tersier.
"Selama hidupnya masih dibantu negara, mendapat beras, PKH, BLT, BPNT, BPJS, atau bantuan uang Rp300 ribu per bulan. Tapi suaminya malah merokok menghabiskan uang Rp300 ribu untuk beli rokok. Dan istrinya juga beli skincare," kata Endah dalam unggahannya.
Baca Juga: Sidang Memanas! Nikita Mirzani Bongkar Dugaan Produk Bodong Reza Gladys di Depan Hakim
Karena itu, ia meminta agar evaluasi dilakukan secara berjenjang melalui musyawarah tingkat dusun dan kalurahan untuk memastikan bantuan tepat sasaran.
"Maka saya minta kepada Pak Lurah, Kader PKH, dan juga Dinas Sosial, untuk mempertimbangkan mencabut bantuannya melalui musyawarah dusun, musyawarah kalurahan," lanjutnya.
Bagi Bupati Endah, sikap ini adalah cerminan dari tidak adanya kemauan untuk hidup hemat dan memperbaiki taraf hidup, sementara masih banyak warga lain yang lebih mendesak untuk dibantu.
Hierarki Kebutuhan Baru: Saat Skincare dan Rokok Jadi Debat
Pernyataan ini membuka kotak pandora perdebatan tentang prioritas dan hak.
Di satu sisi, argumen pemerintah sangat jelas dan telah berulang kali ditegaskan oleh Kementerian Sosial: dana bansos ditujukan untuk kebutuhan pokok.
Program seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) dirancang untuk memastikan nutrisi anak, kesehatan ibu hamil, dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya terpenuhi.
Penggunaan dana untuk rokok, yang jelas merugikan kesehatan, atau skincare, yang sering dianggap sebagai kemewahan, dianggap menyeleweng dari tujuan utama bansos.
Namun, di sisi lain, muncul argumen yang lebih kompleks dari sudut pandang penerima:
Rokok dan Candu: Bagi perokok, berhenti bukanlah hal yang mudah. Ini bukan lagi soal pilihan gaya hidup, melainkan pergulatan melawan adiksi nikotin.
Riset dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) bahkan menemukan korelasi positif antara penerimaan bansos tunai dengan perilaku merokok.
Skincare dan Harga Diri: Di era digital, penampilan menjadi salah satu modal sosial. Bagi sebagian orang, terutama anak muda, skincare dasar bukanlah lagi kemewahan, melainkan kebutuhan untuk menjaga kebersihan, kesehatan kulit, dan meningkatkan rasa percaya diri yang mungkin krusial untuk mencari pekerjaan.
Hak dan Kepercayaan: Argumen mendasar lainnya adalah soal hak. Begitu dana bansos ditransfer ke rekening penerima, dana tersebut menjadi hak milik mereka.
Mendikte penggunaannya bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak percaya dan merendahkan martabat penerima, seolah-olah mereka tidak mampu mengelola keuangannya sendiri.
Dilema Abadi: Antara Kontrol Pemerintah dan Otonomi Warga
Polemik ini mencerminkan dilema abadi dalam penyaluran bantuan sosial di seluruh dunia.
Pemerintah, sebagai pengelola uang pajak, memiliki tanggung jawab untuk memastikan efektivitas program.
Namun, kontrol yang terlalu ketat berisiko menjadi bumerang, menciptakan stigma, dan mengabaikan kompleksitas kehidupan individu dalam kemiskinan.
Usulan evaluasi melalui musyawarah dusun bisa menjadi jalan tengah untuk memastikan akuntabilitas.
Namun, mekanisme ini juga harus diawasi agar tidak menimbulkan konflik sosial atau keputusan subjektif yang merugikan.
Pada akhirnya, perdebatan "bansos untuk skincare dan rokok" ini lebih dari sekadar soal pengeluaran.
Ini adalah cermin dari bagaimana kita sebagai masyarakat mendefinisikan kemiskinan, kebutuhan, dan kelayakan.
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Rekomendasi Mobil Bekas Kabin Luas di Bawah 90 Juta, Nyaman dan Bertenaga
- 4 Daftar Mobil Bekas Pertama yang Aman dan Mudah Dikendalikan Pemula
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 6 Shio Ini Diramal Paling Beruntung dan Makmur Pada 11 Desember 2025, Cek Kamu Salah Satunya?
- Kode Redeem FC Mobile 10 Desember 2025: Siap Klaim Nedved dan Gems Melimpah untuk Player F2P
Pilihan
-
Rencana KBMI I Dihapus, OJK Minta Bank-bank Kecil Jangan Terburu-buru!
-
4 Rekomendasi HP 5G Murah Terbaik: Baterai Badak dan Chipset Gahar Desember 2025
-
Entitas Usaha Astra Group Buka Suara Usai Tambang Emas Miliknya Picu Bencana Banjir Sumatera
-
PT Titan Infra Sejahtera: Bisnis, Profil Pemilik, Direksi, dan Prospek Saham
-
OJK: Kecurangan di Industri Keuangan Semakin Canggih
Terkini
-
Pilkada Kembali ke DPRD: Solusi Hemat Anggaran atau Kemunduran Demokrasi?
-
Muncul Perkap Anggota Polri Bisa Jabat di 17 Kementerian/Lembaga, Ini Respons Komisi III DPR
-
Polisi Ungkap Pemicu Kebakaran Maut Terra Drone: Akibat Baterai 30.000 mAh Jatuh
-
18 Hari Mengungsi, Korban Banjir Pidie Jaya Butuh Tenda untuk Kembali ke Kampung Halaman
-
Perpol Baru Izinkan Polisi Aktif Isi Jabatan Sipil, Kok Berbeda dengan Putusan MK?
-
Kuasa Hukum: Banyak Pasal Dipreteli Polisi dalam Kasus Penembakan 5 Petani Bengkulu Selatan
-
Komplotan Pencuri Modus 'Pura-pura Ditabrak' Diringkus Polisi
-
Usai Mobil MBG Tabrak Puluhan Anak SD di Cilincing, Apa yang Harus Dibenahi?
-
Jeritan Pilu Pedagang Kalibata: Kios Ludes Dibakar Massa, Utang Ratusan Juta Kini Menjerat
-
Benarkah Sakit Hati Ditegur Jadi Motif Siswi SD Bunuh Ibu Kandung di Medan?