Suara.com - Di tengah gegap gempita 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, kelompok transpuan justru merasakan kemunduran demokrasi. Mereka merasa masih “dijajah” oleh kebijakan diskriminatif dan stigma yang dilanggengkan negara. Tapi mereka tak diam—tetap melawan, menolak bungkam dan bangga atas jati diri.
BENDERA merah putih berkibar gagah di setiap sudut jalan. Tawa anak-anak yang membawa bendera kecil memecah udara pagi. Di lapangan-lapangan, paduan suara berlatih khidmat menyambut upacara kemerdekaan.
Namun, di sebuah ruang yang sunyi, jauh dari hingar bingar perayaan itu, ironi pahit justru terasa begitu pekat. Bagi Echa Waode dan komunitasnya, kemerdekaan hanyalah ilusi. Sebuah kata manis yang terpampang di baliho dan pidato pejabat, tapi hampa dalam kenyataan.
“Sebenarnya kita sedang dibodohi oleh negara. Kita merayakan kemerdekaan, tapi sesungguhnya masih dijajah oleh sistem dan kebijakan yang ada,” ucap Echa Waode dengan suara yang terdengar berat saat berbincang dengan Suara.com beberapa waktu lalu.
Bagi Sekretaris Jenderal Arus Pelangi ini, gegap gempita kemerdekaan adalah sebuah anomali. Di saat negara merayakan kebebasan, ruang gerak kaum transpuan justru kian sempit, dibayangi razia, dan diintai persekusi yang bisa datang kapan saja—bahkan dari aparat yang semestinya melindungi.
Kemerdekaan Semu
Di usia Indonesia yang ke-80, Echa melihat demokrasi justru berjalan mundur bagi kelompoknya. Transfobia tak lagi sekadar komentar kebencian di media sosial, tapi telah menjelma menjadi kekerasan fisik dan kebijakan diskriminatif yang dilegalkan oleh negara.
“Bagaimana kita mau bilang sudah merdeka kalau masih banyak pejabat publik yang transfobia?” tanyanya dengan nada tajam.
Ia tak asal bicara. Memori kolektif komunitasnya penuh dengan luka. Echa mengingat betul insiden brutal di Kuningan, Jawa Barat, saat seorang petinju dengan bengis menganiaya seorang transpuan yang hanya sedang berjuang menyambung hidup.
Baca Juga: BCA Syariah Gelar Donor Darah Karyawan Sambut HUT ke-80 Republik Indonesia
"Kawan transpuan berjuang mandiri sebagai pekerja seks untuk menyambung hidup saja seringkali dipersekusi. Lalu, bagaimana dia bisa bekerja di sektor formal jika stigma dan diskriminasi ada di mana-mana?" ungkapnya getir.
Transfobia Jadi Kebijakan
Diskriminasi ini, menurut Echa, bukanlah sekadar prasangka liar di masyarakat. Ia telah merasuki ruang-ruang kekuasaan dan dilegitimasi melalui kebijakan resmi.
Contoh paling anyar dan menyakitkan adalah larangan yang dikeluarkan oleh Bupati Gorontalo, yang secara eksplisit melarang keterlibatan transpuan dalam seluruh rangkaian perayaan HUT ke-80 RI.
Bagi Echa, ini bukan lagi soal sentimen pribadi, melainkan bentuk penjajahan modern yang dilakukan oleh negara terhadap warganya sendiri.
“Itu bukti nyata bahwa penjajahan itu masih ada! Tubuh dan ekspresi kami coba diatur dan dibatasi oleh kekuasaan,” tegasnya.
Namun, tekanan hebat itu tak membuat mereka layu. Sebaliknya, ia justru melahirkan perlawanan yang sunyi tapi kokoh. Di Gorontalo, banyak transpuan yang memilih kehilangan pekerjaan dan kesempatan daripada harus menyembunyikan jati diri mereka.
Bagi Echa, ini adalah bentuk perlawanan paling murni; menolak tubuh dan ekspresi mereka diatur dan dibungkam.
“Ini adalah bentuk penolakan terhadap pembungkaman. Mereka tidak lagi mau diatur tentang ketubuhannya, karena setiap orang punya hak bebas berekspresi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya.
Di tengah perayaan kemerdekaan yang terasa asing bagi mereka, kelompok transpuan justru sedang merayakan kemerdekaan versi mereka sendiri. Kemerdekaan untuk menjadi diri sendiri, untuk melawan, dan untuk menolak tunduk.
Menutup perbincangan, Echa menitipkan sebuah pesan menohok, sebuah tamparan bagi makna kemerdekaan yang selama ini digaungkan.
“Mari saling menghormati keberagaman. Kalau kita bisa beragam, kenapa harus seragam? Kemerdekaan jangan sekadar seremoni. Tapi harus benar-benar dirasakan setiap hari, oleh siapa pun, tanpa terkecuali!"
_________________________
Artikel ini khusus dibuat Redaksi Suara.com dalam rangka perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- 30 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 28 September: Raih Hadiah Prime Icon, Skill Boost dan Gems Gratis
Pilihan
-
Lowongan Kerja PLN untuk Lulusan D3 hingga S2, Cek Cara Daftarnya
-
Here We Go! Jelang Lawan Timnas Indonesia: Arab Saudi Krisis, Irak Limbung
-
Berharap Pada Indra Sjafri: Modal Rekor 59% Kemenangan di Ajang Internasional
-
Penyumbang 30 Juta Ton Emisi Karbon, Bisakah Sepak Bola Jadi Penyelamat Bumi?
-
Muncul Tudingan Ada 'Agen' Dibalik Pertemuan Jokowi dengan Abu Bakar Ba'asyir, Siapa Dia?
Terkini
-
Bau Busuk dari Mobil Terparkir Ungkap Tragedi: Sopir Taksi Online Ditemukan Tewas di Pejaten
-
Korupsi Menggila di Desa! ICW Ungkap Fakta Mencengangkan Sepanjang 2024
-
Menkeu Purbaya Curhat Gerak-geriknya di Tiktok Dipantau Prabowo, Mengapa?
-
Organisasi Kesehatan Kritik Rencana Menkeu Tidak Naikkan Cukai Rokok 2026: Pembunuhan Rakyat!
-
Hariati Sinaga Kritik Sistem Kapitalis yang Menghalangi Kesetaraan
-
Ramai Aspirasi Pemekaran, NasDem Desak Pemerintah Segera Terbitkan PP DOB
-
Prabowo Pimpin Upacara Hari Kesaktian Pancasila, Lanjut Tinjau Monumen Pancasila Sakti
-
Pemprov DKI Bangun Dua Kantor Kelurahan Hasil Pemekaran Kapuk, Kejari Jakbar Ikut Kawal Anggaran
-
Tren Penindakan Korupsi 2024 Anjlok, Kerugian Negara Justru Meroket
-
DPR Desak Pemerintah Gerak Cepat Tangani Ambruknya Musala Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo