News / Nasional
Rabu, 01 Oktober 2025 | 09:43 WIB
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. [Suara.com/Novian]
Baca 10 detik
  • Menkeu Purbaya berencana tidak menaikkan cukai rokok pada 2026, dengan alasan tarif sudah tinggi.

  • Organisasi kesehatan menilai kebijakan ini pro industri rokok, berpotensi menaikkan jumlah perokok anak dan beban penyakit.

  • WHO merekomendasikan tarif cukai minimal 75%, jauh di atas tarif Indonesia yang masih rendah.

Suara.com - Rencana Menteri Keuangan Republik Indonesia Purbaya Yudhi Sadewa untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada 2026 menuai kritik keras dari organisasi kesehatan, akademisi, dan pemerhati anak.

Komnas Pengendalian Tembakau, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Yayasan Lentera Anak, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menilai keputusan itu sebagai bentuk keberpihakan pemerintah kepada industri rokok dan mengabaikan hak rakyat atas kesehatan.

“Pembunuhan rakyat didukung oleh Pemerintah sendiri melalui industri pembunuh, boleh dikatakan ini fenomena pembunuhan kepada rakyat Indonesia yang dilegitimasi oleh negara,” kritik Sekretaris Jenderal Komnas Pengendalian Tembakau, Tulus Abadi, dalam konferensi pers virtual, Selasa (30/9/2025).

Dalam beberapa pernyataan di media, Menkeu Purbaya menyebut tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 57 persen sudah terlalu tinggi. Namun, menurut kelompok masyarakat sipil tersebut, angka itu merupakan batas maksimum yang diatur dalam UU No. 39 Tahun 2007 dan belum pernah diterapkan.

Tarif cukai tertinggi saat ini dikenakan pada Sigaret Putih Mesin (SPM) Golongan I sebesar 53 persen. Sementara pada Sigaret Kretek Tangan (SKT) Golongan III, tarifnya hanya 14 persen. Angka itu dinilai sangat rendah dibanding standar internasional.

WHO merekomendasikan tarif cukai minimum 75 persen dari harga ritel pasar. Untuk Indonesia, lembaga itu bahkan menyarankan kenaikan tahunan sekitar 25 persen agar keterjangkauan rokok dapat ditekan. Selama ini, pemerintah hanya menaikkan tarif rata-rata 10–11 persen per tahun.

Keputusan tidak menaikkan cukai pada 2026, menurut organisasi kesehatan, berpotensi meningkatkan prevalensi perokok anak dan remaja, serta memicu lonjakan penyakit mematikan akibat tembakau dan beban ekonomi negara.

“Langkah Menkeu Purbaya sangat mengecewakan. Komitmennya untuk memperbaiki ekonomi negara patut diragukan karena justru berpihak pada oligarki industri rokok yang selama ini merongrong Indonesia. Kami mendesak Menkeu mengkaji kembali keputusannya yang sembrono dan membahayakan rakyat, jangan sampai menjadi antek industri yang membunuh," ucap Tulus.

Berdasarkan data CISDI (2022), beban BPJS Kesehatan akibat penyakit terkait rokok mencapai Rp27 triliun per tahun. Sementara itu, menurut BPS, keluarga miskin menempatkan rokok sebagai belanja terbesar kedua setelah beras.

Baca Juga: Cukai Rokok 2026 Tidak Naik, Menkeu Purbaya: Saya Nggak Mau Industri Kita Mati

Sebelumnya, pengumuman Menkeu Purbaya terkait kebijakan cukai tersebut dilakukan setelah menteri bertemu dengan perusahaan rokok besar seperti Gudang Garam, Djarum, dan Wismilak juga menuai kecurigaan adanya konflik kepentingan.

Load More