News / Nasional
Jum'at, 05 September 2025 | 16:49 WIB
Wapres Gibran Rakabuming Raka (kiri) saat mengikuti Sidang Tahunan MPR RI. Kini ia dituntut ganti rugi Rp125 triliun. [ANTARAFOTO/Rivan Awal Lingga/app/rwa]
Baca 10 detik
  • Wapres Gibran dituntut ganti rugi Rp125 triliun
  • Gugatan yang diajukan oleh warga sipil bernama Subhan
  • Latar belakang tuntutan
[batas-kesimpulan]

Suara.com - Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, kini menjadi subjek gugatan perdata dan dituntut ganti rugi sebesar Rp125 triliun. Duduk perkara Gibran dituntut ini pun langsung menjadi sorotan.

Gugatan yang diajukan oleh warga sipil bernama Subhan tersebut masuk ke PN Jakarta Pusat pada tanggal 29 Agustus 2025, dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst.

Gugatan ini memicu perhatian publik karena menyasar Wakil Presiden aktif dan mengangkat isu hukum terkait pendidikan setara SMA bagi calon presiden dan wakil presiden. Berikut ulasan lengkapnya.

Latar Belakang Gugatan terhadap Gibran Rakabuming Raka

Subhan menekankan bahwa dasar gugatan yang diajukan adalah dugaan bahwa pendidikan Gibran tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pilpres 2024.

Berdasarkan Pasal 169 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, salah satu syarat bagi seorang calon presiden atau wakil presiden adalah memiliki pendidikan paling rendah tamatan SMA atau sederajat.

Subhan menilai bahwa pendidikan menengah Gibran di luar negeri tidak setara dengan standar yang diwajibkan di Indonesia.

Gibran diketahui menamatkan pendidikan menengahnya di Orchid Park Secondary School, Singapura, pada 2002 hingga 2004, dan kemudian melanjutkan pendidikan di UTS Insearch, Sydney, Australia, pada 2004 hingga 2007.

Menurut Subhan, kedua institusi tersebut tidak dapat dianggap setara dengan SMA berdasarkan hukum Indonesia.

Baca Juga: BEM SI Tagih Janji 19 Juta Lapangan Pekerjaan Wapres Gibran ke DPR RI, Malah Tuai Nyinyiran

Dalam perspektif Subhan, KPU tidak memiliki wewenang untuk menafsirkan apakah institusi pendidikan luar negeri setara dengan pendidikan nasional.

Walaupun dua lembaga itu secara akademik setara dengan SMA, Undang-Undang Pemilu secara eksplisit menyebutkan bahwa syarat pendidikan adalah tamatan SLTA, SMA, atau sederajat di Indonesia.

Dengan kata lain, Subhan menilai KPU telah melampaui wewenangnya dengan menganggap ijazah luar negeri setara SMA.

Dituntut Ganti Rugi Rp125 Triliun

Dalam dokumen gugatan, disebutkan bahwa ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp125 triliun harus dibayarkan Gibran dan KPU kepada negara, bukan kepada penggugat secara pribadi.

Selain itu, gugatan juga mencantumkan ganti rugi tambahan sebesar Rp10 juta yang harus disetorkan ke kas negara.

Subhan menegaskan bahwa tujuan dari gugatan ini adalah untuk memastikan kepastian hukum dan menguji interpretasi KPU terkait pendidikan luar negeri sebagai syarat kelayakan calon presiden atau wakil presiden.

Gugatan perdata terhadap Gibran dan KPU akan memasuki sidang perdana di PN Jakarta Pusat pada Senin, 8 September 2025.

Gugatan ini menarik perhatian publik dan kalangan hukum karena menyangkut prosedur administratif Pilpres, kesetaraan ijazah luar negeri dengan pendidikan nasional, serta besaran tuntutan ganti rugi yang sangat besar.

Sudah Pernah Mengajukan Gugatan Sebelumnya

Sebelum menuju Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Subhan sudah pernah mengajukan gugatan ke PTUN DKI Jakarta.

Namun, PTUN menolak gugatan tersebut karena tidak lagi berwenang memeriksa kasus yang berkaitan dengan penetapan calon presiden dan wakil presiden.

Putusan PTUN terkait gugatan tersebut dibacakan pada 25 Oktober 2024, tanpa mengubah status Gibran sebagai calon.

Menanggapi gugatan ini, anggota KPU, Idham Holik, menegaskan bahwa seluruh tahapan pencalonan Pilpres 2024 telah dijalankan sesuai prinsip kepastian hukum.

Ia menekankan bahwa KPU berpedoman pada Pasal 16 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 58 Tahun 2024 dalam menetapkan kualifikasi peserta pemilu yang menempuh pendidikan di luar negeri.

Peraturan tersebut menyatakan bahwa ijazah atau dokumen hasil belajar dari sistem pendidikan luar negeri dapat diakui untuk melanjutkan pendidikan di satuan pendidikan nasional, dengan proses pengakuannya dilakukan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai panduan kementerian.

Idham menambahkan, selama tahapan pencalonan Pilpres, tidak ada putusan dari Bawaslu, PTUN, maupun Mahkamah Konstitusi yang mempermasalahkan proses penelitian administrasi pasangan calon Pilpres.

Dengan demikian, dari perspektif KPU, pencalonan Gibran telah memenuhi prosedur hukum yang berlaku.

Itulah informasi terkait duduk perkara Gibran Rakabuming dituntut. Kasus ini menjadi sorotan karena mengangkat isu penting terkait legalitas pencalonan pejabat tinggi negara dan pengakuan ijazah luar negeri di Indonesia.

Kontributor : Dini Sukmaningtyas

Load More