News / Nasional
Rabu, 01 Oktober 2025 | 15:59 WIB
Santri melihat bangunan musala yang ambruk di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9/2025). [ANTARA FOTO/Umarul Faruq/bar]

Suara.com - Tragedi robohnya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, pada Senin (29/9) 2025 sore menimbulkan duka mendalam sekaligus pertanyaan besar.

Bagaimana mungkin sebuah musala berlantai tiga yang masih dalam tahap pembangunan sudah difungsikan untuk aktivitas santri, hingga akhirnya ambruk dan menimbun puluhan orang di bawah reruntuhan?

Setidaknya tiga santri meninggal dunia, hampir seratus lainnya luka-luka, dan puluhan masih dalam pencarian.

Hingga Rabu (1/10), tim SAR gabungan dari 56 instansi dengan 332 personel masih berjuang melakukan evakuasi manual tanpa alat berat karena khawatir sisa struktur runtuh kembali.

1. Kolom Tiang Tidak Kuat

Menurut laporan BNPB, insiden terjadi sekitar pukul 15.00 WIB, saat para santri sedang melaksanakan salat Asar berjemaah di lantai dua bangunan. Pada saat yang sama, di lantai tiga tengah dilakukan pengecoran atap.

Foto udara bangunan musala yang ambruk di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9/2025). [ANTARA FOTO/Umarul Faruq/nz]

Diduga, tiang penopang tidak mampu menahan beban cor semen yang baru saja dituangkan sejak pagi. Akibatnya, seluruh struktur roboh hingga menimpa para santri di bawahnya.

Beberapa penyintas menggambarkan detik-detik mengerikan tersebut. Muhammad Rijalul Qoib (13), santri asal Sampang, mengatakan ia sempat tertimpa atap sebelum berhasil keluar melalui celah reruntuhan.

Santri lain bernama Sofa juga menuturkan, saat itu banyak temannya yang berusaha menyelamatkan diri, namun masih banyak yang terjebak.

Baca Juga: DPR Desak Pemerintah Gerak Cepat Tangani Ambruknya Musala Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo

2. Struktur Reruntuhan Terlalu Rapuh

Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI M. Syafeii, menjelaskan bahwa tim belum bisa menggunakan excavator maupun crane karena struktur runtuhan sangat rapuh, seperti "jaring laba-laba".

Petugas pun berusaha masuk dengan membuat terowongan kecil, bahkan berupaya memberikan makanan dan minuman kepada korban yang masih hidup di dalam reruntuhan.

Hingga Selasa (30/9) malam, Basarnas melaporkan 98 santri menjadi korban dengan berbagai kondisi luka. Mereka dirawat di RSUD Sidoarjo, RSI Siti Hajar, dan RS Delta Surya.

Masih ada sekitar 38 orang belum ditemukan. Harapan tetap ada, sebab beberapa korban masih bisa diajak berkomunikasi dari dalam reruntuhan.

3. Indikasi Kelalaian

Dari tragedi ini, muncul sejumlah kejanggalan yang menimbulkan dugaan kelalaian. Meski masih dalam proses pembangunan, musala tiga lantai tersebut sudah difungsikan untuk salat berjemaah. Padahal, bangunan belum sepenuhnya aman.

4. Dugaan Tidak Ada IMB

Ada dugaan bahwa pembangunan musala tidak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Bupati Sidoarjo Subandi menyebut pihak pengelola belum mengurus izin. Fakta ini menambah panjang daftar kelalaian administratif yang berpotensi berujung fatal.

5. Santri Dilibatkan dalam Pembangunan

Beberapa kesaksian menyebut santri ikut dilibatkan dalam proses pembangunan, termasuk pekerjaan berat seperti pengecoran.

Santri bernama Sulaiman (18) mengaku keterlibatan itu kerap dijadikan bentuk hukuman. Bahkan, seorang wali santri mengungkap keponakannya mengalami retak tulang karena ikut mengecor atap yang kemudian roboh.

Menteri Agama Nasaruddin Umar, ketika ditanya soal pelibatan santri, mengaku tidak tahu menahu, meski mengakui praktik serupa terjadi di beberapa pondok lain. Ia menegaskan ke depan pembangunan fasilitas pendidikan keagamaan harus sesuai standar.

Santri seharusnya difokuskan pada kegiatan belajar dan ibadah, bukan dilibatkan dalam pekerjaan konstruksi berisiko tinggi. Peristiwa ini menunjukkan adanya celah pengawasan yang perlu segera dibenahi, baik di tingkat pesantren maupun pemerintah.

Respons Pihak Pesantren

Pengasuh Ponpes Al Khoziny, KH R Abdus Salam Mujib, membenarkan bahwa musala memang masih dalam tahap pembangunan sekitar sembilan hingga sepuluh bulan terakhir.

Lantai dasar difungsikan sebagai musala, sementara lantai atas direncanakan sebagai aula kegiatan santri. Menurutnya, penyebab runtuhnya bangunan adalah karena penopang tidak kuat menahan material cor.

Pengakuan bahwa bangunan digunakan untuk aktivitas santri menimbulkan pertanyaan besar seperti tidak ada kesadaran risiko keselamatan sebelum memutuskan memfungsikan bangunan yang belum selesai itu.

Kepolisian saat ini masih menyelidiki penyebab pasti robohnya bangunan. Tim dari Polda Jawa Timur sudah diterjunkan untuk memeriksa lokasi dan mengumpulkan keterangan saksi.

Di sisi lain, Kementerian Agama berjanji menjadikan kasus ini sebagai pembelajaran agar pembangunan pondok pesantren ke depan tidak lagi mengabaikan aturan konstruksi dan keselamatan. Menteri Nasaruddin Umar menyatakan akan memberi perhatian khusus agar semua proyek pembangunan ponpes memenuhi standar bangunan layak.

Kini, ratusan keluarga korban masih menanti kabar dari posko darurat. Isak tangis pecah setiap kali nama korban diumumkan lewat pengeras suara musala Al-Amin di dekat lokasi kejadian. 

Demikian itu kejanggalan-kejanggalan robohnya pondok pesantren Al Khoziny.

Kontributor : Mutaya Saroh

Load More