News / Nasional
Senin, 13 Oktober 2025 | 13:58 WIB
Silfester Matutina saat bersama Jokowi. [Dok. Antara]
Baca 10 detik
  • Kejaksaan Agung dikritik keras oleh lembaga De Jure karena dinilai tidak serius dan gagal mengeksekusi terpidana kasus fitnah, Silfester Matutina, yang telah divonis 1,5 tahun penjara
  • Kejanggalan muncul karena Kejagung beralasan sulit menemukan Silfester, padahal yang bersangkutan dilaporkan masih aktif dan sering muncul di ruang publik serta media massa
  • De Jure mendesak eksekusi segera dilakukan dan meminta Komisi Kejaksaan turun tangan untuk mengawasi kinerja jaksa

Suara.com - Penegakan hukum di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) tak kunjung mengeksekusi Silfester Matutina, terpidana kasus fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Sikap Kejagung ini memicu kritik keras dari kelompok masyarakat sipil yang menuding adanya praktik tebang pilih dalam menangani perkara.

Lembaga pemerhati hukum, Democratic Judicial Reform (De Jure), menjadi salah satu yang paling vokal menyuarakan kejanggalan ini. Direktur Eksekutif De Jure, Bhatara Ibnu Reza, menilai Kejagung tidak menunjukkan keseriusan dalam menjalankan putusan kasasi Mahkamah Agung yang telah memvonis Silfester dengan hukuman 1,5 tahun penjara.

"Kami menilai, kejaksaan tidak benar-benar serius dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam kasus ini terutama dengan menggunakan sejumlah dalih serta saling lempar tanggungjawab antara pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan," kata Reza dalam keterangan tertulis, Minggu (12/10/2025).

Reza menyayangkan alasan Kejagung yang mengaku kesulitan menemukan Silfester. Padahal, menurutnya, terpidana tersebut masih aktif dan bebas muncul di berbagai media massa.

Kondisi ironis ini menimbulkan pertanyaan besar di benak publik mengenai integritas dan independensi korps Adhyaksa. Sikap Kejaksaan ini seolah mengonfirmasi dugaan adanya perlakuan istimewa terhadap individu tertentu.

Kasus ini berawal dari vonis 1 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Silfester pada 30 Juli 2018 atas tuduhan fitnah yang menyebut JK menggunakan isu SARA untuk memenangkan Anies Baswedan di Pilkada DKI 2017.

Putusan ini dikuatkan di tingkat banding, dan bahkan diperberat menjadi 1 tahun 6 bulan penjara di tingkat kasasi. Namun, hingga kini eksekusi putusan tersebut masih menggantung.

Upaya hukum terakhir Silfester melalui Peninjauan Kembali (PK) pun telah resmi digugurkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Artinya, tidak ada lagi alasan hukum yang dapat menunda eksekusi.

Menurut Reza, kasus Silfester menjadi bukti nyata bahwa kewenangan besar yang dimiliki Kejaksaan tidak diimbangi dengan sistem pengawasan yang kuat.

Baca Juga: Eksekusi Silfester Matutina Mandek, Kejaksaan Dinilai Tebang Pilih Jalankan Hukum

Ia menyoroti bagaimana institusi ini terkesan berhasrat memperluas kewenangannya melalui RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan, tanpa adanya perbaikan signifikan pada mekanisme check and balance.

"Hal ini disebabkan karena tidak adanya check and balance antara penggunaan kewenangan dengan pengawasan kewenangan khususnya oleh institusi pengawas eksternal," tegasnya.

Situasi ini, lanjut Reza, sangat berpotensi memicu penyalahgunaan wewenang yang dapat mencederai rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, De Jure mendesak agar eksekusi terhadap Silfester segera dilaksanakan tanpa pandang bulu.

"Kami mendesak Kejaksaan RI untuk secepatnya melakukan eksekusi terhadap terpidana Silfester Matutina serta juga Komisi Kejaksaan RI untuk melakukan tugasnya dalam mengawasi kinerja dan perilaku jaksa secara serius," pungkas Reza.

Load More