News / Nasional
Selasa, 14 Oktober 2025 | 06:41 WIB
Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Irine Hiraswari Gayatri saat Kuliah Terbuka bertajuk "Pasang Surut-Kerakyatan" yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Driyakarya dan Suara Ibu Indonesia. (Suara.com/ Safelia Putri)
Baca 10 detik
  • Irine mengajak para peserta untuk meninjau gerakan rakyat tidak hanya dari permukaan, melainkan melalui konteks yang lebih luas dan komprehensif.
  • Peneliti BRIN mengambil contoh reformasi 1998 di Indonesia sebagai studi kasus yang relevan.
  • Irine menghubungkan gejolak sosial di Indonesia dengan krisis ekonomi global yang melanda Asia kala itu.

Suara.com - Dinamika gerakan rakyat kerap menjadi denyut nadi perubahan sosial dan politik. Namun, apa sebenarnya yang membentuk "pasang surut" partisipasi masyarakat?

Pertanyaan krusial ini menjadi sorotan utama dalam Kuliah Terbuka bertajuk "Pasang Surut-Kerakyatan" yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Driyakarya dan Suara Ibu Indonesia.

Acara ini menghadirkan sosok mumpuni sebagai pembicara utama: Irine Hiraswari Gayatri, seorang peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Dalam paparannya yang mendalam, Irine mengajak para peserta untuk meninjau gerakan rakyat tidak hanya dari permukaan, melainkan melalui konteks yang lebih luas dan komprehensif.

"Kalau kita pahami, itu membahas gerakan rakyat, pemahaman melalui konteks," jelasnya, membuka perspektif baru bagi para audiens pada Senin (13/10/2025).

Ia kemudian mengajak kita kembali ke masa krusial, mengambil contoh Reformasi 1998 di Indonesia sebagai studi kasus yang relevan.

Irine menghubungkan gejolak sosial di Indonesia dengan krisis ekonomi global yang melanda Asia kala itu.

"Misalnya, reformasi 98, sebelum itu berlangsung ada ekonomi krisis, di Thailand orang-orang marah, turun ke jalan," urainya, menarik benang merah yang menunjukkan bagaimana krisis ekonomi dapat menjadi pemicu gelombang protes massa yang masif di berbagai negara.

Secara tegas, Irine menggarisbawahi bahwa Reformasi 1998 adalah titik balik historis yang berhasil membuka gerbang demokrasi di Tanah Air.

Baca Juga: BRIN Jelaskan Penyebab Dentuman dan Kilatan Cahaya Langit Cirebon: Benar Meteor?

"Reformasi 98, itu membuka ruang mendemokrasi," tegasnya.

Namun, ia juga tak luput menyoroti berbagai faktor pelik yang menjadi penyebab pasang surutnya semangat kerakyatan. Ini adalah bagian krusial yang sering terlupakan dalam euforia perubahan.

"Faktornya pasang-surut kerakyatan itu banyak, salah satunya lelah situasi, enggak punya duit, enggak jadi bagian keputusan elit," ungkap Irine.

Ia mengidentifikasi tiga pilar utama: kelelahan masyarakat akibat situasi yang tak kunjung membaik, masalah ekonomi yang membelenggu, dan perasaan terasing karena tidak menjadi bagian dari pengambilan keputusan elit.

Lebih jauh, Irine menyingkap jurang pemisah antara teori dan praktik di lapangan. Seringkali, apa yang terlihat ideal di atas kertas tak sejalan dengan realitas.

"Kadang-kadang saluran yang tepat, belum tentu sesuai praktik," ujarnya.

Load More