News / Nasional
Kamis, 13 November 2025 | 11:32 WIB
Dua guru asal Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan Abdul Muis (kiri) dan Rasnal (kanan) memberikan keterangan pers usai menerima langsung surat rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (13/11/2025). ANTARA/HO-BPMI Sekretariat Presiden
Baca 10 detik
  • Dua guru di Luwu Utara menjadi tersangka setelah kebijakan dana sukarela sebesar Rp20 ribu untuk membantu gaji guru honorer dilaporkan sebagai pungutan liar (pungli)
  • Selama lima tahun, kedua guru tersebut berjuang mencari keadilan dari tingkat daerah hingga provinsi namun tidak berhasil dan merasa didiskriminasi oleh aparat serta birokrasi
  • Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung dengan memberikan surat rehabilitasi yang secara resmi memulihkan nama baik, hak, dan martabat kedua guru tersebut

Suara.com - Lima tahun penantian yang penuh rasa lelah dan diskriminasi akhirnya berakhir di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Di sana, pada Kamis (13/11/2024) dini hari, dua guru asal Luwu Utara, Abdul Muis dan Rasnal, tak kuasa menahan haru saat menerima surat rehabilitasi langsung dari tangan Presiden Prabowo Subianto.

Bagi mereka, ini bukan sekadar secarik kertas. Ini adalah akhir dari mimpi buruk dan pemulihan sebuah martabat yang sempat terenggut.

“Saya pribadi dan keluarga besar saya sampaikan setulus-tulusnya terima kasih kepada Bapak Presiden yang telah memberikan rasa keadilan kepada kami, yang di mana selama lima tahun ini kami merasakan diskriminasi, baik dari aparat penegak hukum maupun dari birokrasi atasan kami yang seakan-akan tidak pernah peduli dengan kasus kami yang kami hadapi,” ujar Abdul Muis, Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Luwu Utara, dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.

Namun, apa yang sebenarnya terjadi hingga dua pendidik ini harus menempuh jalan terjal selama lima tahun untuk sekadar membersihkan nama baik mereka?

Mengapa Presiden Prabowo perlu turun tangan langsung?

Semua bermula dari sebuah niat baik lima tahun silam. Kala itu, Rasnal yang menjabat sebagai Kepala Sekolah SMAN 1 Luwu Utara menerima keluhan pahit, sepuluh guru honorer di sekolahnya belum menerima gaji selama sepuluh bulan.

Usut punya usut, nama mereka belum terdata dalam sistem Dapodik, syarat mutlak untuk pencairan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Hati nurani mereka sebagai pendidik tergerak. Untuk mencari solusi darurat, pihak sekolah bersama Komite Sekolah menggelar rapat dan menyepakati sebuah kebijakan yakni pengumpulan dana sukarela sebesar Rp20 ribu dari setiap orang tua siswa.

Baca Juga: Pulihkan Nama Baik, Presiden Prabowo Beri Rehabilitasi Dua Guru Korban Kriminalisasi Asal Luwu Utara

Kebijakan ini dibuat dengan catatan penting, tidak ada paksaan sama sekali. Keluarga yang kurang mampu atau memiliki lebih dari satu anak di sekolah tersebut dibebaskan dari iuran.

Tujuannya hanya satu, agar dapur para guru honorer yang mengabdi tanpa pamrih itu bisa tetap mengepul.

Namun, niat baik itu justru menjadi bumerang. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melaporkan kebijakan tersebut ke pihak kepolisian dengan tuduhan pungutan liar (pungli).

Empat guru diperiksa, dan nasib malang menimpa Rasnal serta Abdul Muis yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

Sejak saat itu, perjuangan mereka untuk mencari keadilan dimulai. Sebuah perjalanan yang digambarkan Rasnal sebagai sesuatu yang luar biasa melelahkan.

“Ini adalah sebuah perjalanan yang sangat melelahkan. Kami telah berjuang dari bawah, dari dasar sampai ke provinsi. Sayangnya kami tidak bisa mendapatkan keadilan,” ungkap Rasnal, yang kini mengajar Bahasa Inggris di SMA Negeri 3 Luwu Utara.

Load More