News / Nasional
Kamis, 27 November 2025 | 18:49 WIB
Ilustrasi KUHAP yang baru disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI. (Suara.com)
Baca 10 detik
  • KUHAP baru disahkan DPR di tengah kontroversi dan kritik dari masyarakat sipil.
  • Koalisi menilai KUHAP beri wewenang berlebih pada aparat tanpa kontrol yang memadai.
  • Penerapan yang terburu-buru dikhawatirkan merugikan masyarakat dan diminta dibatalkan lewat Perppu.

Sorotan dari Koalisi Sipil

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, M Fadhil Alfathan, yang juga tergabung dalam Koalisi, mengungkapkan mengapa KUHAP baru ini dinilai bermasalah sejak awal.

Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan. (Suara.com/Faqih Fathurrahman)

Semua bermula ketika Koalisi Masyarakat Sipil mencium gerak-gerik DPR dan Pemerintah yang akan mengebut pembahasan revisi KUHAP sejak awal tahun 2025. Padahal, Koalisi sejak lama mendorong revisi KUHAP karena sudah tidak relevan.

"Padahal kami juga kritik di awal, kok baru tahun ini? Kalau dari beberapa tahun sebelumnya kan kita punya ruang dan waktu yang lebih banyak untuk berpartisipasi, untuk ngasih masukan," kata Fadhil saat dihubungi Suara.com pada Kamis (27/11/2025).

Setelah Koalisi mengkritik proses pembahasan yang terkesan dikebut, Komisi III DPR RI akhirnya melayangkan undangan audiensi pada Mei 2025.

Namun, dalam audiensi tersebut, Koalisi mengaku tidak dapat memberikan masukan substantif. Penyebabnya, mereka tidak pernah menerima draf resmi revisi KUHAP yang menjadi acuan pembahasan di parlemen.

"Karena kami enggak tahu draf yang dipakai yang mana. Karena yang kami dapat itu yang di bawah meja saja. Bukan draf resmi di website DPR dan lain sebagainya," jelas Fadhil.

Bagi Koalisi, minimnya akses terhadap dokumen resmi menjadi bukti bahwa proses pembahasan kurang transparan.

Tak lama setelah audiensi, beredar kabar bahwa revisi KUHAP akan segera disahkan pada Juli 2025, meski akhirnya urung dilakukan. Pembahasan pun berlanjut melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) hingga Rapat Kerja Panja, sampai akhirnya Panja mengambil keputusan tingkat I. Di momen inilah Koalisi merasa aspirasinya dicatut.

Baca Juga: Pemerintah Usul Hapus Pidana Minimum Kasus Narkotika, Lapas Bisa 'Tumpah' Lagi?

"Di situ tuh yang ada soal pencatutan tuh Mas. Kami enggak dikasih tahu, tapi tiba-tiba disebut, koalisi ngusulin ini, ngusulin itu. Padahal enggak kayak gitu usulan kami gitu ya," tutur Fadhil.

Pasal-Pasal yang Dinilai Bermasalah

Kritik Koalisi berlanjut ke substansi pasal. KUHAP yang baru disahkan dianggap lebih banyak mengatur perluasan wewenang aparat penegak hukum ketimbang memperkuat mekanisme kontrol dan akuntabilitasnya.

Hal itu, kata Fadhil, tercermin dari Pasal 6 KUHAP baru, yang berbunyi: "Ayat (1) Penyidik terdiri atas: a. Penyidik Polri; b. PPNS; dan c. Penyidik Tertentu. Ayat (2) Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana..."

Menurut Fadhil, pasal ini menjadikan penyidik Polri superior, karena penyidik dari kalangan PNS (PPNS) hingga penyidik tertentu harus bergerak atas surat perintah dari penyidik Polri.

"Jadi kalau Pak Purbaya (Menkeu) bilang, 'Kami akan tangkap itu penyelundup orang-orang yang melanggar ketentuan pajak, bea cukai,' enggak akan bisa dilakukan tuh tanpa surat perintah dari Penyidik Polri," kata Fadhil.

Load More