News / Nasional
Minggu, 07 Desember 2025 | 01:51 WIB
Feminist menggelar Feminist Festival 2025 dengan mengusung tema “Panggung Ingatan Suara Perempuan" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Sabtu (6/12/2025). [Yaumal/Suara.com]
Baca 10 detik
  • Feminist Festival 2025 di Jakarta menghasilkan rekomendasi penting tentang keadilan reproduksi, menuntut negara mengintegrasikan pendidikan kesehatan komprehensif dan akses layanan tanpa diskriminasi.

  • Isu eksplorasi alam menyoroti kerentanan perempuan dan menuntut negara untuk bertanggung jawab dan memberikan pemulihan adil, termasuk jaminan kesehatan, sanitasi, dan perlindungan hukum.

  • Tuntutan pada isu kekerasan berbasis gender dan femisida mencakup pembentukan hukum pidana khusus femisida dan reformasi sistemik pemulihan korban untuk mengatasi kegagalan perlindungan negara.

Suara.com - Perkumpulan Lintas Feminist Jakarta atau yang lebih dikenal sebagai Jakarta Feminist menggelar Feminist Festival 2025 dengan mengusung tema “Panggung Ingatan Suara Perempuan" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Sabtu (6/12/2025).

Dalam agenda tersebut mereka menyampaikan sejumlah rekomendasi yang dihimpun berdasarkan kesaksian dan pengalaman perempuan terkait sejumlah isu di antaranya keadilan reproduksi, dampak eksplorasi alam bagi perempuan hingga kekerasan terhadap perempuan dan femisida. Pembacaan rekomendasi itu mereka kemas dalam sesi "Ruang Dengar Suara Perempuan."

Ayu Oktariani, aktivis perempuan menyuarakan soal keadilan reproduksi. Ayu menyampaikan sejumlah tuntutan yang harus didengarkan oleh negara.

"Yang pertama adalah kami menuntut negara untuk mengintegrasikan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif dalam sistem pendidikan nasional," kata Ayu.

Tuntutan itu menjadi penting, karena berhubungan dengan tingkat pemahaman dan kepedulian masyarakat terkait dengan kesehatan seksual dan reproduksi, serta berkaitan langsung dengan keadilan reproduksi.

"Kemudian kita juga menuntut negara untuk dapat memastikan adanya akses layanan yang berkualitas tanpa stigma diskriminasi dan terintegrasi dengan pemberian layanan kesehatan umum sampai ke tingkat kesehatan primer," ujar Ayu.

Terakhir, Ayu menuntut agar penegakan hukum dijalankan dengan mengutamakan pemulihan korban, dan berperspektif gender.

Nurma Dian dari Perhimpunan Jiwa Sehat menyampaikan isu dampak eksplorasi alam bagi perempuan. Berdasarkan kesaksian dan pengalaman yang dihimpunnya, suara perempuan kerap diabaikan dalam eksplorasi alam.

"Kita tidak meminta belas kasihan, kita menuntut pertanggung jawaban dan pemulihan yang adil," kata Nurma.

Baca Juga: Rapat Darurat Hambalang: Prabowo Ultimatum Listrik Sumatera Nyala 2 Hari, Jalur BBM Wajib Tembus

Ditegaskannya perempuan menjadi kelompok yang paling rentan ketika kerusakan lingkungan terjadi, karena eksploitasi alam.

"Kita menanggung beban ganda, merawat keluarga yang sakit, mencari air yang makin langka dan sekalipun menjadi penjaga ekosistem di garis depan perlawanan," kata Nurma.

Nurma menyampaikan sejumlah tuntutan yang harus didengarkan pemerintah, di antaranya akses jaringan listrik yang stabil dan berkelanjutan. Rumah panggung yang antisipatif terhadap banjir rob, serta inklusif bagi lansia dan disabilitas. Selain itu, mereka menuntut akses air bersih dan sanitasi yang layak.

"Kami juga menuntut jaminan kesehatan dan disabilitas yang inklusif. Cemaran H2O telah merusak paru-paru anak-anak kami. Rob merampas akses ke klinik. Kami menuntut klinik keliling pesisir dan klinik lokal di kawasan industri. Layanan kesehatan reproduksi yang ramah disabilitas dan ketersediaan alat bantu disabilitas," ujarnya.

Tak kalah penting mereka juga menuntut pemulihan ekologis yang terintegrasi dengan menghentikan aktivitas industri yang merusak lingkungan seperti hutan mangrove, sumber mata air, dan aliran sungai.

"Kami juga menuntut perlindungan hukum dan HAM. Stop intimidasi dan kekerasan terhadap perempuan pembela lingkungan," tegas Nurma.

Load More