- Pemerintah sejak awal disebut memusatkan perhatian publik pada program-program nasional yang bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonom.
- Dari perspektif kelembagaan, sejumlah risiko struktural perlu mendapat perhatian.
- Berdasarkan analisis tersebut, beberapa rekomendasi kebijakan dirumuskan secara pragmatis.
Suara.com - Tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran menandai fase transformatif yang dicirikan oleh perpaduan ambisi pembangunan berskala besar, penegasan peran eksekutif, dan friksi institusional yang nyata.
Pemerintahan ini sejak awal memusatkan perhatian publik pada program-program nasional yang bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan merespons kebutuhan sosial.
Sementara pada saat bersamaan, sejumlah masalah operasional, politik, dan hak-hak sipil menunjukkan bahwa pencapaian janji-janji besar tidak otomatis menjamin hasil yang berkelanjutan.
Tulisan sederhana ini mencoba mengurai tahun pertama tersebut melalui: gaya kepemimpinan dan konsolidasi politik; dimensi kebijakan publik dan kapasitas implementasi; serta output ekonomi, institusional, dan demokratik.
Pertama, gaya kepemimpinan dan pola konsolidasi politik pemerintahan ini menunjukkan kecenderungan sentralisasi keputusan.
Presiden menempatkan agenda-agenda besar di pusat perhatian publik—mulai dari program sosial berskala luas hingga proyek infrastruktur strategis—yang menuntut koordinasi lintas lembaga dan kapasitas administratif yang tinggi.
Pilihan kebijakan yang menonjolkan kapasitas eksekutif untuk bergerak cepat mencerminkan logika “pemerintahan kuat” yang mengutamakan efektivitas pelaksanaan.
Namun, ketika kapasitas administratif subnasional dan infrastruktur pendukung belum memadai, sentralisasi cenderung menghasilkan paradoks: janji pusat menjadi rentan terhadap kegagalan implementasi, sehingga pemerintah pusat terpancing mengintervensi pelaksanaan di tingkat daerah—sebuah dinamika yang pada gilirannya dapat mengikis otonomi daerah.
Dampak politiknya tidak semata teknis; penyerapan fungsi pelaksanaan oleh pusat dapat mempersempit ruang kontrol politik lokal dan memicu resistensi dari aktor-aktor yang selama ini bergantung pada desentralisasi.
Baca Juga: 1 Tahun Prabowo-Gibran, Kemensos Klaim 77 Ribu Warga Miskin Sudah Mandiri: Tak Lagi Terima Bansos
Kedua, program-program sosial berskala besar yang menjadi andalan komunikasi politik menghadirkan ketegangan klasik antara ambisi normatif dan kapasitas administratif.
Program makan bergizi gratis dan paket-paket bantuan sosial dirancang untuk menjangkau jutaan warga dan menawarkan hasil yang langsung terasa di tingkat keluarga.
Di satu sisi, program semacam ini efektif dalam meningkatkan legitimasi jangka pendek dan meredam ketidakpuasan publik.
Sedangkan di lain sisi, pelaksanaan massal tanpa penguatan rantai pasokan, standar kesehatan publik, dan mekanisme pengawasan yang andal berisiko menimbulkan kegagalan operasional.
Masalah teknis—seperti kekurangan fasilitas pendukung, koordinasi distribusi, atau manajemen mutu—bukan sekadar persoalan teknis belaka, melainkan isu yang menuntut perencanaan program yang berorientasi pada kapasitas lokal, pilot yang ketat, serta audit dan evaluasi independen.
Jika perluasan cakupan dilakukan sebelum memperbaiki kapasitas pelaksana, konsekuensinya dapat berupa krisis kepercayaan publik dan beban fiskal yang tidak efisien.
Ketiga, kebijakan ekonomi pemerintahan awal ini menghadapi trade-off yang kompleks antara dorongan pertumbuhan jangka pendek dan stabilitas makro jangka menengah.
Pemerintah menempatkan percepatan pertumbuhan sebagai prioritas dan menggunakan instrumen fiskal ekspansif untuk merangsang permintaan domestik.
Paket stimulus fiskal dan program distribusi langsung dapat menurunkan tekanan sosial sesaat dan meningkatkan konsumsi. Namun, langkah-langkah ini juga mempersempit ruang fiskal dan meningkatkan kerentanan terhadap tekanan inflasi.
Dalam konteks tersebut muncul risiko keretakan koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter: apabila kebijakan fiskal yang ekspansif bertabrakan dengan keharusan menjaga stabilitas harga, maka tekanan terhadap independensi otoritas moneter menjadi nyata.
Ketidakjelasan kerangka pembiayaan, dan komunikasi yang kurang rapi antara pembuat kebijakan fiskal serta moneter, dapat menurunkan kredibilitas pengelolaan ekonomi dan menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku pasar.
Keempat, dimensi demokrasi dan kebebasan sipil menjadi ujian penting kualitas pemerintahan. Tahun pertama pemerintahan ini, menyaksikan gelombang protes publik yang mengekspresikan ketidakpuasan terhadap sejumlah kebijakan dan menuntut akuntabilitas.
Respons aparat keamanan terhadap ekspresi publik tersebut—termasuk penggunaan taktik penegakan yang keras dan penahanan massal dalam beberapa kasus—mengangkat pertanyaan tentang keseimbangan antara pemeliharaan ketertiban dan perlindungan hak-hak sipil.
Ketika narasi pembangunan dan stabilitas menjadi prioritas utama, terdapat kecenderungan untuk menempatkan kontrol keamanan sebagai cara meredam kritik. Tapi, kebijakan seperti itu, apabila berulang, berpotensi mengikis ruang partisipasi publik dan mekanisme korektif yang diperlukan untuk pembelajaran kebijakan.
Erosi ruang-ruang demokrasi lokal mempersulit pengawasan publik terhadap kebijakan yang salah arah, dan mengurangi kapasitas masyarakat untuk memberi sinyal perbaikan sejak dini.
Kelima, posisi wakil presiden menimbulkan refleksi tersendiri tentang fungsi formal maupun politiknya dalam presidensi yang kuat.
Wapres hadir sebagai figur yang membawa simbol regenerasi dan kontinuitas politik, tapi peran strategisnya dalam menentukan kebijakan makro belum tampak dominan.
Banyak penugasan yang bersifat representasional dan implementatif—kunjungan daerah, pembukaan program, dan aktivitas-aktivitas yang memperlihatkan kedekatan dengan publik.
Fungsi seperti ini berguna untuk menjaga citra pemerintahan dan merangkul basis elektoral tertentu, namun tidak selalu menunjukkan pengaruh kebijakan di tingkat inti pengambilan keputusan.
Pertanyaan normatif yang muncul adalah apakah jabatan wakil presiden diarahkan untuk memperkuat kapasitas birokrasi dan reformasi institusional, atau cenderung menjadi instrumen manuver politik dan representasi semata.
Dari perspektif kelembagaan, sejumlah risiko struktural perlu mendapat perhatian.
Risiko pertama, penggunaan instrumen kebijakan yang terfokus pada output kuantitatif tanpa penguatan mekanisme pengawasan meningkatkan potensi inefisiensi dan kebocoran anggaran.
Risiko kedua, keterlibatan aparat keamanan dalam pelaksanaan tugas-tugas sipil—apabila tidak dibatasi dan diawasi secara ketat—memungkinkan terjadinya pergeseran fungsi yang mengaburkan batas antara otoritas sipil dan militer serta menurunkan akuntabilitas sipil.
Risiko ketiga, pengambilan keputusan yang berorientasi pada kepentingan jangka pendek bisa menunda reformasi struktural yang memerlukan konsistensi kebijakan jangka panjang, seperti peningkatan kapasitas administrasi daerah, reformasi birokrasi, dan penguatan mekanisme akuntabilitas publik.
Berdasarkan analisis tersebut, beberapa rekomendasi kebijakan dirumuskan secara pragmatis.
Pertama, pemerintah sebaiknya memperkuat kapasitas implementasi di tingkat daerah melalui pelatihan administratif, investasi infrastruktur pendukung, dan program pilot berskala terbatas sebelum melakukan perluasan nasional.
Kedua, perlu ada mekanisme transparansi dan audit independen terhadap program-program sosial untuk memastikan mutu pelaksanaan dan akuntabilitas pengelolaan anggaran.
Ketiga, hubungan koordinatif antara kebijakan fiskal dan moneter mesti dijaga melalui kerangka komunikasi yang jelas dan komitmen terhadap independensi otoritas moneter demi menjaga stabilitas makro.
Keempat, ruang kebebasan sipil harus dipertahankan dengan mengedepankan dialog, mediasi, dan penyelesaian konflik berbasis hukum ketimbang pendekatan keamanan yang berlebihan.
Kelima, peran wakil presiden perlu diarahkan pada penguatan kapasitas institusional dan reformasi internal pemerintahan agar bukan sekadar simbol representasional.
Sebagai penutup, tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran adalah periode intens di mana janji-janji transformasi bertemu realitas kapasitas dan batas-batas kelembagaan.
Keberhasilan kebijakan tidak hanya diukur dari besaran anggaran atau capaian kuantitatif jangka pendek, tetapi dari kemampuan pemerintah membangun institusi pelaksana yang tangguh, menjaga keseimbangan kelembagaan, dan merawat ruang demokrasi yang memungkinkan koreksi kebijakan melalui partisipasi publik.
Jika pemerintahan mampu menyeimbangkan ambisi dengan pragmatisme institusional, peluang untuk mencapai pertumbuhan yang inklusif dan stabilitas politik tetap terbuka; jika tidak, era awal ini berisiko menjadi titik tekanan yang berkepanjangan terhadap legitimasi politik dan kapasitas negara.
Kristian Widya Wicaksono
Pengamat Politik Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung
Tag
Berita Terkait
-
Setahun Prabowo-Gibran, Ganjar: Evaluasi Semua Program Yang Tak Jalan Termasuk Jajaran
-
Demo Mahasiswa Soroti Kinerja 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran di Jakarta
-
Setahun Prabowo-Gibran: Kejutan di Sidang Kabinet dan Kode Retret Jilid 2?
-
1 Tahun Prabowo-Gibran, Kemensos Klaim 77 Ribu Warga Miskin Sudah Mandiri: Tak Lagi Terima Bansos
Terpopuler
- Here We Go! Peter Bosz: Saya Mau Jadi Pelatih Timnas yang Pernah Dilatih Kluivert
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Seharga NMax yang Jarang Rewel
- Sosok Timothy Anugerah, Mahasiswa Unud yang Meninggal Dunia dan Kisahnya Jadi Korban Bullying
- 25 Kode Redeem FC Mobile 18 Oktober 2025: Klaim Pemain OVR 113, Gems, dan Koin Gratis!
- Bukan Main-Main! Ini 3 Alasan Nusakambangan, Penjara Ammar Zoni Dijuluki Alcatraz Versi Indonesia
Pilihan
-
Hasil Drawing SEA Games 2025: Timnas Indonesia U-23 Ketiban Sial!
-
Menkeu Purbaya Curigai Permainan Bunga Usai Tahu Duit Pemerintah Ratusan Triliun Ada di Bank
-
Pemerintah Buka Program Magang Nasional, Siapkan 100 Ribu Lowongan di Perusahaan Swasta Hingga BUMN
-
6 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori Besar untuk Orang Tua, Simpel dan Aman
-
Alhamdulillah! Peserta Magang Nasional Digaji UMP Plus Jaminan Sosial dari Prabowo