Suara.com - Besaran upah maksimal yang diterima buruh tetap di perkebunan kelapa sawit setiap bulannya sekitar Rp1,2 juta – Rp1,4 juta rupiah, atau sekitar Rp 65 ribu setiap hari. Sementara pengeluaran buruh sedikitnya 1,2 juta - 1,5 juta rupiah per bulan hanya untuk biaya makan saja, belum dihitung biaya anak sekolah, biaya transport buruh ke tempat kerja, sandang, kesehatan dan kebutuhan lainnya.
Hasil riset Sawit Watch tahun 2013 menunjukkan data bahwa buruh di salah satu perkebunan swasta asing di Kalimantan Tengah memiliki utang 1 hingga 2 bulan gaji.
“Untuk menyiasati kekurangan ini, buruh terpaksa memperpanjang jam kerjanya agar memperoleh uang tambahan berupa premi. Sementara harga premi biasanya kecil, dan biasanya ditentukan sepihak oleh perusahaan. Agar premi yang di peroleh lebih banyak, buruh melibatkan istri dan anaknya bekerja. Cara lain buruh menyiasati upah yang kurang ini adalah dengan mengurangi kualitas menu dan gizi makanan sehari-hari. Keuntungan berlimpah yang diraih perusahaan perkebunan sawit seakan menguap dan malah meninggalkan jejak kemiskinan pada hidup buruh perkebunan. Kelapa sawit yang dinilai telah menyerap banyak tenaga kerja ternyata belum mampu mensejahterakan buruh, petani dan masyarakat adat,” kata Direktur Sawit Watch Jefrie Gideon Saragih, dalam siaran pers yang diterima suara.com, Kamis (1/5/2014).
Selain itu, pembangunan industri kelapa sawit telah mengubah dinamika perekonomian lokal, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga upahan. Keterbatasan pilihan pekerjaan dan tidak adanya perlindungan negara mengakibatkan buruh perkebunan terpaksa bekerja dengan bayaran minimal, standar kesehatan dan keselamatan kerja yang buruk dan hubungan kerja yang berbasis eksploitatif. Selain menghisap buruh, pembangunan industri kelapa sawit juga berdampak pada lingkungan dan mengancam kedaulatan pangan.
Besarnya kekuasaan perusahaan perkebunan akibat dari lemahnya pengawasan Negara menempatkan buruh pada posisi tak berdaya. Upah murah, buruh kontrak (outsourcing), minim fasilitas, rentan atas kecelakaan kerja adalah wajah dari industri perkebunan di Indonesia.
“Berdasarkan beberapa riset yang dilakukan oleh Sawit Watch, terlihat bahwa situasi yang dihadapi buruh-buruh di perkebunan adalah bentuk lain dari perbudakan modern. Eksploitasi terjadi secara sistematis dan sudah terjadi sejak dari rekrutmen, sistem kerja, hubungan kerja, struktur perusahaan, hingga minimnya penyediaan fasilitan kerja, fasilitas hidup dan kebutuhan pokok lainnya,” ujarnya.
Buruh bekerja tanpa kontrak, tidak ada dokumen apa pun dalam hubungan kerja antara buruh dan pengusaha perkebunan. Jikapun ada, kontrak itu dipegang oleh 'agen' mereka, sehingga mereka tidak pernah melihat kontrak dan tidak tau isinya. Oleh karena itu tidak ada jaminan keberlangsungan kerja bagi buruh. Tidak ada dokumen yang menandakan mereka adalah buruh di perkebunan.
Saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara terbesar pengekspor minyak kelapa sawit di dunia, dan sekaligus menjadi negara terluas perkebunan kelapa sawitnya. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sekitar 13,194,813 Hektar dan memasok 43 % CPO kebutuhan dunia. Sekitar 4,9 juta warga Indonesia bekerja di perkebunan kelapa sawit, ini merupakan pekerja lapangan di industri sawit, angka tersebut belum termasuk jumlah pekerja di level manajemen.
Indonesia pun menjadikan perkebunan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia, karena dianggap mampu berkontribusi besar kepada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan kesejahteraan. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, produksi kelapa sawit meraup keuntungan Rp205 Triliun pada 2012, meningkat Rp160 triliun dari 2011.
Perusahaan perkebunan sawit meraup untung besar dari booming minyak sawit. Keuntungan yang diraih dari bisnis minyak sawit ini telah menempatkan beberapa pengusaha sawit masuk dalam daftar orang-orang terkaya di Indonesia. Namun pada sisi lain, keuntungan yang diraup perusahaan perkebunan tersebut belum dinikmati buruh di perkebunan. Buruh perkebunan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia bertahan hidup dengan upah jauh di bawah standard kehidupan layak.
Berita Terkait
-
21 Tahun Mangkrak, Koalisi Sipil Desak DPR Sahkan RUU PPRT: Sudah Terlalu Sering Dikhianati Janji
-
Panggilan Telepon Jadi Petunjuk : Siapa Pelaku Penculikan dan Penyekapan Aktivis May Day?
-
Aktivis May Day Diculik, Disundut Rokok: KontraS Desak Komnas HAM dan LPSK Tak Diam Saja
-
Rentetan Teror Mencekam: Dari Peretasan, Intimidasi, hingga Penculikan Aktivis May Day
-
May Day Berbuntut Panjang: Komnas HAM Usut Dugaan Kriminalisasi Demonstran oleh Polda Metro Jaya
Terpopuler
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 4 HP Flagship Turun Harga di Penghujung Tahun 2025, Ada iPhone 16 Pro!
- 5 Moisturizer Murah yang Mencerahkan Wajah untuk Ibu Rumah Tangga
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
Babak Baru Industri Kripto, DPR Ungkap Revisi UU P2SK Tegaskan Kewenangan OJK
-
Punya Kekayaan Rp76 M, Ini Pekerjaan Ade Kuswara Sebelum Jabat Bupati Bekasi
-
DPR Sebut Revisi UU P2SK Bisa Lindungi Nasabah Kripto
-
Hotel Amankila Bali Mendadak Viral Usai Diduga Muncul di Epstein Files
-
Ekspansi Agresif PIK2, Ada 'Aksi Strategis' saat PANI Caplok Saham CBDK
-
Tak Ada Jeda Waktu, Pembatasan Truk di Tol Berlaku Non-stop Hingga 4 Januari
-
Akses Terputus, Ribuan Liter BBM Tiba di Takengon Aceh Lewat Udara dan Darat
-
Kepemilikan NPWP Jadi Syarat Mutlak Koperasi Jika Ingin Naik Kelas
-
Kemenkeu Salurkan Rp 268 Miliar ke Korban Bencana Sumatra
-
APVI Ingatkan Risiko Ekonomi dan Produk Ilegal dari Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok