Suara.com - Direktur Pelaksana Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan pengembangan ekonomi hijau berbasis lingkungan menjadi keniscayaan untuk mendorong pertumbuhan yang lebih berkelanjutan dan inklusif untuk mengatasi kesenjangan.
"Mengupayakan infrastruktur hijau pada hari ini dapat memberikan manfaat dalam beberapa dekade ke depan, bahkan negara-negara berkembang bisa lebih dahulu mencapai pertumbuhan 'hijau'," ujarnya dalam acara pembukaan konferensi "Indonesia Green Infrastructure Summit" di Jakarta, Selasa (9/6/2015).
Sri menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang dicapai dengan mengorbankan lingkungan akan berdampak buruk dan tidak semua pihak, terutama masyarakat miskin, mendapatkan manfaat dari pencapaian ekonomi tersebut.
"Bila kita terus bertahan dengan cara lama, manfaat pertumbuhan ekonomi akan berkurang karena sumber daya alam akan habis dengan cepat dan kita akan lebih rentan menghadapi perubahan iklim atau risiko kesehatan," kata mantan menteri keuangan di era SBY itu.
Sri mengatakan sebagai upaya mewujudkan agar pertumbuhan ekonomi lebih ramah lingkungan dan inklusif maka harus ada pemanfaatan produksi energi yang bersih dan penggunaannya efisien dalam mengurangi kemiskinan.
"Untuk mengatasinya, pembangkit energi terbarukan dan peningkatan efisiensi energi harus segera dimaksimalkan. Indonesia telah memiliki 40 persen potensi energi panas bumi, yang bila dikelola dengan baik akan membantu target melipatgandakan energi terbarukan untuk pembangkit," jelasnya.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi 'hijau' dapat diwujudkan melalui pengelolaan sumber daya secara bertanggung jawab yang selama ini masih dikelola dengan biaya tinggi, menimbulkan polusi dan menyebabkan kerugian ekonomi.
"Kerusakan hutan tropis, konversi lahan gambut dan pertambangan semakin memburuk dan destruktif, namun ada peluang untuk mengembangkan peluang pengelolaan sumber daya yang cerdas dan berkelanjutan, misalnya di sektor perikanan," kata Sri.
Menurut dia, apabila Indonesia mampu memperbaiki tata kelola sektor perikanan dan berinvestasi pada bidang transportasi maritim dan infrastruktur perdagangan dalam skala besar, maka produksi ikan dapat dilipatgandakan pada 2019.
"Pengelolaan ekonomi 'biru' yang baik dapat mendukung ketahanan pangan dan keberlanjutan pariwisata. Namun, masih terjadi kerusakan akibat penangkapan ikan berlebihan dan pembuangan limbah yang memperburuk kemiskinan dan ketahanan pangan secara global," ujarnya.
Sri menambahkan, untuk mendukung pertumbuhan 'hijau' adalah tata kelola pemerintahan yang baik dan kepempimpinan yang tidak takut untuk melakukan pembaruan agar kemiskinan berakhir secara berkelanjutan.
Ia mengatakan masih ada kecenderungan lazim di negara yang memiliki sumber daya seperti Indonesia yaitu peraturan yang saling bertentangan, tumpang tindih mandat, inefisiensi penggunaan lahan, intervensi kelompok elit dan sikap yang sulit berubah.
"Seperti banyak negara, Indonesia dapat mengubah sistem pengambilan keputusannya menjadi lebih transparan dan inklusif, terutama tentang alokasi dan penggunaan sumber daya serta meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif pembangunan yang mencemarkan," ujar Sri.
Sri mengatakan tidak ada model pertumbuhan 'hijau' yang cocok untuk semua negara, sehingga opsi kebijakan dan investasi harus disesuaikan dengan kebutuhan khusus setiap negara dan diatur melalui strategi yang komprehensif.
Selain itu, masih banyak negara yang khawatir bahwa pembangunan ramah lingkungan akan lebih mahal, apalagi tidak banyak negara berkembang yang memiliki pasar modal dan sistem perbankan yang sesuai standar.
"Hanya beberapa proyek infrastruktur yang beroperasi dengan biaya penuh, jadi kita harus menemukan cara untuk meringankan pengelolaan biaya, sekaligus menjaga agar layanan yang diberikan terjangkau oleh keluarga dan masyarakat berpenghasilan rendah," jelas Sri.
Namun, investasi dalam bidang teknologi bersih untuk mewujudkan pertumbuhan ramah lingkungan harus terus diupayakan, apalagi pekerjaan dalam bidang ini cenderung menciptakan lingkungan kerja yang baik, lebih aman dan berpenghasilan lebih memadai.
"Dari 2011 hingga 2012, investasi yang dilakukan negara berkembang dalam teknologi bersih meningkat 19 persen, bahkan 90 persen bisnis ini mengalami peningkatan pendapatan bahkan ketika ekonomi global sedang mengalami kelesuan," kata Sri. (Antara)
Terpopuler
- Erick Thohir Umumkan Calon Pelatih Baru Timnas Indonesia
- 4 Daftar Mobil Kecil Toyota Bekas Dikenal Ekonomis dan Bandel buat Harian
- 5 Lipstik Transferproof untuk Kondangan, Tidak Luntur Dipakai Makan dan Minum
- 5 Rekomendasi Sepatu Running Selevel Adidas Adizero Versi Lokal, Lentur dan Kuat Tahan Beban
- 5 Rekomendasi Bedak Tabur untuk Usia 50-an, Bikin Kulit Halus dan Segar
Pilihan
-
Pengungsi Gunung Semeru "Dihantui" Gangguan Kesehatan, Stok Obat Menipis!
-
Menkeu Purbaya Lagi Gacor, Tapi APBN Tekor
-
realme C85 Series Pecahkan Rekor Dunia Berkat Teknologi IP69 Pro: 280 Orang Tenggelamkan Ponsel
-
5 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaik November 2025, Cocok Buat PUBG Mobile
-
Ratusan Hewan Ternak Warga Mati Disapu Awan Panas Gunung Semeru, Dampak Erupsi Makin Meluas
Terkini
-
Bos Djarum Victor Hartono Terseret Kasus Dugaan Korupsi Tax Amnesty, Purbaya: Bukan Zaman Sekarang!
-
Intip Gaji dan Tunjangan Ken Dwijugiasteadi, Eks Dirjen Pajak
-
Kejagung Ungkap Status Victor Hartono, Anak Orang Terkaya Indonesia yang Dicekal dalam Kasus Korupsi
-
Mulai Malam Ini Pemerintah Resmi Kasih Diskon Tiket Kereta hingga Pesawat Besar-besaran
-
Pertamina Mulai Bersiap Produksi Massal Avtur dari Minyak Jelantah
-
Soal Kenaikan Gaji ASN di 2026, Kemenkeu: Belum Ada Keputusan Apapun!
-
Banyak Negara Dibikin Pusing Soal Ekspansi Layanan QRIS
-
25 Juta UMKM Onboarding ke E-Commerce, Siap Ngegas Pertumbuhan Ekonomi
-
Menko Airlangga Buka Peluang Swasta Bisa Ikut Impor BBM dan LPG dari AS
-
Sosok Ken Dwijugiasteadi: Eks Dirjen Pajak Terjerat Dugaan Kasus Tax Amnesty