Abdillah Ahsan, Peneliti dari Lembaga Demografi Fakulta Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, memaparkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Regulasi ini diterbitkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 24 Oktober 2017. Beleid terbaru pengenaan cukai terhadap produk industri hasil tembakau ini telah berlaku mulai 1 Januari 2018 yang lalu.
PMK terbaru tersebut merupakan turunan dari UU No 39 Tahun 2007 Tentang Cukai. Dalam UU Cukai yang berlaku sudah mengamanatkan dengan jelas bahwa penerapan cukai pada sebuah objek, termasuk produk olahan hasil tembakau memang bertujuan untuk membatasi atau mengendalikan konsumsinya. “Oleh sebab itu desain kebijakan cukai harus didasarkan pada filosofi pengurangan konsumsi rokok,” kata Abdilllah saat diwawancarai Suara.com di Depok, Jawa Barat, Kamis (18/1/2018).
Pasar industri rokok di Indonesia sendiri selama ini terdiri dari tiga golongan, yakni Sigaret Putih Mesin (SPM), Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Saat ini pangsa pasar industry rokok nasional sangat didominasi jenis SKM yang mencapai 73 persen.
Tabel pemetaan pangsa pasar industri rokok nasional yang terbagi dalam tiga golongan, SKT, SKM, dan SPT. Tabel ini mengacu data dari Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Sumber : Presentasi Analisis Kritis Kebijakan Cukai Rokok oleh Abdillah Ahsan, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesi
Di dalam rokok kretek mesin (SKM), pangsa pasar terbesar dikuasai oleh perusahaan rokok golongan 1 (63%) yang berproduksi diatas 3 miliar batang per tahun. Demikian pula di rokok kretek tangan (SKT) dan rokok putih mesin (SPM) pangsa pasar terbesar dikuasai oleh perusahaan rokok besar golongan 1. Hal ini memperlihatkan bahwa perokok di Indonesia sebagian besar mampu membeli rokok dengan harga mahal (SKM, SKT dan SPM golongan 1 yang harganya paling mahal. Ada anomali dimana rokok dengan harga murah (SKT golongan 3b) yang seharusnya menjadi yang terlaris justru tidak terjadi.
“Implikasinya, agar efektif menurunkan konsumsi rokok dan menaikkan penerimaan negara maka pemerintah seharusnya meningkatkan cukai tertinggi pada SKM Golongan 1 yang menguasai 63% pangsa pasar rokok,” jelas Abdillah.
Masalah mulai muncul ketikapeningkatan tarif cukai berdasarkan hitungan pemerintah adalah 10.04%. Hitungan rata-rata sederhana Lembaga Demografi FE UI adalah 10%. Dalam aturan baru tersebut, ditemukan fakta bahwa peningkatan tarif cukai tertinggi terjadi pada rokok putih mesin golongan 2 sebesar 22,4%. Peningkatan tarif cukai terendah terjadi pada rokok kretek tangan golongan 3 sebesar 0%. Selain meningkatkan tarif cukai rokok, pemerintah juga meningkatkan harga jual eceran (HJE). Peningkatan tertinggi HJE terjadi pada rokok putih mesin golongan 1 sebesar 9,7%. Sementara untuk rokok kretek mesin golongan 1 HJE nya meningkat sebesar 0% alias tidak meningkat.
Tabel Penaikan tarif cukai rokok beserta harga jual eceran yang diatur dalam PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. (Sumber : Presentasi Analisis Kritis Kebijakan Cukai Rokok oleh Abdillah Ahsan, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
Ia menyebut pangsa pasar pabrikan rokok SKM golongan 1 yang sangat dominan di Indonesia sebetulnya hanya dikuasai 14 pabrikan besar. Diantaranya nama-nama yang sudah sangat dikenal bagi masyarakat Indonesia seperti Phillip Morris Sampoerna, BAT, Gudang Garam, Djarum, Nojorono dan lain sebagainya.
“Memang semua rokok berbahaya buat kesehatan. Tetapi akan lebih efektif untuk pengurangan konsumsi rokok jika peningkatan cukai rokok tertinggi diberlakukan bagi SKM golongan 1. Apalagi UU kita tidak ada menyebut rokok kretek harus dilindungi dibanding rokok putih. Semua rokok sama saja, berdampak buruk bagi kesehatan,” sesalnya.
Menurutnya, kerangka regulasi cukai rokok terbaru ini justru menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap industri rokok besar dalam negeri. Pemerintah memang ingin menggencet industry rokok putih mesin. Namun disisi lain, pemerintah memberi keleluasaan terhadap industri rokok kretek tangan. Bahkan pemerintah memberikan kebebasan bagi raksasa industri rokok kretek mesin untuk tidak menaikkan harga jual eceran. “Dari sudut pengendalian konsumsi tembakau, ini sangat merugikan. Terlihat pemerintah tidak ksatria berhadapan dengan industri rokok kretek mesin,” jelasnya.
Sikap diskriminatif pemerintah terhadap rokok putih dibanding pada rokok kretek juga menuai kritik dari Julius Ibrani, advokat dari Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Julius yang juga pegiat pengendalian tembakau serta anggota Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA) menegaskan bahwa cukai itu pada prinsipnya seperti “sin tax” alias pajak dosa. Cukai diterapkan kepada barang yang dampaknya merusak bagi kesehatan fisik dan mental manusia.
“Nah perspektif itu tidak ada dalam PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Ini terlihat dari penerapan cukai terhadap SKM maupun SKT. Banyak sekali riset menunjukkan angka konsumsi terhadap kedua jenis rokok tersebut yang sedang ngetren. Kita patut bertanya apa yang menjadi pertimbangan pemerintah,” ujarnya.
Ia menyebut proses kelahiran PMK Nomor 146/PMK.010/2017 Tentang Tarif Cukai Hasil sejak Agustus hingga Oktober 2017 tidak transparan. Keganjilan ini dimulai ketika terbitnya PMK ini tidak disertai pemaparan hasil riset, data, dan kajian yang jadi basis pengambilan keputusan pemerintah. “Keganjilan pertama, kenapa pengenaan cukai justru rata-rata menjadi 10% dari semula yang awalnya 12%. Apalagi kenaikan cukai yang paling rendah justru pada jenis rokok yang paling dikonsumsi,” tuturnya.
Berita Terkait
-
Ahli Kesehatan Tantang Menkeu Purbaya Buka Dialog Soal Kebijakan Cukai Rokok
-
Organisasi Kesehatan Kritik Rencana Menkeu Tidak Naikkan Cukai Rokok 2026: Pembunuhan Rakyat!
-
Cukai Rokok 2026 Tidak Naik, Menkeu Purbaya: Saya Nggak Mau Industri Kita Mati
-
Pansus DPRD DKI Selesaikan Pembahasan Raperda Kawasan Tanpa Rokok, Tambah 1 Pasal
-
Cukai Rokok 2026 Tidak Naik, Industri Dapat Angin Segar dari Pemerintah
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
Bernardo Tavares Cabut! Krisis Finansial PSM Makassar Tak Kunjung Selesai
-
Ada Adrian Wibowo! Ini Daftar Pemain Timnas Indonesia U-23 Menuju TC SEA Games 2025
-
6 Fakta Demo Madagaskar: Bawa Bendera One Piece, Terinspirasi dari Indonesia?
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaru, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
Terkini
-
BRI Buka Akses Global untuk UMKM di Halal Indo 2025
-
Purbaya Mau Temui CEO Danantara usai 'Semprot' Pertamina Malas Bangun Kilang Minyak
-
Pemerintah Tambah Stimulus Ekonomi Kuartal IV 2025, Sasar 30 juta Keluarga Penerima Manfaat
-
Purbaya Ngotot Sidak Acak Rokok Ilegal di Jalur Hijau: Kalau Ketahuan, Awas!
-
Program Magang Nasional Dibuka 15 Oktober, Pemerintah Jamin Gaji UMP
-
Bos Danantara Akui Patriot Bond Terserap Habis, Dibeli Para Taipan?
-
Pemerintah Andalkan Dialog Rumuskan Kebijakan Ekonomi Kerakyatan
-
VIVO dan BP-AKR Batalkan Pembelian BBM dari Pertamina, Kandungan Etanol Jadi Biang Kerok
-
Permudah Klaim, BUMN Pengelola Dana Pensiun Ini Genjot Layanan Digital
-
Viral Menkeu Purbaya Makan Siang di Kantin DJP: Hidupkan Sektor UMKM!