Suara.com - Rupiah masih belum digdaya di hadapan Dolar Amerika Serikat. Walau beberapa hari terakhir nilai tukar Rupiah mulai bergeliat naik, posisi nominalnya masih tinggi terhadap Dolar AS.
Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, perdagangan Rupiah pada 10 September 2018 berada pada level Rp 14.835 per 1 dolar AS.
Level itu meningkat dibandingkan pada perdagangan 7 September 2018, saat setiap 1 Dolar AS seharga Rp 14.884.
Lantas, apa saja dampak dari pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut? Menjawab hal itu, pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, terdapat empat dampak yang dirasakan.
Pertama, jelas dia, pelemahan Rupiah ini akan berpengaruh pada harga bahan pangan yang merangkak naik, terutama barang impor.
Sebab, nilai tukar Rupiah yang lemah menyebabkan biaya impor barang-barang pangan tersebut meningkat, sehingga memengaruhi harga jual di tingkat eceran.
"Meskipun Agustus mengalami deflasi, dilihat per komponen, inflasi volatile food (inflasi komponen bergejolak) sejak Januari - Agustus 2018 secara akumulatif mencapai 3,3 persen lebih tinggi dibanding Januari - Desember tahun 2017 yang hanya 0,71 persen. Ini berarti inflasi pangan harus jadi perhatian serius," kata dia saat dihubungi Suara.com, Selasa (11/9/2018).
Kedua, Bhima menuturkan, pelemahan Rupiah juga berdampak pada harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi.
Dia menjelaskan, kenaikan harga minyak mentah dunia di kisaran USD 75 per barel membuat terjadi penyesuaian harga BBM nonsubsidi.
Baca Juga: WN Korsel dan PRTnya Jadi Korban Ledakan Apartemen Essence
"Ketiga, bunga kredit akan semakin mahal seiring Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan untuk meredam gejolak Rupiah. Bunga kredit yang naik akan memberatkan masyarakat," tutur Bhima.
Terakhir, Bhima mengatakan, sisi manufaktur juga akan terdampak. Menurut dia, pelemahan Rupiah ini membuat biaya produksi dan beban utang luar negeri semakin meningkat.
Apalagi, tambah dia, banyak industri yang bergantung pada bahan baku impor. Misalnya, kelompok industri farmasi yang 90 persen bahan bakunya hasil impor.
"Kalau menaikkan harga jual barang, khawatir persentase pembelinya turun. Akhirnya perusahaan memangkas biaya produksi. Ini bisa mepicu PHK," tandasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Motor Matic Paling Nyaman Buat Touring di 2026: Badan Anti Pegal, Pas Buat Bapak-bapak
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- 3 Pilihan Mobil Bekas Rp60 Jutaan: Irit BBM, Nyaman untuk Perjalanan Luar Kota
Pilihan
-
UPDATE Klasemen SEA Games 2025: Indonesia Selangkah Lagi Kunci Runner-up
-
6 Mobil Bekas Paling Cocok untuk Wanita: Lincah, Irit, dan Punya Bagasi Cukup
-
OJK Awasi Ketat Pembayaran Pinjol Dana Syariah Indonesia yang Gagal Bayar
-
Jejak Emas Rakyat Aceh Bagi RI: Patungan Beli Pesawat, Penghasil Devisa & Lahirnya Garuda Indonesia
-
Pabrik Toba Pulp Lestari Tutup Operasional dan Reaksi Keras Luhut Binsar Pandjaitan
Terkini
-
Harga Emas Pegadaian Melambung Dua Hari Beruntun, Galeri24 dan UBS Kompak
-
Skema Kecebong Pindar Masih Hidup, Ini Syarat Ketat dari OJK
-
Mengatasi MFA ASN Digital Bermasalah, Sulit Login dan Lupa Password
-
RUPSLB Bank Mandiri Mau Ganti Susunan Pengurus, Ini Bocorannya
-
Harga Emas Melejit di 2026, Masih Relevan untuk Investasi?
-
Asuransi Sinar Mas Bayarkan Klaim Kendaraan Rp1,07 Miliar Korban Banjir Sumut
-
SMGR Raih Skor 94,79 dari Keterbukaan Informasi
-
Menaker Mau Tekan Kesenjangan Upah Lewat Rentang Alpha, Solusi atau Masalah Baru?
-
Pati Singkong Bisa Jadi Solusi Penumpukan Sampah di TPA
-
BRI Terus Salurkan Bantuan Bencana di Sumatra, Jangkau Lebih dari 70.000 Masyarakat Terdampak