Suara.com - Tingginya prevalensi merokok di Indonesia disebabkan oleh strategi yang dijalankan pemerintah sampai saat ini belum tepat sasaran. Pemerintah disarankan untuk mengedepankan strategi baru dengan memaksimalkan produk tembakau alternatif.
Guru Besar Universitas Sahid Jakarta, Profesor Kholil, menjelaskan, berdasarkan hasil kajian terhadap 930 responden yang melibatkan sejumlah akademisi, dokter, tenaga kesehatan, perokok, dan pengguna produk tembakau alternatif, sebanyak 46% ingin berhenti merokok.
Alasan utamanya adalah masalah kesehatan, yakni dengan persentase 54%.
“Konsumsi rokok akan terus meningkat. Jumlah perokok kita sekitar 66 juta jiwa, ketiga terbesar di dunia setelah Tiongkok dan India,” kata Kholil ditulis Jumat (7/5/2021).
Dengan tingginya angka perokok, Kholil meneruskan, potensi terpapar penyakit akibat rokok semakin besar. Hal tersebut akan membebani pemerintah karena anggaran biaya kesehatan akan membengkak.
“Kalau 10% dari 66 juta perokok itu mengidap kanker, penyakit paru-paru dan membutuhkan biaya Rp 10 juta sampai sembuh, berarti ada Rp 66 triliun yang digunakan. Ini pastinya akan menggerus dana BPJS,” ungkap Kholil.
Untuk itu diperlukan adanya upaya pengurangan konsumsi maupun risiko dari rokok. Salah satunya melalui produk tembakau alternatif seperti produk tembakau dipanaskan, rokok elektrik, dan snus.
Namun, Kholil mengungkapkan sebanyak 52,4% dari 930 responden belum mengetahui adanya produk tersebut yang terbukti memiliki risiko yang lebih rendah daripada rokok.
“Hasil temuan kami menunjukkan bahwa ada produk tembakau alternatif yang bisa mengurangi bahaya rokok. Yang paling bagus adalah berhenti merokok, namun itu tidak mudah,” tegasnya.
Baca Juga: Gegara Puntung Rokok, Kakek di Pati Tewas Terbakar
Agar prevalensi perokok menurun, Kholil berpendapat pemerintah harus mendukung masyarakat yang ingin pindah ke produk tembakau alternatif.
“Dalam penelitian kami juga ditemukan jika seseorang mau berhenti merokok total atau secara perlahan-lahan, salah satu alternatif yang dapat membantu mereka adalah dengan menggunakan produk tembakau lain, agar mengurangi risikonya daripada merokok,” ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Tim peneliti dari USAHID, Hifni Alifahmi, menambahkan juga diperlukan adanya penyebaran informasi sekaligus edukasi mengenai dampak negatif dari konsumsi rokok.
Alasannya, strategi yang mengedepankan kata-kata maupun gambar peringatan kesehatan ternyata belum cukup efektif dalam menurunkan angka perokok.
Berita Terkait
Terpopuler
- 2 Cara Menyembunyikan Foto Profil WhatsApp dari Orang Lain
- Selamat Datang Mees Hilgers Akhirnya Kembali Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
- Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
- Selamat Tinggal Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Itu Jadi Kenyataan Kalau Ini Terjadi
- Sampaikan Laporan Kinerja, Puan Maharani ke Masyarakat: Mohon Maaf atas Kinerja DPR Belum Sempurna
Pilihan
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
5 Rekomendasi HP 2 Jutaan Memori 256 GB, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Geger Shutdown AS, Menko Airlangga: Perundingan Dagang RI Berhenti Dulu!
-
Seruan 'Cancel' Elon Musk Bikin Netflix Kehilangan Rp250 Triliun dalam Sehari!
-
Proyek Ponpes Al Khoziny dari Tahun 2015-2024 Terekam, Tiang Penyangga Terlalu Kecil?
Terkini
-
Luhut Turun Tangan, Minta Purbaya Tak Ambil Anggaran MBG
-
Anggaran Makan Bergizi Gratis Tembus Rp20 Triliun, Penyerapan Melonjak Tiga Kali Lipat!
-
Disindir soal Subsidi LGP 3Kg, Menkeu Purbaya: Mungkin Pak Bahlil Betul
-
165 Kursi Komisaris BUMN Dikuasai Politisi, Anak Buah Prabowo Merajai
-
Dharma Jaya Klaim Bukukan Pertumbuhan Bisnis 190 Persen
-
Sebelum Dilegalkan, 34.000 Sumur Minyak Rakyat Sedang Diverifikasi
-
Santai! Menko Airlangga Yakin Rupiah Kebal Guncangan Shutdown Amerika!
-
Kementerian ESDM: Stok BBM SPBU Swasta Akan Kosong sampai Akhir 2025 Jika Tak Beli dari Pertamina
-
Rupiah Kembali Menguat pada Jumat Sore
-
Rupiah Makin Ganas, Dolar AS Keok Imbas Penutupan Pemerintahan Trump?