Achsanul juga berpendapat bahwa racun utama yang mengancam kebebasan ekspresi adalah disinformasi, terutama di masa pandemi. Menurutnya, negara harus dapat menjamin bahwa perusahaan-perusahaan media dapat menjalankan bisnisnya dengan tetap berkesesuaian dengan prinsip-prinsip HAM, khususnya freedom of expression, bukan menjadi medium yang menyebarkan disinformasi.
Mengenai perlindungan yang bisa diberikan di ruang siber mengenai kebebasan berekspresi, Dani Kustoni menyampaikan bahwa Polri melalui program Cyber Campaign melalui transformasi operasional, dan transformasi pelayanan publik, dengan mengoptimalkan kampanye siber, menghadirkan polisi dunia maya (virtual police), mengedepankan langkah-langkah restorative justice, dan juga mengedukasi dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat.
Cyber Campaign Dittipidsiber hadir melalui kanal SiberTV, portal Patrolisiber.id, optimalisasi media sosial di seluruh jajaran siber Polri, dan juga Peringatan Virtual Polisi.
“Peringatan Virtual Polisi ini kita tidak terbatas pada subjektivitas Polri itu sendiri, tapi kami juga melakukan langkah-langkah yang tentunya sangat hati-hati ketika akan menyampaikan atau memberikan edukasi melalui peringatan,” jelasnya.
Septiaji Eko Nugroho berpendapat bahwa banyak positif yang bisa diambil dari internet, namun ia juga mengatakan kalau ketika budaya dan etika belum sepenuhnya diadopsi ke dunia digital, akan ada problem di sana. Salah satu contohnya adalah hasil survei yang menyatakan bahwa tingkat kesopanan netizen Indonesia yang terburuk se-Asia Tenggara.
Ia juga menambahkan bahwa pengguna internet di Indonesia masih dihantui oleh maraknya berita hoaks yang tersebar di media sosial.
“Di tahun 2018 ada sekitar dua sampai tiga hoaks setiap harinya, lalu di tahun 2019, tahun politik, tahun pemilu, itu ada 1200 hoaks yang beredar di masyarakat kita yang dominasinya adalah isu politik. Nah, di tahun 2020, tahun pandemi, itu hoaksnya meningkat jadi rata-rata enam hoaks setiap harinya, dan didominasi oleh isu kesehatan,” paparnya.
Menurutnya, yang perlu dikhawatirkan bukan hanya masalah angka, tetapi ketika konten-konten negatif itu sudah bisa berdampak langsung kepada masyarakat kita dan bisa merusak mental bangsa.
Forum Literasi Hukum dan HAM Digital (Firtual) dihadiri oleh lebih dari 350 peserta yang bergabung melalui Zoom Meeting.
Baca Juga: KPI Berharap Masyarakat Mudah Peroleh Set Top Box TV Digital
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Irjen Kementan Kawal Distribusi Bantuan Langsung dari Aceh: Kementan Perkuat Pengawasan
-
Kemenperin Mau Stop Impor, Dana Belanja Pemerintah Hanya untuk TKDN Tinggi
-
Rendahnya Utilitas vs Banjir Impor: Menperin Ungkap Tantangan Industri Keramik Nasional
-
Kerugian Akibat Bencana di Aceh Timur Capai Rp5,39 Triliun, Berpotensi Bertambah
-
Apa Itu De-Fi atau Decentralized Finance? Ini Penjelasan Lengkapnya
-
IPO SpaceX Ditargetkan 2026, Valuasinya 28 Kali Lebih Besar dari BBCA
-
Di Balik Aksi Borong Saham Direktur TPIA, Berapa Duit yang Dihabiskan?
-
Berkat Pemberdayaan BRI, Batik Malessa Ubah Kain Perca hingga Fashion Premium
-
BSU Guru Kemenag Cair! Ini Cara Cek Status dan Pencairan Lewat Rekening
-
Update Harga Sembako: Cabai dan Bawang Merah Putih Turun, Daging Sapi Naik