Suara.com - Selandia Baru secara resmi memasuki resesi pada kuartal ketiga tahun ini. Adapun produk domestik bruto (PDB) menyusut sebesar 1,0 persen pada Juli dan September.
Sebuah laporan oleh ekonomi Kiwibank menyoroti bahwa, penurunan PDB itu selama enam bulan terakhir adalah kinerja ekonomi terburuk negara itu sejak 1991.
Laporan tersebut mencatat bahwa penurunan tersebut telah memengaruhi berbagai industri, yang mencerminkan tantangan ekonomi lebih luas.
Selain itu, dolar Selandia Baru mengalami penurunan tajam sebesar 1,8 persen yang diperdagangkan pada 0,5626 dollar AS. Skala kontraksi yang tidak terduga mengejutkan para pedagang, yang selanjutnya meredam sentimen pasar.
Dilansir Economic Times, para pelaku pasar berspekulasi Bank Sentral Selandia Baru (Reserve Bank of New Zealand/RBNZ) akan memangkas suku bunga lebih lanjut, setelah memangkas 125 basis poin menjadi 4,25%.
Transaksi swap saat ini menyiratkan probabilitas sebesar 70% untuk pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin pada Februari. Suku bunga acuan Bank Sentral Selandia Baru diperkirakan akan turun menjadi 3,0% pada akhir 2025.
Selain itu, Menteri Keuangan Selandia Baru Nicola Willis mengaitkan kontraksi tersebut dengan dampak inflasi tinggi dan kebijakan Bank Sentral untuk mendorong resesi guna mengendalikan inflasi.
"Penurunan tersebut mencerminkan dampak inflasi tinggi terhadap perekonomian. Hal itu menyebabkan Bank Sentral merekayasa resesi yang telah menghambat pertumbuhan," kata Willis. Ia tetap optimis tentang pertumbuhan di masa mendatang, memprediksi pemulihan ekonomi pada kuartal berikutnya dan pertumbuhan yang lebih kuat pada tahun 2025.
Ekonom Dewan Serikat Buruh Selandia Baru Craig Renney, mengeluarkan peringatan keras tentang dampaknya terhadap pasar tenaga kerja. Salah satunya adanya peningkatan pengangguran.
Baca Juga: Peluang Resesi Ekonomi AS Meningkat
"Ini bukan peringatan bagi pemerintah; ini alarm. Situasi ekonomi bahkan lebih buruk dari yang kita duga, dan itu berarti lebih banyak kesulitan bagi pekerja menjelang Natal,"jelasnya.
Berita Terkait
-
Program Belanja 2025 Tembus Transaksi Rp272 Triliun
-
SPPG Turut Berkontribusi pada Perputaran Ekonomi Lokal
-
Purbaya Prediksi Pertumbuhan Ekonomi RI: 5,2% di 2025, 5,4% pada 2026
-
Purbaya Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global Capai 3% Buntut Penurunan Suku Bunga The Fed
-
Pemerintah Bidik Gig Economy Jadi Mesin Ketiga Pendorong Ekonomi Nasional
Terpopuler
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 4 HP Flagship Turun Harga di Penghujung Tahun 2025, Ada iPhone 16 Pro!
- 5 Moisturizer Murah yang Mencerahkan Wajah untuk Ibu Rumah Tangga
Pilihan
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
Terkini
-
Babak Baru Industri Kripto, DPR Ungkap Revisi UU P2SK Tegaskan Kewenangan OJK
-
Punya Kekayaan Rp76 M, Ini Pekerjaan Ade Kuswara Sebelum Jabat Bupati Bekasi
-
DPR Sebut Revisi UU P2SK Bisa Lindungi Nasabah Kripto
-
Hotel Amankila Bali Mendadak Viral Usai Diduga Muncul di Epstein Files
-
Ekspansi Agresif PIK2, Ada 'Aksi Strategis' saat PANI Caplok Saham CBDK
-
Tak Ada Jeda Waktu, Pembatasan Truk di Tol Berlaku Non-stop Hingga 4 Januari
-
Akses Terputus, Ribuan Liter BBM Tiba di Takengon Aceh Lewat Udara dan Darat
-
Kepemilikan NPWP Jadi Syarat Mutlak Koperasi Jika Ingin Naik Kelas
-
Kemenkeu Salurkan Rp 268 Miliar ke Korban Bencana Sumatra
-
APVI Ingatkan Risiko Ekonomi dan Produk Ilegal dari Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok