- Industri TPT nasional kini berada di ambang krisis.
- Lonjakan impor, baik legal maupun ilegal, telah membuat neraca perdagangan anjlok tajam.
- Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil Syauqi mengungkapkan pertumbuhan impor produk tekstil terkini jauh lebih cepat dibandingkan ekspor.
Suara.com - Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional kini berada di ambang krisis. Lonjakan impor, baik legal maupun ilegal, telah membuat neraca perdagangan anjlok tajam dan mengancam 3,7 juta tenaga kerja di sektor ini.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) pun mendesak pemerintah untuk segera mengambil tindakan penyelamatan.
Sekretaris Jenderal APSyFI Farhan Aqil Syauqi mengungkapkan pertumbuhan impor produk tekstil terkini jauh lebih cepat dibandingkan ekspor. Akibatnya, neraca perdagangan tekstil dan produk tekstil (TPT) anjlok tajam dari sekitar USD6 miliar menjadi hanya USD2,4 miliar per 2024 lalu.
“Banyak fasilitas impor bahan baku seperti KITE, PLB, KB, hingga GB disalahgunakan untuk memasukkan barang jadi (finished goods). Akibatnya, pasar dalam negeri kini dibanjiri produk impor murah, terutama dari Tiongkok,” ujarnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Ia menambahkan, perjanjian perdagangan bebas seperti ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) juga menjadi tantangan besar karena membuat produk asal Tiongkok masuk dengan harga jauh lebih murah, yang tentunya menekan daya saing produk lokal.
Menurutnya, kondisi ini telah menyebabkan pasar domestik dikuasai produk impor, sementara pertumbuhan impor justru tidak mendorong ekspor, melainkan menurunkan minat investasi di sektor TPT. Struktur industri pun menjadi timpang, karena barang hilir seperti kain jadi dan pakaian lebih banyak dipasok dari luar negeri, sedangkan industri hulu di dalam negeri kehilangan pasar.
Padahal industri TPT memiliki peran strategis bagi perekonomian nasional, karena mampu menyerap sekitar 3,7 juta tenaga kerja langsung dengan nilai pasar domestik mencapai USD17 miliar dan perputaran bisnis hingga USD35 miliar. Secara global, Indonesia bahkan menduduki peringkat ke-5 dunia untuk kapasitas produksi polyester dan peringkat ke-2 untuk rayon, menandakan potensi besar jika dikelola dengan baik.
“Kalau kebijakan impor tetap longgar sementara industri hulu kita mati, tidak ada lagi masa depan bagi tekstil nasional,” tegas Farhan.
Oleh karenanya, pihaknya memaparkan strategi penguatan integrasi industri TPT sebagai langkah penyelamatan dan pembangunan berkelanjutan sektor ini. Terdapat tiga arah kebijakan utama, yakni penguatan regulasi perdagangan, peningkatan daya saing industri, dan kebijakan jangka menengah untuk kemandirian bahan baku.
Baca Juga: ESDM Gandeng P2MI, Ciptakan Pekerja Migran Energi yang TerlindungidanKompeten
Terkait dengan penguatan regulasi perdagangan, APSyFI meminta agar seluruh produk TPT (HS 50-63) wajib memiliki izin impor (PI) dari Kementerian Perdagangan berdasarkan pertimbangan teknis (Pertek) dari Kementerian Perindustrian.
Namun APSyFI menekankan agar pemberian kuota impor pada Pertek dilakukan evaluasi secara menyeluruh, guna menghindari permainan dengan para importir, dengan pelaksanaannya dilakukan secara transparan. Selain itu, pengawasan SNI, K3L, dan label Bahasa Indonesia perlu dikembalikan ke border untuk memperkuat kontrol.
"Pemerintah juga diminta menegakkan aturan Anti Dumping, Anti Subsidi, dan Safeguard, serta memberantas impor ilegal dan menolak segala bentuk relaksasi impor," tutur dia.
Lalu untuk peningkatan daya saing dan integrasi industri, pihaknya mengusulkan harga gas industri maksimal USD6 per MMBTU, agar setara dengan kompetitor seperti India. Selain itu, APSyFI mendorong insentif pajak final bagi produk pakaian jadi, serta pembiayaan hijau dan murah bagi industri yang menggunakan bahan baku lokal atau daur ulang. "Langkah ini diharapkan memperkuat rantai pasok dari hulu ke hilir," jelasnya.
Sementara perihal kebijakan jangka menengah, ia menekankan pentingnya kewajiban TKDN dan penerapan SNI di pasar domestik, penguatan merek lokal dan platform e-commerce nasional bagi IKM, serta percepatan transformasi hijau dan digital (industri 4.0).
"Upaya ini harus diiringi efisiensi logistik nasional, terutama di transportasi kereta dan pelabuhan, serta pengembangan industri petrokimia domestik untuk menjamin pasokan bahan baku strategis," terangnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 3 Link DANA Kaget Khusus Hari Ini, Langsung Cair Bernilai Rp135 Ribu
- Karawang di Ujung Tanduk Sengketa Tanah: Pemerintah-BPN Turun Gunung Bahas Solusi Cepat
- 5 Fakta Heboh Kasus Video Panas Hilda Pricillya dan Pratu Risal yang Guncang Media Sosial
- 14 Kode Redeem FC Mobile Hari Ini 7 Oktober 2025, Gaet Rivaldo 112 Gratis
- Jadwal dan Lokasi Penukaran Uang Baru di Kota Makassar Bulan Oktober 2025
Pilihan
-
Harga Emas Hari Ini: Antam di Pegadaian Rp 2,4 Juta per Gram, UBS dan Galeri 24 Juga Naik!
-
Ragnar Oratmangoen Ujung Tombak, Ini Susunan Pemain Timnas Indonesia vs Arab Saudi
-
BREAKING NEWS! Tanpa Calvin Verdonk, Ini Pemain Timnas Indonesia vs Arab Saudi
-
Waketum PSI Dapat Tugas dari Jokowi Usai Laporkan Penyelewengan Dana PIP
-
Ole Romeny Diragukan, Siapa Penyerang Timnas Indonesia vs Arab Saudi?
Terkini
-
Survei BI: Keyakinan Konsumen Menurun, Cari Kerja Jadi Makin Sulit
-
Jelang 1 Tahun, Mantan Menteri ESDM Kritik Pemerintahan Prabowo-Gibran
-
ESDM Gandeng P2MI, Ciptakan Pekerja Migran Energi yang TerlindungidanKompeten
-
CDIA, WIRG dan TOBA Jadi Opsi Menarik di Tengah Proyeksi Penguatan IHSG Hari Ini
-
Dewan Komisioner LPS Baru Resmi Dilantik Presiden Prabowo, Ini Jajarannya
-
Harga Emas Hari Ini: Antam di Pegadaian Rp 2,4 Juta per Gram, UBS dan Galeri 24 Juga Naik!
-
Perencanaan dan e-RDKK yang Tepat Jadi Kunci Optimalisasi Penyerapan Pupuk Subsidi di Aceh
-
RI Resmi Punya Pembangkit Listrik Paling Canggih Se-Asia Tenggara
-
Bahlil: Permen Minerba akan Prioritaskan UMKM dan Koperasi Lokal, Bukan dari Jakarta
-
Purbaya Minta Tak Perlu Ada Wamenkeu Baru: Dari Pada Saya Pusing