-
Rupiah dibuka melemah ke level Rp16.648 per dolar AS, turun dibanding penutupan sebelumnya.
-
Pelemahan rupiah dipicu faktor global, terutama ketidakpastian arah suku bunga The Fed dan inflasi AS yang masih tinggi.
-
Dari dalam negeri, kenaikan PPN menjadi 12% dikhawatirkan menekan daya beli dan menambah tekanan terhadap rupiah
Suara.com - Nilai tukar rupiah dibuka melemah pada awal pagi hari ini.
Berdasarkan data Bloomberg, Rupiah di pasar spot pagi Senin (3/12/2025), dibuka di level Rp 16.648 per Dolar Amerika Serikat (AS).
Hal ini membuat rupiah terkoreksi 10 persen dibanding penutupan pada Jumat (3/11/2025) yang berada di level Rp 16.631 per dolar AS.
Hal itu juga terjadi pada mata uang asia bergerak bervariasi terhadap Dolar.
Yen Jepang misalnya melemah 0,06 persen, Dolar Hong Kong melemah 0,02 persen.
Lalu, Dolar Singapura melemah 0,08 persen dan Dolar Taiwan melemah 0,15 persen.
Selain itu, Won Korea Selatan melemah 0,11 persen, Rupee India melemah 0,12 persen.
Ada, Ringgit Malaysia melemah 0,19 persen dan Baht Thailand melemah 0,29 persen.
Sementara itu, Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyebutkan, pelemahan Rupiah disebabkan dua faktor dari global dan domesti.
Baca Juga: Sepekan, Aliran Modal Asing Masuk Rp 1 Triliun
Dari global dipengaruhi sentimen Bank sentral secara luas juga diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin.
Ini membuat pasar menjadi semakin tidak yakin atas rencana jangka panjangnya untuk suku bunga, terutama karena data minggu ini menunjukkan inflasi AS tetap tinggi.
"The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga dengan kecepatan yang lebih lambat pada tahun 2025 setelah memangkas suku bunga sebesar 75 bps sejauh ini pada tahun 2024," kata Ibrahim.
Selain itu, kekhawatiran terhadap kebijakan ekspansif dan inflasi di bawah Presiden Terpilih Donald Trump juga diperkirakan menjadi faktor untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka panjang.
Dari domestik, Ibrahim mencermati efek dari kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen terhadap ekonomi. Khususnya risiko terhadap inflasi dan daya beli masyarakat.
Berita Terkait
-
Rupiah Kembali Perkasa Lawan Dolar Amerika, Sentuh Level Rp 16.563
-
Rupiah Masih Loyo Lawan Dolar Amerika Serikat di Sore Ini
-
Rupiah Masih Meriang Lawan Dolar Amerika, Sentuh Level Rp 16.617
-
IHSG Tetap Perkasa di Tengah Anjloknya Rupiah, Ini Pendorongnya
-
Bank Indonesia Dikabarkan Jual Cadangan Emas Batangan 11 Ton, Buat Apa?
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Sepatu New Balance Diskon 70% Jelang Natal di Sports Station
- Analisis Roy Suryo Soal Ijazah Jokowi: Pasfoto Terlalu Baru dan Logo UGM Tidak Lazim
- Ingin Miliki Rumah Baru di Tahun Baru? Yuk, Cek BRI dengan KPR Suku Bunga Spesial 1,30%
- Meskipun Pensiun, Bisa Tetap Cuan dan Tenang Bersama BRIFINE
- Kebutuhan Mendesak? Atasi Saja dengan BRI Multiguna, Proses Cepat dan Mudah
Pilihan
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
-
Produsen Tanggapi Isu Kenaikan Harga Smartphone di 2026
-
Samsung PD Pasar Tablet 2026 Tetap Tumbuh, Harga Dipastikan Aman
-
Breaking News! John Herdman Jadi Pelatih Timnas Indonesia, Tunggu Diumumkan
Terkini
-
IWIP Gelontorkan Pendanaan Rp900 Juta untuk Korban Bencana di Sumatera
-
AKGTK 2025 Akhir Desember: Jadwal Lengkap dan Persiapan Bagi Guru Madrasah
-
Dasco Ketuk Palu Sahkan Pansus RUU Desain Industri, Ini Urgensinya
-
ASPEBINDO: Rantai Pasok Energi Bukan Sekadar Komoditas, Tapi Instrumen Kedaulatan Negara
-
Nilai Tukar Rupiah Melemah pada Akhir Pekan, Ini Penyebabnya
-
Serikat Buruh Kecewa dengan Rumus UMP 2026, Dinilai Tak Bikin Sejahtera
-
Kuota Mulai Dihitung, Bahlil Beri Peringatan ke SPBU Swasta Soal Impor BBM
-
Pemerintah Susun Standar Nasional Baru Pelatihan UMKM dan Ekraf
-
Stok Di Atas Rata-rata, Bahlil Jamin Tak Ada Kelangkaan BBM Selama Nataru
-
Kadin Minta Menkeu Purbaya Beri Insentif Industri Furnitur