- Badan Energi Internasional (IEA) Paris memproyeksikan permintaan minyak mentah global akan tumbuh mencapai 113 juta barel per hari pada tahun 2050.
- Proyeksi ini menggunakan "Skenario Kebijakan Saat Ini" (CPS) yang mengasumsikan tidak ada kebijakan iklim baru dan kembali digunakan setelah lima tahun absen.
- Peningkatan permintaan minyak mentah utama didorong oleh kebutuhan petrokimia, bahan bakar jet, serta perlambatan signifikan dalam adopsi kendaraan listrik.
Suara.com - International Energy Agency’s (IEA) atau Badan Energi Internasional yang berbasis di Paris, memproyeksikan permintaan minyak mentah dunia terus tumbuh hingga 2050.
Mengutip dari CNBC, perkiraan itu tertuang dalam laporannya World Energy Outlook, yang memproyeksikan pertumbuhan permintaan minyak mentah dunia dapat tumbuh menjadi 113 juta barel per hari pada 2050, naik 13 persen dari level 2024.
Perkiraan itu didasarkan pada "Skenario Kebijakan Saat Ini" (Current Policies Scenario/CPS) yang mengasumsikan tidak adanya kebijakan iklim yang baru. Setelah sebelumnya, IEA memproyeksikan puncak permintaan bahan bakar fosil terjadi sebelum 2030.
Current Policies Scenario kembali digunakan setelah sebelumnya absen dalam lima tahun terakhir, serta digunakan kembali karena adanya tekanan dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Peningkatan permintaan minyak itu utamanya didorong kebutuhan petrokimia dan bahan bakar jet, serta perlambatan adopsi kendaraan listrik (EV).
Proyeksi puncak permintaan minyak itu mengacu pada produksi minyak mentah global mencapai titik tertinggi, sebelum kemudian memasuki penurunan yang tidak dapat diubah lagi.
Analis dari Eurasia Group’s Energy, Climate and Resources, Gregory Brew memandang berubahnya proyeksi IEA menjadi sebuah pergeseran besar dari posisinya dalam lima tahun terakhir.
"Alasan yang diajukan untuk peralihan ini mencakup perubahan kebijakan di AS, dimana penetrasi kendaraan listrik yang lambat menunjukkan konsumsi minyak yang tinggi, tetapi juga terkait dengan perkiraan kenaikan harga petrokimia dan bahan bakar penerbangan di Asia Timur dan Tenggara,” ujar Brew kepada CNBC yang dikutip Jumat (14/11/2025).
Menurutnya perubahan perkiraan IEA tidak banyak dipengaruhi oleh tekanan politik.
Baca Juga: ESDM Ungkap Alasan Sumber Listrik RI Mayoritas dari Batu Bara
"Meskipun ada beberapa tekanan politik, misalnya ketika pemerintahan Trump mengkritik dugaan bias kelompok tersebut yang mendukung energi terbarukan," katanya.
"Dan perubahan ini mencerminkan skeptisisme yang lebih luas bahwa permintaan minyak akan mencapai puncaknya dalam waktu dekat,” sambungnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 HP RAM 8 GB Memori 256 GB Harga Rp1 Jutaan, Terbaik untuk Pelajar dan Pekerja
- 7 Sepatu Adidas Diskon hingga 60% di Sneakers Dept, Cocok Buat Tahun Baru
- 5 Mobil Bekas yang Anti-Rugi: Pemakaian Jangka Panjang Tetap Aman Sentosa
- Diminta Selawat di Depan Jamaah Majelis Rasulullah, Ruben Onsu: Kaki Saya Gemetar
- Kencang bak Ninja, Harga Rasa Vario: Segini Harga dan Konsumsi BBM Yamaha MT-25 Bekas
Pilihan
-
Kaleidoskop Sumsel 2025: Menjemput Investasi Asing, Melawan Kepungan Asap dan Banjir
-
Mengungkap Gaji John Herdman dari PSSI, Setara Harga Rumah Pinggiran Tangsel?
-
Aksi Adik Kandung Prabowo yang Makin Mencengkeram Bisnis Telekomunikasi
-
Sesaat Lagi! Ini Link Live Streaming Final Futsal ASEAN 2025 Indonesia vs Thailand
-
Cerita 1.000 UMKM Banyuasin: Dapat Modal, Kini Usaha Naik Kelas Berkat Bank Sumsel Babel
Terkini
-
Kekayaan Ridwan Kamil dan Atalia Praratya yang Dikabarkan Cerai
-
Merger BUMN Karya Tuntas Awal 2026, BP BUMN Ungkap Update Terkini
-
Target Harga BUMI di Tengah Aksi Jual Saham Jelang Tahun Baru
-
HET Beras Mau Dihapus
-
Dana Jaminan Reklamasi 2025 Tembus Rp35 Triliun, Syarat Wajib Sebelum Operasi!
-
Harga Beras Bakal Makin Murah, Stoknya Melimpah di 2026
-
DJP Blokir 33 Rekening Bank hingga Sita Tanah 10 Hektare ke Konglomerat Penunggak Pajak
-
Emiten TRON Perkuat Bisnis Kendaraan Listrik, Jajaki Pengadaan 2.000 Unit EV
-
Aksi Adik Kandung Prabowo yang Makin Mencengkeram Bisnis Telekomunikasi
-
DJP Kemenkeu Kantongi Rp 3,6 Triliun dari Konglomerat Penunggak Pajak