Bisnis / Keuangan
Rabu, 17 Desember 2025 | 22:06 WIB
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mengatakan RUU P2SK sangat penting, terutama untuk mengatur tata kelola perdagangan aset kripto di Indonesia. (Suara.com/Bagaskara)
Baca 10 detik
  • Revisi UU P2SK menempatkan aset kripto sebagai sektor keuangan di bawah pengawasan OJK, mewajibkan semua transaksi melalui bursa resmi.
  • Draf revisi memperkenalkan LJK Aset Kripto dan mewajibkan pelaporan semua aktivitas, termasuk berpotensi membatasi perdagangan di luar bursa terpusat.
  • Pelaku industri khawatir sentralisasi pasar terjadi, sementara DPR menekankan pentingnya tata kelola transparan dan perlindungan dana nasabah.

Suara.com - Pemain aset kripto di Indonesia tengah memasuki titik krusial yang akan menentukan arah pertumbuhannya dalam jangka panjang. Revisi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang kini dibahas pemerintah bersama DPR bukan sekadar perubahan regulasi, melainkan upaya mendefinisikan ulang peta kekuasaan dan struktur industri kripto nasional.

Untuk pertama kalinya, aset kripto secara eksplisit diposisikan sebagai bagian dari sektor keuangan nasional di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Namun, di balik narasi penguatan pengawasan dan perlindungan konsumen, muncul kekhawatiran baru dari pelaku industri. Sejumlah ketentuan dalam draf revisi UU P2SK dinilai berpotensi menggeser peran puluhan Pedagang Aset Keuangan Digital (PAKD) yang selama ini menjadi tulang punggung perdagangan kripto, sekaligus membuka jalan bagi konsentrasi kekuasaan pada satu entitas bursa.

Dalam draf revisi memperkenalkan istilah Lembaga Jasa Keuangan Aset Kripto (LJK Aset Kripto), yakni badan yang menjalankan seluruh aktivitas sektor keuangan digital berbasis kripto. Melalui skema ini, aset kripto secara resmi dimasukkan ke dalam kerangka Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) dan sepenuhnya berada di bawah otoritas OJK.

Pengaturan tersebut ditegaskan dalam Pasal 215A, yang merinci struktur LJK Aset Kripto mulai dari bursa, lembaga kliring, kustodian, pedagang, hingga pihak pendukung lain yang harus mendapatkan persetujuan OJK. Seluruh aktivitas—tanpa kecuali—wajib berizin dan dilaporkan.

Pasal yang paling memicu perdebatan di kalangan pelaku industri adalah Pasal 215A ayat (4). Ketentuan ini mewajibkan seluruh aktivitas ITSK terkait aset kripto, termasuk transaksi melalui dompet digital (wallet), untuk dilakukan melalui dan dilaporkan kepada bursa resmi.

Dengan kata lain, ruang transaksi kripto yang selama ini relatif fleksibel—termasuk perdagangan peer-to-peer atau mekanisme di luar bursa—akan dipersempit secara signifikan. Semua transaksi harus “masuk sistem” bursa, atau setidaknya tercatat di dalamnya.

Bagi regulator, langkah ini dipandang sebagai upaya menciptakan transparansi, mencegah pencucian uang, dan memperkuat pengawasan risiko sistemik. Namun bagi sebagian pelaku industri, kebijakan ini berpotensi menimbulkan efek samping berupa sentralisasi pasar dan berkurangnya ruang inovasi.

Kekhawatiran tersebut semakin menguat dengan masuknya ancaman sanksi pidana dalam draf revisi. Operasional tanpa izin atau pelanggaran kewajiban transaksi melalui bursa dapat dikenai hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 triliun—angka yang dinilai sangat tinggi untuk industri yang masih dalam fase pertumbuhan.

Baca Juga: Akui Ada Pengajuan Izin Bursa Kripto Baru, OJK: Prosesnya Masih Panjang

UU P2SK hasil revisi juga menetapkan masa transisi dua tahun. Dalam periode ini, bursa resmi diberi waktu untuk membangun infrastruktur penuh yang mampu mempertemukan penawaran jual dan beli aset kripto secara terpusat. Setelah masa transisi berakhir, seluruh perdagangan kripto di luar bursa resmi tidak lagi diperkenankan.

Bagi industri, dua tahun ke depan akan menjadi masa penentuan: apakah regulasi baru ini mampu menciptakan ekosistem kripto yang sehat, terpercaya, dan berkelanjutan, atau justru menekan dinamika pasar yang selama ini tumbuh dari inovasi dan kompetisi terbuka.

Yang jelas, arah kebijakan ini menunjukkan satu hal: kripto di Indonesia tak lagi dipandang sebagai fenomena pinggiran, melainkan sebagai sektor strategis yang ingin dikendalikan secara penuh oleh negara. Bagaimana dampaknya bagi investor, pelaku usaha, dan masa depan ekonomi digital nasional, akan segera teruji.

Menjawab berbagai kekawatiran di atas, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menegaskan rencana revisi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU P2SK sangat penting, terutama untuk mengatur tata kelola perdagangan aset kripto di Indonesia.

Misbakhun menerangkan perubahan aturan ini penting karena aset kripto, berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK, sudah dikategorikan bagai aset keuangan yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dari yang tadinya hanya dianggap sebagai komoditas serta diawasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi di bawah Kementerian Perdagangan.

"Ketika menjadi aset keuangan, maka kita harus mengikuti tata kelola di sektor keuangan, di mana regulator, pengawas dan unsur perlindungan konsumen, pengaturannya oleh OJK," terang Misbakhun pada Rabu (17/12/2025).

Lebih lanjut legislator Partai Golkar tersebut membeberkan bahwa sebagai aset keuangan, perdagangan kripto di Indonesia hanya bisa dilakukan di bursa kripto.

"Bursa kripto itu ada yang sudah beroperasi dan ada yang masih menunggu untuk mendapatkan izin operasional. Kita serahkan ke OJK pengaturannya," lanjut dia.

Ia meneruskan bahwa aturan baru itu kelak akan menegaskan bahwa perdagangan kripto di bursa dilakukan oleh para pihak yang jelas dan tata kelolanya melibatkan lembaga kustodian dan kliring.

"Kemudian dalam bursa kripto itu, ketika orang mau masuk memperdagangkan aset kritpo, harus jelas. Dia punya aset kripto atau tidak? Yang membeli atas nama nasabah, bukan atas nama exchanger. Jangan sampai uang nasabah dipakai exchanger," Misbakhun mewanti-wanti.

"Kemudian ketika membeli, dari siapa? Disimpan oleh siapa? Kustodiannya siapa? Kliringnya ada atau tidak? Kapan diserahkan, dibayar dan diserahkan kepada nasabah kapan?" beber Misbakhun menerangkan.

Ia memperingatakan jangan sampai terjadi, aset kripto yang dibeli nasabah justru disimpan atas nama exchanger.

"Kalau nasabah mau simpan di lembaga kustodian, silahkan tapi atas nama nasabah. Jangan sampai barang disimpan oleh exchanger, atas nama exchanger padahal bukan barang dia. Tata kelola ini harus diterapkan, karena ini aset keuangan," tekan Misbakhun.

Misbakhun juga mengingatkan bahwa saat ini masih ada praktik curang, di mana exchanger membeli kripto menggunakan uang nasabah - yang menaruh kepercayaan pada exchanger untuk membelikan aset - tapi dibeli atas nama exchanger.

"Harapan kami sebagai law makers, aset kripto ini menjadi aset yang tata kelolanya dijalankan dengan baik," kata Misbakhun.

Ia mengatakan bahwa pihaknya telah bertemu dengan beberapa asosiasi pelaku usaha aset kripto di Indonesia dan mereka mendukung rencana aturan baru tersebut.

Menurut Misbakhun para asosiasi meyambut baik rancangan aturan itu, karena mereka yakin regulasi itu akan membuat memberi ruang untuk mengembangkan aset digital di Indonesia.

"Karena keinginan kita cuma satu. Aset digital ini diminati generasi baru, Gen Z dan yang kuat adalah anak bangsa kita," kata Misbakhun.

"Jangan sampai yang berperan itu pedagang asing, memakai platform asing tapi memakai uang di dalam negeri. Kemudian book order juga di luar. Jangan sampai likuiditas dan investasi di dalam negeri ini ditarik oleh orang luar," ia melanjutkan.

Misbakhun menegakan bahwa racangan RUU P2SK dibuat untuk memperkuat struktur perekonomian nasional, mengembangkan sistem keuangan digital yang kuat di Indonesia.

"Makanya ada bursa (kripto). Lalu ada self regulatory organization, yaitu lembaga kustodian dan lembaga kliring," kata dia.

Bahkan Misbakhun mengusulkan dibentuknya lembaga pemeringkat aset kripto, agar publik mengetahui aset-aset yang mempunya valuasi yang kuat, dikendalikan oleh pihak yang kredibel, dengan latar belakang yang jelas.

Load More