News / Nasional
Rabu, 12 November 2014 | 07:57 WIB
Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Achmad Mubarok (tengah) dan Tantowi Yahya dari Partai Golkar [suara.com/Bowo Raharjo]

Suara.com - Guru Besar Psikologi Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta, Achmad Mubarok, mengatakan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bahwa WNI penganut kepercayaan yang belum diakui secara resmi oleh pemerintah boleh mengosongkan kolom agama dalam e-KTP, sudah akomodatif.

"Jangan terlalu dibesar-besarkan," kata Mubarok kepada suara.com, Rabu (12/11/2014).

Mubarok menilai respon publik selama ini terhadap pernyataan Mendagri terlalu heboh. Menurut anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, itu terjadi karena memang agama merupakan masalah yang sensitif bagi mayoritas masyarakat Indonesia.

Mubarok mengatakan sesungguhnya tidak ada masalah kalau penganut kebatinan tidak mau menuliskan agama di kolom agama dalam KTP.

"Tapi itu potensial akan dimanfaatkan kelompok HAM internasional untuk langkah langkah lebih jauh," kata Mubarok.

Sebelumnya, Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa aturan yang mengharuskan pengisian agama telah membuat banyak orang yang menganut kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah, tidak mendapatkan e-KTP.

"Tidak ada masalah, namun yang punya agama ya masuk aja. Karena banyak orang yang punya keyakinan, tapi tidak bisa mendapatkan KTP, itu kita serahkan kepada Menteri Agama, tapi yang punya agama masukkan saja," kata Tjahjo.

Alasan pemerintah ingin mengeluarkan kebijakan itu, antara lain karena tidak ingin ikut campur terhadap WNI yang memiliki keyakinan masing-masing sepanjang tidak menyesatkan dan mengganggu ketertiban umum.

Terkait dengan proyek e-KTP, Tjahjo mengatakan akan tetap dilanjutkan karena sebelumnya sudah berjalan.

"Kita ingin melanjutkan sisa 4,8 juta yang belum selesai, namun dengan perbaikan karena ada saran dari KPK," kata dia.

Tag

Load More