Suara.com - Koalisi Pemantau Peradilan meminta peningkatan anggaran kejaksaan dalam menangani perkara.
"Kami meminta untuk menaikan batasan maksimal anggaran yang diberikan dari Rp3,3 juta menjadi Rp10 juta untuk perkara yang tingkat kesulitan penanganannya sedang, dan Rp25 juta untuk perkara yang tingkat kesulitan penanganannya tinggi," kata peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (MaPPI FHUI) Dio Ashar Wicaksana dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (13/3/2016).
Anggaran kejaksaan untuk penanganan perkara pidana umum (pidum) mengalami pemangkasan pada 2016 menjadi Rp3,3 juta untuk 39.514 perkara, atau hanya seperempat dari anggaran pidum pada 2015 untuk 120.019 perkara padahal jumlah penanganan perkara pidum pada 2012-2014 mencapai lebih dari 100.000 perkara sejak tahap prapenuntutan hingga eksekusi.
"Dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, pemerintah menargetkan kenaikan penyelesaian perkara di tahap Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) sebanyak 131 ribu perkara sepanjang 2016-2019, namun rencana ini tidak sejalan dengan perencanaan anggaran karena Kejaksaan hanya dialokasikan untuk menangani sebanyak 39.514 perkara," tambah Dio.
Contoh dampak dari pemangkasan terjadi di Kejari wilayah Maluku yang semula dianggarkan untuk 60-70 perkara menjadi hanya sekitar 15 perkara.
"Mirisnya hingga akhir Februari 2019, kejaksaan setempat sudah menangani lebih dari 15 perkara. Jika rata-rata perkara yang ditangani Kejaksaan melebihi 100.000 perkara, bagaimana mereka bisa menyelesaikan perkara jika anggaran sudah habis sejak awal tahun? Tentu hal ini tidak hanya terhadap performa Kejaksaan, melainkan juga menyebabkan adanya potensi praktik korupsi di Kejaksaan," tegas Dio.
Lebih lanjut, Koalisi juga meminta ada perubahan sistem penentuan keberhasilan dan penyusunan anggaran perkara di Kejaksaan.
"Hingga saat ini, indikator keberhasilan jaksa dalam menangani perkara berdasarkan jumlah perkara yang diselesaikan. Padahal fungsi utama penegak hukum bukan hanya menindak setiap perkara yang masuk, tetapi juga menjamin adanya keadilan, perlindungan hak, dan juga bebas korupsi," ungkap Dio.
Selain itu, fungsi penuntut umum sebagai pengendali perkara juga sebagai penentu mana yang layak atau tidak untuk dibawa ke Pengadilan.
"Jika penuntut umum tidak menemukan bukti yang cukup, maka mereka bisa mengesampingkan perkara melalui kewenangan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) seperti kasus Novel Baswedan sehingga jika pola penganggaran mereka seperti itu, Kejaksaan bisa menggunakan sistem penganggaran 'actual cost' seperti yang dilakukan oleh KPK," jelas Dio.
Laporan Komisi Kejaksaan menunjukkan bahwa anggaran perkara di Kejaksaan tidaklah berbasiskan kebutuhan. Contohnya pada 2011, Kejaksaan diberikan biaya Rp29,5 juta per perkara pidum, namun karena tidak mencukupi keseluruhan penanganan perkara, maka Kejaksaan menurunkan satuan biaya perkara menjadi Rp5,8 juta per perkara (pada 2012) dan kembali menurun menjadi Rp3,3 juta (pada 2013).
Nominal tersebut tentu tidak sesuai dengan biaya yang harus dikeluarkan. MaPPI mencatat jaksa membutuhkan biaya minimal Rp8 juta untuk perkara di Kejari yang tidak satu wilayah dengan Pengadilan Negeri (PN) seperti di Papua, Nusa Tenggara Timur dan Maluku.
"Kebutuhan tinggi tersebut dibutuhkan untuk transportasi laut maupun udara sekedar pergi bersidang. Bisa dibayangkan bagaimana besarnya biaya jika membawa saksi, terdakwa dan petugas keamanan, belum lagi konsumsi dan penginapan jika perjalanannya tidak cukup satu hari," ungkap Dio.
Meskipun pada 2015 lalu, besaran anggaran sudah dibedakan terhadap Kejari yang tidak satu wilayah dengan PN, namun besaran tersebut masih dianggap belum cukup karena baru berkisar Rp6 juta.
"Kesulitan terjadi jika perkara yang ditangani merupakan perkara yang sulit pembuktiannya, seperti perkara narkotika, 'illegal logging', 'illegal fishing', 'human trafficking' dan lainnya," tambah Dio.
Dari laporan Kejaksaan, tercatat perkara tersebut mencapai angka 24.767 perkara pada 2014 dengan narkotika mencapai 20.204 perkara disusul penggelepan sebesar 2.233 perkara.
"Seperti kasus 'illegal fishing', ikan-ikan yang menjadi barang bukti harus diperlakukan khusus agar tidak menjadi busuk ditambah harus ada tempat khusus untuk menyimpan kapal terkait perkara itu. Anggaran penanganan perkara di Kejaksaan belum mengalokasikan untuk biaya perlindungan barang bukti, pengamanan persidangan, ekstradisi, atau sekedar biaya saksi ahli akibatnya, jaksa mengeluhkan besaran anggaran yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan suatu perkara, terutama di wilayah-wilayah terpencil yang membutuhkan biaya transportasi yang besar dan hal ini juga jadi penyebab praktik korupsi," jelas Dio.
Padahal menurut Dio, Presiden Joko Widodo sendiri memiliki visi untuk menguatkan potensi sumber daya alam, sayangnya tujuan baik tersebut tidak dikorelasikan dengan kebijakan anggaran untuk penanganan kasus di perkara-perkara "illegal fishing" maupun "illegal logging".
"Karena itu kami meminta agar pemerintan membuat klasifikasi perkara berdasarkan kebutuhan anggaran misalnya perkara yang butuh anggaran besar seperti 'illegal logging' serta membangun sistem pencatatan laporan penanganan perkara di tiap wilayah Kejari yang mencatat jumlah perkara, jenis perkara, biaya yang dikeluarkan, serta lamanya proses penanganan perkara agar biro perencanaan Kejaksaan Agung bisa membuat perencanaan anggaran berdasarkan sistem tersebut," ungkap Dio.
Selanjutnya perlu ada perubahan indikator keberhasilan penyelesaian perkara berdasarkan jumlah perkara yang ditangani serta membuat pencairan anggaran penanganan perkara dengan sistem "actual cost" atau "reimbursable" seperti sistem di KPK sehingga anggaran yang tersisa tidak perlu dipaksakan laporan penggunaannnya sehingga dapat dialokasikan untuk penanganan perkara yang butuh biaya ekstra. (Antara)
Berita Terkait
-
Kena OTT KPK, Kajari HSU Dicopot Jaksa Agung, Satu Anak Buahnya Kini Jadi Buronan
-
Kemenkeu Salurkan Rp 268 Miliar ke Korban Bencana Sumatra
-
Eks Wakapolri Cium Aroma Kriminalisasi Roy Suryo Cs di Kasus Ijazah Jokowi: Tak Cukup Dilihat
-
Diduga Lakukan Pemerasan hingga Ratusan Juta, Kajari dan Kasi Intel Kejaksaan Negeri HSU Ditahan KPK
-
Purbaya Sebut Dana SAL Rp 200 Triliun Sukses Turunkan Suku Bunga, Ini Buktinya
Terpopuler
- 5 Mobil Keluarga Bekas Senyaman Innova, Pas untuk Perjalanan Liburan Panjang
- 7 Rekomendasi Lipstik untuk Usia 40 Tahun ke Atas, Cocok Jadi Hadiah Hari Ibu
- 5 Mobil Kencang, Murah 80 Jutaan dan Anti Limbung, Cocok untuk Satset di Tol
- 4 HP Flagship Turun Harga di Penghujung Tahun 2025, Ada iPhone 16 Pro!
- 5 Moisturizer Murah yang Mencerahkan Wajah untuk Ibu Rumah Tangga
Pilihan
-
4 Rekomendasi HP OPPO Murah Terbaru untuk Pengguna Budget Terbatas
-
Bank Sumsel Babel Dorong CSR Berkelanjutan lewat Pemberdayaan UMKM di Sembawa Color Run 2025
-
UMP Sumsel 2026 Hampir Rp 4 Juta, Pasar Tenaga Kerja Masuk Fase Penyesuaian
-
Cerita Pahit John Herdman Pelatih Timnas Indonesia, Dikeroyok Selama 1 Jam hingga Nyaris Mati
-
4 HP Murah Rp 1 Jutaan Memori Besar untuk Penggunaan Jangka Panjang
Terkini
-
Melaju Kencang di Tikungan Tajam, 7 Fakta Kecelakaan Maut Bus PO Cahaya Trans di Exit Tol Semarang
-
Sentil Pejabat yang 'Flexing', Rocky Gerung Sebut Prabowo Perlu Sosok Jujur untuk Kendalikan Bencana
-
Punya Harta Rp 79 Miliar, Asal-Usul 29 Bidang Tanah Bupati Bekasi Jadi Sorotan
-
Akhir Pelarian Kasidatun HSU: Bantah Tabrak KPK, Diduga Terima Aliran Dana Rp1 Miliar
-
Drama Berakhir di Polda: Erika Carlina Resmi Cabut Laporan terhadap DJ Panda
-
4 Kritik Tajam Dino Patti Djalal ke Menlu Sugiono: Ferrari Kemlu Terancam Mogok
-
Habiburokhman: KUHAP Baru Jadi Terobosan Konstitusional Reformasi Polri
-
Mekanisme Khusus MBG Saat Libur Nataru: Datang ke Sekolah atau Tak Dapat
-
Jelang Natal dan Tahun Baru, Polda Metro Jaya Siagakan 5.044 Personel Gabungan!
-
Walhi Sumut Bongkar Jejak Korporasi di Balik Banjir Tapanuli: Bukan Sekadar Bencana Alam