Suara.com - Dua anak pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) yakni Dipa Nusantara (DN) Aidit dan Lukman Nyoto memberikan kesaksian dalam Simposium Nasional bertajuk 'Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan' di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (18/4/2016). Sebagai putra putri petinggi PKI yang distigmatisasi dan dituduh sebagai pemberontak, mereka kerap mengalami intimidasi.
Bahkan setelah tragedi September 1965, mereka hidup dalam dibawah tekanan rezim penguasa orde baru. Bahkan stigma buruk itu melekat hingga sekarang pada mereka.
Anak tokoh PKI Nyoto, yaitu Svetlana Nyoto mengaku sampai sekarang untuk berkumpul dengan teman-teman bahkan saudaranya saja masih diawasi oleh aparat keamanan dan TNI Angkatan Darat.
"Sampai sekarang kami untuk berkumpul saja sulit. Karena kalau kami berkumpul dianggap membangun kekuatan (untuk memberontak)," ungkap Svetlana forum Simposium.
Stigama buruk itu sampai saat ini masih terjadi, bahkan Pemerintah pun turut melakukan hal itu. Padahal PKI sendiri secara organisasi sudah tidak ada lagi, cap komunis masih saja dilabelkan terhadap mereka. Meski seperti diketahui hal itu sudah tidak relevan.
Dia mengungkapkan, dirinya sebagai anak petinggi PKI sangat bersahabat dengan anak-anak jenderal korban pembunuhan 1965.
"Padahal saya menjalin persahabatan dengan putra dan putri jenderal korban 1965. Salah satunya Catherine Pandjaitan," ungkap dia.
Dalam kesempatan yang sama, putra mantan Ketua PKI DN Aidit, yaitu Ilham Aidit berharap agar simposium nasional ini tidak hanya seremonial, tetapi dapat melahirkan rekomendasi kongret untuk membuka kebenaran sejarah. Dia setuju jika penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat pada tragedi 65/66 tersebut tanpa ada langkah peradilan bagi pelaku, namun rekonsiliasi atau berdamai.
"Rekonsiliasi itu boleh, tapi harus sama-sama memaknai kebenaran. Sejarah masa lalu harus ungkap kebenarannya," terang dia.
Dia menambahkan, jika memilih rekonsiliasi atas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut, sejarah harus diluruskan. Pemerintah juga harus mengakui tragedi tersebut dan rehabilitasi.
"Jika memang mau rekonsiliasi, maka sifatnya harus ada pengakuan atas perbuatan tragedi tersebut. Kemudian, sejarahnya harus diluruskan, setelah itu melakukan permintaan maaf. Yang terakhir baru melakukan rehabilitasi dengan memberikan kompesasi," tandas Ilham.
Karena itu, dia berharap agar pemerintah dapat membantu memberi pemahaman kepada masyarakat luas untuk menghilangkan cap atau stigma negatif kepada korban tragedi 1965.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Sekelas Honda Jazz untuk Mahasiswa yang Lebih Murah
- 7 Rekomendasi Body Lotion dengan SPF 50 untuk Usia 40 Tahun ke Atas
- 26 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 13 November: Klaim Ribuan Gems dan FootyVerse 111-113
- 5 Pilihan Bedak Padat Wardah untuk Samarkan Garis Halus Usia 40-an, Harga Terjangkau
- 5 Rekomendasi Sepatu Lokal Senyaman New Balance untuk Jalan Kaki Jauh
Pilihan
-
Bobibos Ramai Dibicarakan! Pakar: Wajib Lolos Uji Kelayakan Sebelum Dijual Massal
-
Video Brutal Latja SPN Polda NTT Bocor, Dua Siswa Dipukuli Senior Bikin Publik Murka
-
Rolas Sitinjak: Kriminalisasi Busuk dalam Kasus Tambang Ilegal PT Position, Polisi Pun Jadi Korban
-
Menkeu Purbaya Ungkap Ada K/L yang Balikin Duit Rp3,5 T Gara-Gara Tak Sanggup Belanja!
-
Vinfast Serius Garap Pasar Indonesia, Ini Strategi di Tengah Gempuran Mobil China
Terkini
-
Tak Mau Renovasi! Ahmad Sahroni Pilih Robohkan Rumah Usai Dijarah Massa, Kenapa?
-
Borobudur Marathon 2025 Diikuti Peserta dari 38 Negara, Perputaran Ekonomi Diprediksi Di Atas Rp73 M
-
Langsung Ditangkap Polisi! Ini Tampang Pelaku yang Diduga Siksa dan Jadikan Pacar Komplotan Kriminal
-
Transfer Pusat Dipangkas, Pemkab Jember Andalkan PAD Untuk Kemandirian Fiskal
-
Pelaku Bom SMAN 72 Jakarta Dipindah Kamar, Polisi Segera Periksa Begitu Kondisi Pulih
-
Robohkan Rumah yang Dijarah hingga Rata Dengan Tanah, Ahmad Sahroni Sempat Ungkap Alasannya
-
Jelang Musda, Rizki Faisal Didukung Kader Hingga Ormas Pimpin Golkar Kepri
-
Hakim PN Palembang Raden Zaenal Arief Meninggal di Indekos, Kenapa?
-
Guru Besar UEU Kupas Tuntas Putusan MK 114/2025: Tidak Ada Larangan Polisi Menjabat di Luar Polri
-
MUI Tegaskan Domino Halal Selama Tanpa Unsur Perjudian