Suara.com - Sabtu hari ini, 20 Mei 2017, seluruh masyarakat Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) untuk kali ke-69. Harkitnas kali pertama diperingati pada tahun 1948. Namun, sejak lama muncul pertanyaan menggugat, mengapa 20 Mei yang merupakan hari lahir organisasi Budi Utomo dipilih untuk diperingati sebagai tonggak kebangkitan nasional?
Dalam penelusuran Suara.com, gugatan seperti itu sudah ada sejak tahun 1956, seperti yang tercatat oleh Safrizal Rambe dalam bukunya berjudul Sarekat Islam: Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942” (2008).
Gugatan tersebut cukup beralasan. Sebabnya, Budi Utomo (BU) saat dibentuk tahun 1908 dinilai hanya menyuarakan kepentingan masyarakat Jawa dan tak memunyai tujuan membangun kepentingan nasional.
Apalagi, perjuangan yang dilakukan oleh BU hanya sebatas pelayanan kebudayaan dan pendidikan terhadap warga Jawa. Anggota maupun pengurusnya pun terbatas hanya dari golongan priyayi.
"Walaupun Budi Utomo perkumpulan buat seluruh Jawa dan oleh karena itu bermula mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa perantaraan, sudut sociaal-cultureel Budi Utomo hanya memuaskan untuk penduduk Jawa Tengah," tulis sejarawan A.K. Pringgodigdo dalam bukunya “Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia”.
Tak hanya itu, dasar gugatan yang diajukan oleh banyak pihak juga meliputi garis politik BU yang dinilai tak mendesak kemerdekaan Indonesia kepada pemerintah kolonial Belanda. Sebaliknya, dalam setiap aktivitasnya, BU selalu berselaras dengan kolonial.
Bahkan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Heutsz mengapresiasi pendirian Budi Utomo sebagai simbolisasi keberhasilan politik etis.
Apresiasi Van Heutsz itu cukup beralasan. Sebab, seperti yang tercatat pada buku ”The Dawn of Indonesian Nationalism” karya Akira Nagazumi—sejarawan otoritatif mengenai BU—tujuh tahun sebelumnya, 1901, Ratu Belanda Wilhemina memberikan pidato mengenai politik etis yang memperkenankan warga Hindia Belanda diberikan pendidikan asal tak menuntut kemerdekaan.
Dalam penelitian Akira, juga disebutkan bahwa para aktivis BU seperti Goenawan Mangunkusumo sejak semula menyatakan keengganannya menyatukan seluruh suku bangsa untuk mendirikan pemerintahan sendiri sebagai lawan kolonial.
Baca Juga: Puasa Bisa Mencegah Pikun
“Dengan orang-orang Sumatera, Manado, Ambon dan banyak lagi lainnya yang diam di Hindia, dan hidup dibawah naungan bendera Belanda, kami tidak berani mengajak bekerja sama…” demikian kata Goenawan.
Setelah muncul gugatan, banyak pihak yang menawarkan alternatif hari lahir organisasi lain sebagai ganti untuk diperingati sebagai Harkitnas Indonesia.
Sastrawan terbesar Indonesia Pramoedya Ananta Toer, misalnya, menilai kebangkitan nasional Indonesia sebenarnya sudah terjadi ketika Raden Mas Tirto Adi Suryo (TAS) membangun Sarekat Prijaji tahun 1906—dua tahun sebelum BU.
Bahkan, tahun 1956 silam, terdapat upaya aktif untuk mempromosikan Syarikat Dagang Islamiyah—cikal bakal Sarekat Islam (SI)—sebagai tonggak kebangkitan nasional. Itu seperti yang diajukan oleh penulis Tamar Djaya.
Menurut Tamar, SDI lebih layak dijadikan tonggak harkitnas karena sudah didirikan oleh Samanhoedi pada 16 Oktober 1905. Namun, sejarawan membantah klaim Tamar tersebut karena ada dokumen yang menyebut SDI didirikan oleh Raden TAS 5 April 1909.
Jika berpatokan pada persoalan tahun berdiri, memang terdapat banyak organisasi serupa BU yang bisa dianggap sebagai tonggak harkitnas. Misalnya, Tiong Hwa Hwee Koan (1901) yang membangun sekolah-sekolah bagi warga etnis Tionghoa. Sementara tahun 1905, lahir organisasi para keturunan Arab di Indonesia bernama Jamiat Khair.
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Bekas Punya Sunroof Mulai 30 Jutaan, Gaya Sultan Budget Kos-kosan
- 3 Pilihan Cruiser Ganteng ala Harley-Davidson: Lebih Murah dari Yamaha NMAX, Cocok untuk Pemula
- 5 HP Murah Terbaik dengan Baterai 7000 mAh, Buat Streaming dan Multitasking
- 4 Mobil Bekas 7 Seater Harga 70 Jutaan, Tangguh dan Nyaman untuk Jalan Jauh
- 5 Rekomendasi Mobil Keluarga Bekas Tahan Banjir, Mesin Gagah Bertenaga
Pilihan
-
Tragedi Pilu dari Kendal: Ibu Meninggal, Dua Gadis Bertahan Hidup dalam Kelaparan
-
Menko Airlangga Ungkap Rekor Kenaikan Harga Emas Dunia Karena Ulah Freeport
-
Emas Hari Ini Anjlok! Harganya Turun Drastis di Pegadaian, Antam Masih Kosong
-
Pemilik Tabungan 'Sultan' di Atas Rp5 Miliar Makin Gendut
-
Media Inggris Sebut IKN Bakal Jadi Kota Hantu, Menkeu Purbaya: Tidak Perlu Takut!
Terkini
-
PLN Resmikan Dua SPKLU Center Pertama di Jakarta untuk Dorong Ekosistem Kendaraan Listrik
-
Koalisi Masyarakat Sipil Gugat UU TNI, Tolak Ekspansi Militer ke Ranah Sipil
-
KPK Sita Uang Miliaran Rupiah dalam OTT Gubernur Riau Abdul Wahid
-
Pramono Pastikan Kampus IKJ Tak Dipindah ke Kota Tua, Fokus Bangun Ekosistem Seni di TIM
-
Onad Resmi Direhabilitasi: Bukan Pengedar, Ini Alasan BNNP DKI
-
Budi Arie Merapat ke Gerindra? Muzani: Syaratnya Cuma Ini!
-
Yusril: Pasal KUHP Lama Tak Lagi Efektif, Judi Online Harus Dihantam dengan TPPU
-
Prabowo Setujui Rp5 Triliun untuk KRL Baru: Akhir dari Desak-desakan di Jabodetabek?
-
Subsidi Transportasi Dipangkas, Tarif Transjakarta Naik pada 2026?
-
Wacana Soeharto Pahlawan Nasional Picu Kontroversi, Asvi Warman Soroti Indikasi Pemutihan Sejarah