Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi [suara.com/Nikolaus Tolen]
Baca 10 detik
Hasil survei lembaga kajian Indikator Politik Indonesia terhadap 1.220 responden menggambarkan mayoritas publik (68,3 persen) puas terhadap kinerja selama tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei tersebut tak bisa dijadikan jaminan elektabilitas Jokowi tetap akan tinggi pada pemilu presiden tahun 2019.
"Faktor utama (memilih) tak semata ditentukan kinerja, ini sudah terjadi di (Pilkada) Jakarta," kata Burhanuddin di kantornya, Jalan Cikini V, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (11/10/ 2017).
Burhanuddin mengatakan ada kasus, dimana kehendak warga untuk memilih calon pemimpin tidak berdasarkan kepuasan. Tetapi bisa juga didorong faktor identitas, ideologi yang tidak cocok dengan pemilik suara.
"Pemilih ada yang memilih dengan kepala tapi ada juga yang memilih dengan hati," katanya.
Burhanuddin menyontohkan meskipun banyak orang mengakui kinerja Jokowi, tetapi belum tentu orang Padang memiliki sikap yang sama. Bisa saja mereka tetap tidak puas dan masih ragu memilih Jokowi karena faktor-faktor tersebut.
"Di Minang itu bukan semata urusan kinerja, tapi konsep kepemimpinan yang tidak match misalnya, atau ideologi. Banyak variabel di situ, ini faktornya beragam," kata Burhanuddin.
Burhan kemudian menjabarkan bagaimana motif-motif tertentu sangat berpengaruh terhadap pemilihan Presiden. Misalnya di Amerika Serikat, John F, Kennedy merupakan Presiden pertama yang beragama Katolik sejak negara itu berdiri pada 1776.
Amerika Serikat selalu dipimpin presiden beragama Kristen, tetapi masyarakat di sana juga cerdas, bisa memilih dan memilah. Kristen tak menjadi jaminan untuk naik jadi penguasa. Harus yang benar-benar mayoritas dan punya pengaruh.
"Dari Kristen-pun, yang minor kalah. Ada variabel lain yang tak semata ditentukan rasionalitas," kata Burhanuddin.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei tersebut tak bisa dijadikan jaminan elektabilitas Jokowi tetap akan tinggi pada pemilu presiden tahun 2019.
"Faktor utama (memilih) tak semata ditentukan kinerja, ini sudah terjadi di (Pilkada) Jakarta," kata Burhanuddin di kantornya, Jalan Cikini V, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (11/10/ 2017).
Burhanuddin mengatakan ada kasus, dimana kehendak warga untuk memilih calon pemimpin tidak berdasarkan kepuasan. Tetapi bisa juga didorong faktor identitas, ideologi yang tidak cocok dengan pemilik suara.
"Pemilih ada yang memilih dengan kepala tapi ada juga yang memilih dengan hati," katanya.
Burhanuddin menyontohkan meskipun banyak orang mengakui kinerja Jokowi, tetapi belum tentu orang Padang memiliki sikap yang sama. Bisa saja mereka tetap tidak puas dan masih ragu memilih Jokowi karena faktor-faktor tersebut.
"Di Minang itu bukan semata urusan kinerja, tapi konsep kepemimpinan yang tidak match misalnya, atau ideologi. Banyak variabel di situ, ini faktornya beragam," kata Burhanuddin.
Burhan kemudian menjabarkan bagaimana motif-motif tertentu sangat berpengaruh terhadap pemilihan Presiden. Misalnya di Amerika Serikat, John F, Kennedy merupakan Presiden pertama yang beragama Katolik sejak negara itu berdiri pada 1776.
Amerika Serikat selalu dipimpin presiden beragama Kristen, tetapi masyarakat di sana juga cerdas, bisa memilih dan memilah. Kristen tak menjadi jaminan untuk naik jadi penguasa. Harus yang benar-benar mayoritas dan punya pengaruh.
"Dari Kristen-pun, yang minor kalah. Ada variabel lain yang tak semata ditentukan rasionalitas," kata Burhanuddin.
Tag
Komentar
Berita Terkait
-
Di Balik Kontroversi Ijazah Gibran Rakabuming Raka, Ini Profil Kampus MDIS Singapura
-
Sebut Geng Solo Virus di Kabinet, Soenarko : Keluarkan Menteri Diduga Korupsi dan Orang Jokowi
-
Investor Mundur dan Tambahan Anggaran Ditolak, Proyek Mercusuar Era Jokowi Terancam Mangkrak?
-
Heboh Akun Instagram Tunjukkan Gaya Flexing Pejabat dan Keluarganya, Asal-Usulnya Dipertanyakan
-
Perubahan Dagu Iriana Jokowi Dulu dan Sekarang Disorot: Tajam ke Bawah Kayak Hukum Indonesia
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Tak Ada Tawar Menawar! Analis Sebut Reformasi Polri Mustahil Tanpa Ganti Kapolri
-
Menjelajahi Jantung Maluku: "Buru Expedition" Wanadri Ungkap Kekayaan Tersembunyi Pulau Buru
-
Polemik Ijazah Gibran Tak Substansial tapi Jadi Gaduh Politik
-
Klarifikasi Ijazah Gibran Penting agar Tidak Ulangi Kasus Jokowi
-
Menkeu Purbaya Ultimatum ke Pengelolaan Program Makan Gratis: Nggak Jalan, Kita Ambil Duitnya!
-
Eks Kapolri Tegaskan Polri di Bawah Presiden: Perspektif Historis dan Konstitusional
-
J Trust Bank Desak Crowde Lebih Kooperatif dan Selesaikan Kewajiban
-
KPK: Penyidikan Korupsi Haji Tidak Mengarah ke PBNU
-
Ancol Rencanakan Reklamasi 65 Hektare, Pastikan Tak Gunakan Dana APBD
-
Dirut PAM Jaya Jamin Investor Tak Bisa Paksa Naikkan Tarif Air Pasca-IPO