Suara.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, Selasa (7/11/2017).
Penolakan uji materi tersebut praktis membuat narapidana kasus korupsi tidak bisa mendapat keringanan hukuman melalui jalur remisi.
Permohonan uji materi itu diajukan lima napi kasus korupsi, yakni Otto Cornelis Kaligis, Suryadharma Ali, Waryono Karno, Barnabas Suebu, dan Irman Gusman.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat di Gedung MK Jakarta, Selasa.
Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan meskipun para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, MK tidak memiliki wewenang untuk mengadili permohonan tersebut.
Berdasarkan pertimbangannya, MK menyebutkan hal yang dipersoalkan sesungguhnya adalah peraturan pelaksanaan dari UU 12/1995 yang telah didelegasikan kepada Peraturan Pemerintah.
"Sehingga keberatan terhadap hal itu telah berada di luar yurisdiksi Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya," ujar Hakim Konstitusi Manahan Sitompul, saat membacakan pertimbangan Mahkamah.
Kuasa hukum para Pemohon, Muhammad Rullyandi, menyebutkan bahwa dalam ketentuan a quo tidak tertulis narapidana kasus korupsi tak boleh mendapatkan remisi.
Baca Juga: Presiden Jokowi Pasang Bleketepe
Karenanya, Rullyandi mengatakan, seharusnya remisi juga menjadi hak para Pemohon meskipun para Pemohon adalah narapidana kasus korupsi.
Selain itu, para Pemohon juga berpendapat ketentuan a quo tidak sejalan dengan pasal 34A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang syarat pemberian remisi bagi narapidana korupsi.
Adapun syarat dari pemberian remisi dalam ketentuan tersebut adalah, narapidana akan diberikan remisi jika bersedia bekerja sama sebagai "justice collaborator", dan narapidana yang bersangkutan telah membayar lunas denda serta uang pengganti.
Dalam kasus korupsi, pihak yang berwenang untuk menentukan "justice collaborator" adalah penegak hukum yang dalam hal ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terkait hal ini, Rullyandi menyebutkan ketentuan ini jelas merugikan pihaknya, karena KPK dinilai para Pemohon akan bersikap subjektif dalam menentukan "justice collaborator".
Berita Terkait
Terpopuler
- Sunscreen untuk Usia 50-an Sebaiknya SPF Berapa? Cek 5 Rekomendasi yang Layak Dicoba
- Jusuf Kalla Peringatkan Lippo: Jangan Main-Main di Makassar!
- 5 Sunscreen Terbaik Harga di Bawah Rp30 Ribu agar Wajah Cerah Terlindungi
- 7 Mobil Sedan Bekas Mulai 15 Jutaan, Performa Legenda untuk Harian
- 24 Kode Redeem FC Mobile 4 November: Segera Klaim Hadiah Parallel Pitches, Gems, dan Emote Eksklusif
Pilihan
-
Comeback Dramatis! Persib Bandung Jungkalkan Selangor FC di Malaysia
-
Bisnis Pizza Hut di Ujung Tanduk, Pemilik 'Pusing' Berat Sampai Berniat Melego Saham!
-
Bos Pajak Cium Manipulasi Ekspor Sawit Senilai Rp45,9 Triliun
-
6 Kasus Sengketa Tanah Paling Menyita Perhatian di Makassar Sepanjang 2025
-
6 HP Memori 128 GB Paling Murah Terbaru 2025 yang Cocok untuk Segala Kebutuhan
Terkini
-
Konflik Lahan di Lebak Memanas, DPR Panggil Perusahaan dan KLHK
-
Di Hadapan Buruh, Aher Usul Kontrak Kerja Cukup Setahun dan Outsourcing Dibatasi
-
Aher Terima Curhat Buruh: RUU Ketenagakerjaan Jadi Sorotan, PHK Sepihak Jadi Ancaman
-
Tips Akhir Tahun Ga Bikin Boncos: Maksimalkan Aplikasi ShopeePay 11.11 Serba Hemat
-
Deolipa Tegaskan Adam Damiri Tidak Perkaya Diri Sendiri dalam Kasus Korupsi Asabri
-
Tak Hadir Lagi di Sidang Sengketa Tambang Nikel Haltim, Dirut PT WKS Pura-pura Sakit?
-
Gubernur Pramono Lanjutkan Uji Coba RDF Rorotan Meski Diprotes: Tidak Kapasitas Maksimum
-
Hasto: PDIP Dorong Rote Ndao Jadi Pusat Riset Komoditas Rakyat, Kagum pada Tradisi Kuda Hus
-
Di Rote Ndao, Hasto PDIP Soroti Potensi Wilayah Terluar RI
-
Gelar Pahlawan untuk Soeharto, KontraS: Upaya Cuci Dosa Pemerintah