Perwujudan yurisdiksi ekstrateritorialitas di gedung kedutaan ditunjukkan melalui ketentuan pasal 22 Konvensi Wina tahun 1961 tentang Hubungan Diplomatik yang telah diratfikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982.
Hukum ini mengatur larangan bagi alat-alat kekuasaan negara penerima untuk masuk dan menjalankan yurisdiksi di dalam kantor perwakilan diplomatik tanpa seijin kepala perwakilan.
Kekebalan diplomatik
Yurisdiksi ekstrateritorialitas juga memberikan kekebalan kepada para pejabat diplomatik dan gedung misi diplomatik di wilayah negara lain. Hal ini karena tidak mungkin hukum negara penerima bisa diberlakukan di wilayah negara asing, atau dalam hal ini wilayah negara pengirim.
Ada dua jenis kekebalan diplomatik yang diberikan, yakni inviolability dan immunity.
Inviolability merupakan hak untuk tidak diganggu gugat. Artinya, seorang pejabat diplomatik mempunyai hak untuk mendapat perlindungan dari negara penerima dalam menjalankan misi diplomatiknya. Sementara itu, immunity berkaitan dengan kekebalan dari yurisdiksi perdata maupun pidana.
Merujuk pada Pasal 22 Konvensi Wina 1961, kekebalan yang berlaku pada gedung kantor misi diplomatik meliputi kekebalan dari alat-alat kekuasaan negara penerima, serta hak untuk mendapatkan perlindungan dalam rangka keamanan dan kenyamanan perwakilan misi diplomatik tersebut.
Inggris sendiri merupakan salah satu dari banyak negara-negara di dunia yang memiliki kebijakan untuk memperjuangkan, membela, dan melindungi hak-hak kelompok LGBT+. Inggris berpendapat bahwa hak-hak LGBT+ adalah hak asasi manusia yang fundamental.
Oleh karena itu, wajar jika para pejabat diplomatik yang bertugas di Kedubes Inggris di Jakarta dengan gamblang menunjukkan dukungan mereka terhadap kelompok LGBT+. Mereka mengikuti aturan, sikap, dan agenda kebijakan dari Pemerintah Inggris langsung karena pejabat diplomatik adalah representasi dari negara pengirim.
Baca Juga: Pengibaran Bendera LGBT di Kedubes Inggris di Jakarta, Pemerintah RI Kecewa
Terlepas dari sikap pemerintah Indonesia dan mayoritas warga yang cenderung anti-LGBT+, pemerintah Inggris – juga negara manapun yang punya perwakilan diplomatik di Indonesia – berhak menunjukkan sikap berbeda di gedung kedutaan karena itu merupakan wilayah kedaulatan mereka.
Hal yang sama juga berlaku bagi para pejabat diplomatik pemerintah Indonesia pada kantor perwakilan diplomatik Indonesia di berbagai negara.
Mereka juga berhak menunjukkan sikap tertentu berdasarkan agenda kebijakan pemerintah Indonesia sekalipun itu berbeda dengan agenda kebijakan pemerintah dan sikap masyarakat di negara perwakilan diplomatik Indonesia itu berada, karena gedung kedutaan Indonesia di berbagai negara adalah juga bagian dari wilayah kedaulatan ekstrateritorial Indonesia.
Publik sebaiknya tidak hanya berpijak pada hukum nasional, tapi perlu juga melihat dari segi hukum internasional karena terkait dengan masalah hubungan antar negara.
Pemahaman yang baik seputar aturan hukum yang berlaku di wilayah gedung misi diplomatik penting untuk menjadi bekal bagi masyarakat untuk bertindak kala berada di seputar wilayah tersebut.
Artikel ini sebelumya tayang di The Conversation.
Berita Terkait
-
Indonesia Telanjang Digital di Depan Cina: Kalau Mereka Matikan Internet Hari Ini, Selesai Kita
-
Usung Make Indonesia Great Again, Partai Kedaulatan Rakyat Konsolidasi Menuju Pemilu 2029
-
Politik Pangan Nasional, SPI Ungkap Dugaan Pelemahan Bapanas Demi Impor
-
Mundur demi Harga Diri: Langkah Joao Mota Bongkar Masalah Kronis BUMN
-
Ironi Kedaulatan Pangan: Dirut Agrinas Mundur, Sindir 'Pembantu' Presiden Prabowo Soal Anggaran?
Terpopuler
- Terungkap! Kronologi Perampokan dan Penculikan Istri Pegawai Pajak, Pelaku Pakai HP Korban
- 5 Rekomendasi Motor yang Bisa Bawa Galon untuk Hidup Mandiri Sehari-hari
- 5 Bedak Padat yang Bagus dan Tahan Lama, Cocok untuk Kulit Berminyak
- 5 Parfum Aroma Sabun Mandi untuk Pekerja Kantoran, Beri Kesan Segar dan Bersih yang Tahan Lama
- 7 Pilihan Sepatu Lokal Selevel Hoka untuk Lari dan Bergaya, Mulai Rp300 Ribuan
Pilihan
-
Jenderal TNI Muncul di Tengah Konflik Lahan Jusuf Kalla vs GMTD, Apa Perannya?
-
Geger Keraton Solo: Putra PB XIII Dinobatkan Mendadak Jadi PB XIV, Berujung Walkout dan Keributan
-
Cetak 33 Gol dari 26 Laga, Pemain Keturunan Indonesia Ini Siap Bela Garuda
-
Jawaban GoTo Usai Beredar Usul Patrick Walujo Diganti
-
Waduh, Rupiah Jadi Paling Lemah di Asia Lawan Dolar Amerika Serikat
Terkini
-
Soal Tim Reformasi, DPR Harap Bukan Cuma 'Kosmetik': Polri Harus Kembali ke Mandat Konstitusi
-
Menko Yusril: Pemerintah Harus Berhati-hati Menentukan Siapa yang Layak Menerima Pengampunan Negara
-
Demi Netralitas, Anggota Komisi III DPR Sebut Polri Harus Tetap di Bawah Presiden
-
Soal Kerja Sama Keamanan RI-Australia, Legislator PDIP Ini Kasih 2 Catatan, Minta Prabowo Hati-hati
-
Babak Baru Kasus Korupsi CSR BI-OJK: KPK Kejar Aliran Dana, 2 Staf Ahli Heri Gunawan Diperiksa
-
Babak Baru Ledakan SMAN 72: Ayah Terduga Pelaku Diperiksa Intensif, Polisi Ungkap Fakta Ini
-
DPR-Pemerintah Mulai 'Bedah' 29 Klaster RUU KUHAP: Sejumlah Pasal Sudah Disepakati, Ini di Antaranya
-
Sisi Gelap Taman Daan Mogot, Disebut Jadi Lokasi Prostitusi Sesama Jenis Tiap Tengah Malam
-
Luruskan Simpang Siur, Ini Klarifikasi Resmi Aliansi Terkait 7 Daftar Organisasi Advokat yang Diakui
-
Kasus Femisida Melonjak, Komnas Perempuan Sebut Negara Belum Akui sebagai Kejahatan Serius