Suara.com - Komnas Perempuan meminta publik untuk tidak menyalahkan perempuan yang menjadi korban kekerasan. Sebagai korban, perempuan seharusnya dapat perlindungan termasuk juga dari orang-orang terdekatnya serta lingkungan.
Pernyataan itu disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang dalam upaya Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang sedang digaungkan di Indonesia selama 10 hari.
"Komnas Perempuan mendorong publik berhenti menyalahkan perempuan. Stop menyalahkan korban kekerasan termasuk berhenti menyalahkan seakan-akan perempuan sumber dari kekerasan itu," kata dalam acara media talk 'Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan: Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan' di Kantor Kementerian PPPA, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Veryanto menyampaikan bahwa Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan hendaknya menjadi momentum untuk mengajak semua pihak bersama-sama mencegah, menghapus, dan menangani kekerasan terhadap perempuan.
Setiap tahunnya, kampanye itu berlangsung selama 10 hari, yakni mulai dari 25 November, yang juga bertepatan sebagai Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
Ia juga menyampaikan bahwa kampanye ini sangat perlu untuk selalu disebarluaskan, mengingat kasus kekerasan di Indonesia juga masih terus terjadi.
Catatan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 2.560.571 kasus dalam 10 tahun terakhir.
Kasus paling banyak ialah Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang mencapai 2.522.659 kasus. Disusul, kekerasan seksual yang mencapai 143.893 kasus.
Dengan adanya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi angin segar terhdap penanganan kasus kekerasan seksual. Karena dalam UU tersebut negara lebih berpihak terhadap korban.
"Publik juga semakin menyadari bahwa kekerasan seksual tidak boleh dinormalisasi. Misalnya, catcalling kan sesuatu yang dianggap biasa. Tapi sejak ada UU TPKS, orang banyak yang sadar enggak boleh lagi, karena itu termasuk pelecehan seksual nonfisik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4," jelasnya.
Aparat penegak hukum juga dinilai semakin sadar bahwa penanganan hukum kekerasan seksual tidak boleh ditiadakan.
Sebab, diungkap Veryanto, dahulu kasus kekerasan seksual banyak juga yang diselesaikan dengan damai atau restorative justice.
Berita Terkait
Terpopuler
- 3 Mobil Bekas 60 Jutaan Kapasitas Penumpang di Atas Innova, Keluarga Pasti Suka!
- 5 Sepatu Lokal Senyaman Skechers, Tanpa Tali untuk Jalan Kaki Lansia
- 9 Sepatu Puma yang Diskon di Sports Station, Harga Mulai Rp300 Ribuan
- Cek Fakta: Viral Ferdy Sambo Ditemukan Meninggal di Penjara, Benarkah?
- 5 Sepatu New Balance yang Diskon 50% di Foot Locker Sambut Akhir Tahun
Pilihan
-
In This Economy: Banyolan Gen Z Hadapi Anomali Biaya Hidup di Sepanjang 2025
-
Ramalan Menkeu Purbaya soal IHSG Tembus 9.000 di Akhir Tahun Gagal Total
-
Tor Monitor! Ini Daftar Saham IPO Paling Gacor di 2025
-
Daftar Saham IPO Paling Boncos di 2025
-
4 HP Snapdragon Paling Murah Terbaru 2025 Mulai Harga 2 Jutaan, Cocok untuk Daily Driver
Terkini
-
Malam Tahun Baru di Bundaran HI Dijaga Ketat, 10 K-9 Diterjunkan Amankan Keramaian
-
Kapolri: Warga Patuh Tanpa Kembang Api, Doa Bersama Dominasi Malam Tahun Baru
-
8 Anak Terpisah dengan Keluarga di Malioboro, Wali Kota Jogja: Bisa Ditemukan Kurang dari 15 Menit
-
Menko Polkam Pastikan Malam Tahun Baru Aman: Tak Ada Kejadian Menonjol dari Papua hingga Lampung
-
Gus Ipul Pastikan BLTS Rp900 Ribu Jangkau Warga Terdampak Bencana di Sumatra
-
Diguyur Hujan, Massa Tetap Padati Bundaran HI di Malam Tahun Baru 2026
-
Belasan Nyawa Melayang di Galangan Kapal PT ASL Shipyard: Kelalaian atau Musibah?
-
Kawasan Malioboro Steril Kendaraan Jelang Tahun Baru 2026, Wisatawan Tumpah Ruah
-
Bantuan Rp15 Ribu per Hari Disiapkan Kemensos untuk Warga Terdampak Bencana
-
Tahun Baru 2026 Tanpa Kembang Api, Polisi Siap Matikan dan Tegur Warga!