Dosen dari Universitas Sulawesi Barat, Tata Kasmiati mengatakan, pengelolaan tambang oleh kampus berarti melenceng dari Tridharma Perguruan Tinggi. Mendidik, menciptakan inovasi teknologi, dan mentransfer hasil penelitian kepada komunitas untuk kemajuan bersama.
Selain itu, kampus menambang berpotensi menciptakan ketidakadilan internal. Saat ini, akademisi menghadapi beban administratif yang cukup besar. Jika universitas harus menambah beban kerja baru berupa aktivitas pertambangan, maka ini bukan hanya di luar kewajaran, tetapi juga dapat menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam struktur akademik universitas.
“Beban kerja akademisi yang meningkat akan mengurangi fokus pada tugas utama mendidik dan meneliti. Ketimpangan gender dalam dunia akademik akan terjadi, karena sektor pertambangan adalah industri yang didominasi oleh laki-laki. Serta hilangnya peran sebagai
pengawas independen, karena jika universitas menjadi pelaku tambang” katanya.
Baginya, pendidikan sebagai hak publik, bukan barang ekonomi. Menurutnya, alasan kampus harus menambang adalah untuk meningkatkan pendapatan universitas dan menurunkan biaya pendidikan adalah pemikiran yang keliru.
Dalam banyak sejarah konflik sosial di Indonesia terkait sektor ekstraktif, korporasi yang dilindungi kekuasaan selalu berhadap-hadapan dengan masyarakat.
Ilham Majid, dosen Universitas Musamus Merauke Papua Selatan mengatakan, izin pertambangan untuk perguruan tinggi, secara tidak langsung menggeser front konflik horizontal itu antara kampus dengan masyarakat.
Pada saat yang sama, katanya, terdapat indikasi bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendesentralisasikan pengelolaan tambang dari pusat ke aktor-aktor subnasional seperti kampus dan ormas. Tujuan kebijakannya, mengurangi resistensi masyarakat terhadap tambang dengan melibatkan institusi yang memiliki legitimasi moral dan intelektual.
“Pada akhirnya menciptakan konflik horizontal di masyarakat dengan menjadikan kampus sebagai bagian dari sistem pertambangan. Serta meredam kritik publik terhadap pertambangan dengan memberikan peran kepada universitas,” kata Ilham.
Secara spesifik, Ilham memberi konteks kehidupan sosial di Papua akibat eksploitasi sumber daya alam yang telah lama menjadi sumber konflik dan perampasan hak-hak masyarakat adat. Seperti yang terjadi pada Freeport, dampaknya bagi masyarakat setempat
sangat besar, termasuk kehilangan sumber penghidupan dan masalah sosial lainnya.
Baca Juga: Baleg DPR Sebut Pemerintah Sudah Setuju Kampus Bisa Kelola Tambang
“Contoh lain suku Marind di Merauke mengalami penurunan kesejahteraan akibat ekspansi industri yang merusak ekosistem tempat mereka bergantung. Angka stunting dan gizi buruk di Papua juga masih tinggi, karena masyarakat tercerabut dari akses sumber makanan alami mereka seperti sagu dan hasil hutan lainnya,” terangnya.
Menurutnya, manipulasi dan desentralisasi tambang ke kampus ini akan memperburuk citra komersialisasi kampus yang pada beberapa kasus nyata menghilangkan Independensi akademik.
“Ilmu pengetahuan tidak lagi menjadi prioritas utama kampus. Kampus kehilangan kebebasan akademiknya dan cenderung menghindari kritik terhadap kebijakan yang merugikan lingkungan.,” ujar dia.
Ironi SDGs dan Green Campus
Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM), Akbar Reza mengakui, saat ini suasana kampus terpecah dalam dua kutub merespon rencana kebijakan ini. Di mana secara umum, forum Rektor cenderung mendukung, sedangkan Majelis Dewan Guru Besar menolak. Beberapa dosen secara sporadis menyatakan sikap, namun menurutnya, belum ada konsolidasi kolektif yang menyeluruh.
Dalam isu kampus dan legitimasi pertambangan ini, ada benturan antara kompetensi, moralitas, dan krisis identitas.
Berita Terkait
-
Baleg DPR Sebut Pemerintah Sudah Setuju Kampus Bisa Kelola Tambang
-
Butuh Modal Besar hingga Risiko Rugi, Kampus Diminta Hati-hati Terima Izin Kelola Tambang
-
Hexindo Adiperkasa Tegaskan Komitmen di Industri Alat Berat dengan Dua Unit Baru
-
Tertangkap! Begini Modus 2 WN Korsel Raup Puluhan Miliar dari Bisnis Timah Ilegal di Bekasi
-
Vonis Bebas Bikin Heboh, DPR Curiga Ada Kongkalikong di Balik Kasus Tambang Emas Ilegal Kalbar
Terpopuler
- 19 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 5 Oktober: Ada 20.000 Gems dan Pemain 110-113
- Rhenald Kasali di Sidang ASDP: Beli Perusahaan Rugi Itu Lazim, Hakim Punya Pandangan Berbeda?
- Beda Pajak Tahunan Mitsubishi Destinator dan Innova Reborn, Lebih Ringan Mana?
- 3 Shio Paling Beruntung Pekan Kedua 6-12 Oktober 2025
- Jadwal dan Lokasi Penukaran Uang Baru di Kota Makassar Bulan Oktober 2025
Pilihan
-
Harga Emas Naik Berturut-turut! Antam Tembus Rp 2,399 Juta di Pegadaian, Rekor Tertinggi
-
Pihak Israel Klaim Kantongi Janji Pejabat Kemenpora untuk Datang ke Jakarta
-
Siapa Artem Dolgopyat? Pemimpin Atlet Israel yang Bakal Geruduk Jakarta
-
Seruan Menggetarkan Patrick Kluivert Jelang Timnas Indonesia vs Arab Saudi
-
Perbandingan Spesifikasi vivo V60 Lite 4G vs vivo V60 Lite 5G, Kenali Apa Bedanya!
Terkini
-
Kemenkes Percepat Sertifikat Higiene untuk SPPG, Cegah Risiko Keracunan MBG
-
KPK Cecar Kabiro Humas Kemnaker Soal Aliran Uang Hasil Pemerasan K3
-
Forum Debat Mahasiswa Semarang: Suarakan Kebijakan Publik dan Masa Depan Indonesia
-
Kuasa Hukum Beberkan Alasan: Penetapan Nadiem Makarim Sebagai Tersangka Dinilai Cacat Hukum
-
Dua Sekolah Internasional di Tangerang Selatan Dapat Teror Bom, Saat Dicek Ternyata Nihil
-
Tebuireng Disebut Jadi Contoh Bangunan Pesantren Ideal oleh Menteri PU
-
Biaya Hanya Rp 75 Ribu, Ini Daftar Lokasi SIM Keliling DKI Jakarta Hari Ini
-
Kementerian PU Akan Mulai Bangun Ulang Ponpes Al Khoziny yang Ambruk, Berapa Perkiraan Biayanya?
-
Anggaran Dipangkas Rp 15 Triliun, Gubernur DKI Siapkan Obligasi Daerah, Menkeu Beri Lampu Hijau
-
Dicecar KPK Soal Kuota Haji, Eks Petinggi Amphuri 'Lempar Bola' Panas ke Mantan Menag Yaqut