Suara.com - Kelompok militan Palestina, Hamas, pada Kamis (14/2) menyatakan bahwa krisis yang mengancam kelangsungan gencatan senjata di Gaza dapat dihindari, meskipun terdapat ketidakpastian mengenai jumlah sandera yang akan dibebaskan pada Sabtu serta perselisihan mengenai bantuan kemanusiaan.
Kesepakatan gencatan senjata yang telah berlangsung selama 42 hari nyaris runtuh pekan ini, seiring dengan tuduhan pelanggaran perjanjian dari kedua belah pihak. Perjanjian tersebut sebelumnya ditengahi oleh Mesir dan Qatar dengan dukungan Amerika Serikat.
Hamas Tolak Ancaman Israel dan AS
Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan tidak ingin gencatan senjata berakhir, tetapi menolak tekanan dari Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan Presiden AS, Donald Trump.
"Hamas menegaskan kembali komitmennya untuk melaksanakan perjanjian sebagaimana yang ditandatangani, termasuk pertukaran tahanan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan," kata kelompok tersebut dalam pernyataan resmi.
Pemimpin Hamas di Gaza, Khalil al-Hayya, tengah berada di Kairo untuk melakukan perundingan dengan pejabat keamanan Mesir guna mencari solusi atas hambatan yang masih ada.
Namun, ketegangan meningkat setelah Hamas menuduh Israel tidak memenuhi kesepakatan terkait peningkatan bantuan kemanusiaan. Hamas menyatakan bahwa tiga sandera yang dijadwalkan bebas pada Sabtu tidak akan dilepaskan hingga permasalahan ini diselesaikan.
Ancaman Israel
Sebagai respons, Netanyahu menginstruksikan pemanggilan pasukan cadangan dan mengancam akan melanjutkan operasi militer di Gaza jika sandera tidak dibebaskan sesuai jadwal.
Menteri Israel, Avi Dichter, menyatakan bahwa Hamas tidak memiliki pilihan selain menjalankan perjanjian yang telah disepakati. "Ada kesepakatan, mereka tidak bisa memberikan kurang dari yang telah disetujui," ujarnya dalam wawancara radio.
Sementara itu, sumber keamanan Mesir memperkirakan bahwa peralatan konstruksi berat akan masuk ke Gaza pada Kamis. Jika pengiriman ini terlaksana, Hamas diperkirakan akan membebaskan sandera pada Sabtu.
Baca Juga: Trump dan Putin Sepakat Damai Ukraina, Eropa Merasa Dikhianati?
Krisis Kemanusiaan di Gaza
Gencatan senjata ini menjadi krusial di tengah krisis kemanusiaan di Gaza. Hamas menyatakan bahwa Israel masih membatasi masuknya tenda, rumah mobil, pasokan medis, bahan bakar, serta alat berat yang diperlukan untuk membersihkan puing-puing.
Salama Marouf, kepala kantor media pemerintah di Gaza, mengatakan bahwa dari 200.000 tenda yang dibutuhkan, baru 73.000 yang masuk. Hingga kini, rumah mobil juga belum mendapat izin dari Israel.
Namun, COGAT, badan militer Israel yang mengawasi pengiriman bantuan, mengklaim bahwa 400.000 tenda telah dikirim, tetapi rumah mobil belum dikirim oleh negara-negara yang menyediakannya.
Pejabat bantuan internasional mengakui bahwa bantuan telah masuk, tetapi tetap menilai jumlahnya jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan jutaan warga Gaza yang terdampak perang.
Kontroversi Pernyataan Trump
Keraguan terhadap keberlanjutan gencatan senjata semakin kuat setelah pernyataan Presiden AS, Donald Trump, yang menyarankan pemindahan warga Palestina dari Gaza untuk mengembangkan wilayah itu sebagai properti tepi laut di bawah kendali AS.
Komentar tersebut menuai kecaman dari dunia Arab dan menambah ketegangan dalam perundingan damai.
Latar Belakang Konflik
Perang di Gaza dipicu oleh serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyebabkan lebih dari 250 orang disandera.
Israel merespons dengan serangan udara dan darat yang masif, menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza dan menewaskan lebih dari 48.000 warga Palestina, menurut data pejabat kesehatan setempat.
Saat ini, perundingan tahap kedua yang bertujuan membebaskan sandera yang tersisa serta menarik pasukan Israel dari Gaza mengalami hambatan. Para mediator berharap agar kesepakatan ini tetap berjalan guna menghindari eskalasi konflik lebih lanjut di kawasan Timur Tengah.
Berita Terkait
-
Trump dan Putin Sepakat Damai Ukraina, Eropa Merasa Dikhianati?
-
Bisakah Arab Saudi Yakinkan Trump untuk Pulangkan Warga Palestina ke Gaza?
-
Mesir Siap Kirim Bantuan Rekonstruksi Gaza, Israel Menolak Keras!
-
Erdogan Tegaskan Kemerdekaan Palestina Kunci Stabilitas Timur Tengah
-
Hamas Siap Lanjutkan Kesepakatan Tahanan, Akankah Sandera Israel Dibebaskan?
Terpopuler
- Pengamat Desak Kapolri Evaluasi Jabatan Krishna Murti Usai Isu Perselingkuhan Mencuat
- Profil Ratu Tisha dan Jejak Karier Gemilang di PSSI yang Kini Dicopot Erick Thohir dari Komite
- Bukan Denpasar, Kota Ini Sebenarnya Yang Disiapkan Jadi Ibu Kota Provinsi Bali
- Profil Djamari Chaniago: Jenderal yang Dulu Pecat Prabowo, Kini Jadi Kandidat Kuat Menko Polkam
- Tinggi Badan Mauro Zijlstra, Pemain Keturunan Baru Timnas Indonesia Disorot Aneh Media Eropa
Pilihan
-
6 Stadion Paling Angker: Tempat Eksekusi, Sosok Neti hingga Suara Misterius
-
Shell, Vivo Hingga AKR Bungkam Usai 'Dipaksa' Beli BBM dari Pertamina
-
Drama Stok BBM SPBU Swasta Teratasi! Shell, Vivo & BP Sepakat 'Titip' Impor ke Pertamina
-
Gelombang Keracunan MBG, Negara ke Mana?
-
BUMN Tekstil SBAT Pasrah Menuju Kebangkrutan, Padahal Baru IPO 4 Tahun Lalu
Terkini
-
Presiden Prabowo 'Ketok Palu!' IKN Resmi Jadi Ibu Kota Politik 2028 Lewat Perpres Baru
-
Penggugat Ijazah Gibran Bantah Bagian dari Musuh Keluarga Jokowi: Saya Tidak Sedang Mencari Musuh!
-
Rekam Jejak Wahyudin Anggota DPRD Gorontalo, Narkoba hingga Video Rampok Uang Negara
-
Bongkar Gurita Korupsi Pertamina, Kejagung Periksa Jaringan Lintas Lembaga
-
Guntur Romli Murka, Politikus PDIP 'Rampok Uang Negara' Terancam Sanksi Berat: Sudah Masuk Evaluasi!
-
Dasco: UU Anti-Flexing Bukan Sekadar Aturan, tapi Soal Kesadaran Moral Pejabat
-
Harta Kekayaan Minus Wahyudin Moridu di LHKPN, Anggota DPRD Ngaku Mau Rampok Uang Negara
-
Dapat Kesempatan Berpidato di Sidang Umum PBB, Presiden Prabowo Bakal Terbang ke New York?
-
SPBU Swasta Wajib Beli BBM ke Pertamina, DPR Sebut Logikanya 'Nasi Goreng'
-
Menkeu Purbaya hingga Dirut Pertamina Mendadak Dipanggil Prabowo ke Istana, Ada Apa?