Suara.com - Di tengah krisis iklim dan meningkatnya tekanan terhadap sumber daya alam, dunia kini dihadapkan pada pertanyaan besar: bagaimana memastikan ketersediaan pangan laut yang aman, sehat, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang?
Laut selama ini menjadi penyedia utama protein hewani bagi lebih dari 3 miliar penduduk dunia. Namun, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat bahwa sepertiga stok ikan global saat ini telah dieksploitasi secara berlebihan. Perubahan iklim, pencemaran laut, serta tata kelola yang lemah turut memperburuk kondisi. Negara-negara pesisir seperti Indonesia dan Malaysia berada di garis depan tantangan ini, karena ketergantungan tinggi terhadap hasil laut baik untuk konsumsi maupun ekonomi lokal.
Dalam lanskap yang berubah ini, akuakultur—atau budidaya laut—mulai mendapat perhatian sebagai solusi jangka panjang untuk menjaga ketahanan pangan laut. Sebuah studi terbaru dari Malaysia menyoroti bagaimana praktik budidaya bisa menjadi alternatif berkelanjutan saat perikanan tangkap mengalami stagnasi.
Studi tersebut, yang dipublikasikan dalam jurnal Frontiers in Sustainable Food Systems, merupakan kolaborasi antara lembaga riset internasional WorldFish, Universiti Sains Malaysia (USM), dan University of Tokyo. Hasilnya menunjukkan bahwa produksi ikan tangkap Malaysia saat ini masih mendominasi, dengan kontribusi sekitar 69 persen dari total produksi tahun 2022. Namun, volume produksi tersebut tidak mengalami pertumbuhan berarti dalam beberapa tahun terakhir.
Sebaliknya, sektor akuakultur terus mencatatkan pertumbuhan, kini menyumbang hingga 30 persen dari total produksi ikan nasional. Lebih dari setengah produksi budidaya ini berasal dari rumput laut—komoditas laut yang murah, ramah lingkungan, dan memiliki potensi ekonomi tinggi.
“Akuakultur memiliki potensi besar untuk menjawab kebutuhan pangan laut yang terus meningkat, terutama saat perikanan tangkap mulai mencapai batasnya,” jelas Dr. Cristiano Rossignoli dari WorldFish, melanir EurekaAlert!, Kamis (5/6/2025).
“Namun, keberlanjutan tetap menjadi tantangan utama. Kita perlu mendorong praktik budidaya yang bertanggung jawab dan mendukung petani kecil agar bisa ikut tumbuh,” ujarnya.
Meskipun prospektif, sektor ini belum lepas dari kendala. Studi tersebut menyoroti berbagai hambatan seperti terbatasnya akses terhadap hatchery dan benih unggul, fasilitas rantai dingin yang belum merata, serta regulasi yang sering menyulitkan pelaku usaha kecil. Banyak produsen skala kecil terancam tersingkir tanpa dukungan konkret.
Prof. Aileen Tan, Direktur Pusat Kajian Kelautan dan Pesisir USM, menegaskan bahwa Malaysia sedang mengalami pergeseran struktural dalam sistem pangan lautnya.
Baca Juga: GEF SGP Gandeng Universitas Ghent untuk Bangun Indonesia Berkelanjutan
“Ketika perikanan tangkap tidak lagi bisa diandalkan sepenuhnya, maka akuakultur harus diperkuat sebagai pilar utama. Namun, pendekatan ini harus inklusif—memastikan produsen kecil tidak tertinggal,” katanya.
Studi ini juga mencatat penurunan tingkat swasembada ikan Malaysia: dari 93 persen pada 2019 menjadi sekitar 90 persen pada 2022. Di sisi lain, permintaan domestik terhadap ikan tetap tinggi, mendorong lonjakan impor. Ini menjadi sinyal bahwa produksi dalam negeri perlu segera disesuaikan dengan tren konsumsi yang terus meningkat.
Sebagai solusi, laporan tersebut merekomendasikan reformasi kebijakan: mulai dari perluasan kapasitas hatchery, perbaikan infrastruktur pedesaan, hingga peningkatan investasi dalam riset dan pengembangan untuk mendorong inovasi dan daya saing sektor budidaya.
Temuan ini dirilis bertepatan dengan 25 tahun kehadiran WorldFish di Malaysia. Sejak memindahkan kantor pusat globalnya ke Penang pada tahun 2000, lembaga ini aktif bekerja sama dengan pemerintah, peneliti, dan masyarakat untuk membangun sistem pangan laut yang lebih tangguh di Asia.
Dalam konteks Indonesia, yang juga merupakan negara kepulauan dengan potensi akuakultur sangat besar, pembelajaran dari Malaysia ini menjadi relevan. Akuakultur yang terencana dan berkelanjutan dapat menjadi pilar penting dalam menghadapi tekanan terhadap laut, sekaligus membuka jalan menuju masa depan pangan laut yang lebih adil dan ramah lingkungan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Bak Bumi dan Langit, Adu Isi Garasi Menkeu Baru Purbaya Yudhi vs Eks Sri Mulyani
- Apa Jabatan Nono Anwar Makarim? Ayah Nadiem Makarim yang Dikenal Anti Korupsi
- Mahfud MD Bongkar Sisi Lain Nadiem Makarim: Ngantor di Hotel Sulit Ditemui Pejabat Tinggi
- Kata-kata Elkan Baggott Jelang Timnas Indonesia vs Lebanon Usai Bantai Taiwan 6-0
- Mahfud MD Terkejut dengan Pencopotan BG dalam Reshuffle Kabinet Prabowo
Pilihan
-
Studi Banding Hemat Ala Konten Kreator: Wawancara DPR Jepang Bongkar Budaya Mundur Pejabat
-
Jurus Baru Menkeu Purbaya: Pindahkan Rp200 Triliun dari BI ke Bank, 'Paksa' Perbankan Genjot Kredit!
-
Sore: Istri dari Masa Depan Jadi Film Indonesia ke-27 yang Dikirim ke Oscar, Masuk Nominasi Gak Ya?
-
CELIOS Minta MUI Fatwakan Gaji Menteri Rangkap Jabatan: Halal, Haram, atau Syubhat?
-
Hipdut, Genre Baru yang Bikin Gen Z Ketagihan Dangdut
Terkini
-
Usai Dicopot Prabowo, Benarkah Sri Mulyani Adalah Menteri Keuangan Terlama?
-
Inikah Ucapan yang Bikin Keponakan Prabowo, Rahayu Saraswati Mundur dari Senayan?
-
Suciwati: Penangkapan Delpedro Bagian dari Pengalihan Isu dan Bukti Rezim Takut Kritik
-
Viral Pagar Beton di Cilincing Halangi Nelayan, Pemprov DKI: Itu Izin Pemerintah Pusat
-
Temuan Baru: Brimob Dalam Rantis Sengaja Lindas Affan Kurniawan
-
PAN Tolak PAM Jaya Jadi Perseroda: Khawatir IPO dan Komersialisasi Air Bersih
-
CEK FAKTA: Isu Pemerkosaan Mahasiswi Beralmamater Biru di Kwitang
-
Blusukan Gibran Picu Instruksi Tito, Jhon: Kenapa Malah Warga yang Diminta Jaga Keamanan?
-
DPR Sambut Baik Kementerian Haji dan Umrah, Sebut Lompatan Besar Reformasi Haji
-
CEK FAKTA: Viral Klaim Proyek Mall di Leuwiliang, Benarkah?