Suara.com - Penelitian baru dari Stanford mengungkap betapa seriusnya dampak emisi pembangkit listrik tenaga batu bara terhadap hasil pertanian di India.
Di tengah tantangan pangan global, India menghadapi ancaman yang jarang dibicarakan: polusi udara dari pembangkit listrik tenaga batu bara yang menurunkan hasil panen beras dan gandum hingga 10 persen atau lebih per tahun.
Dampak ini tidak main-main. Gandum dan beras adalah dua bahan pokok utama bagi 1,4 miliar penduduk India—negara dengan populasi terbanyak kedua di dunia sekaligus rumah bagi seperempat orang yang mengalami kekurangan gizi secara global.
Apa yang Terjadi?
Dalam studi yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada 3 Februari lalu, para peneliti dari Stanford Doerr School of Sustainability menelusuri hubungan antara emisi pembangkit listrik dan produktivitas pertanian di sekitar 144 pembangkit listrik tenaga batu bara di India.
Mereka menggunakan data arah angin, intensitas pembangkitan listrik, dan konsentrasi nitrogen dioksida (NO)—gas polutan yang dihasilkan saat batu bara dibakar. Hasilnya, emisi ini memengaruhi kualitas udara di lahan pertanian hingga radius 100 kilometer dari lokasi pembangkit.
“Produktivitas tanaman sangat penting bagi ketahanan pangan dan masa depan ekonomi India,” kata David Lobell, profesor Stanford dan salah satu penulis utama studi, melansir EurekAlert!, Jumat (27/6/2025).
“Kita tahu bahwa kualitas udara yang lebih baik bisa membantu hasil panen, tapi ini adalah pertama kalinya kami bisa menghitung seberapa besar manfaatnya jika emisi dari batu bara dikurangi.”
Apa Dampaknya Bagi Pangan?
Baca Juga: Antara Liga Petani atau Plus Minus Liga 1: Thom Haye Bakal Berlabuh ke Mana?
Jika emisi pembangkit batu bara dieliminasi selama musim tanam utama—Januari–Februari untuk gandum, dan September–Oktober untuk padi—India berpotensi meningkatkan hasil beras senilai 420 juta dolar AS per tahun dan gandum sekitar 400 juta dolar AS per tahun.
Di beberapa wilayah, seperti negara bagian Chhattisgarh, emisi dari pembangkit batu bara menyumbang hingga 19 persen polusi NO di udara. Sementara di wilayah lain seperti Uttar Pradesh, kontribusinya lebih kecil—sekitar 3–5 persen—karena adanya sumber polusi lain seperti kendaraan dan industri.
Penelitian ini membuka mata bahwa polusi udara bukan hanya soal kesehatan manusia, tapi juga soal ketahanan pangan. Di 58 dari 144 pembangkit listrik yang dianalisis, kerugian hasil panen padi per unit listrik (per gigawatt-jam) bahkan melebihi dampak kematian akibat polusi. Hal serupa terjadi pada gandum di 35 pembangkit.
“Kebijakan yang diarahkan untuk mengurangi emisi bisa membawa manfaat besar, baik dari sisi kesehatan maupun pangan,” ujar Kirat Singh, peneliti utama studi ini.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Bagi pemerintah India—dan negara lain yang masih bergantung pada batu bara—temuan ini menjadi alarm penting. Upaya dekarbonisasi sektor energi kini punya alasan tambahan: menjaga produktivitas pertanian.
Bagi pembaca dan masyarakat global, isu ini memperkuat pentingnya transisi energi bersih, tidak hanya demi mengurangi emisi karbon dan menyelamatkan iklim, tapi juga untuk memastikan lahan pertanian tetap subur dan pangan tetap tersedia.
“Kita jarang menemukan satu tindakan yang bisa begitu cepat membantu pertanian—mengurangi emisi batu bara adalah salah satunya,” kata Lobell.
Mengapa Ini Relevan untuk Kita?
Walau studi ini berlangsung di India, pelajaran yang bisa diambil berlaku luas: polusi udara tak mengenal batas wilayah. Negara-negara berkembang yang bergantung pada batu bara menghadapi risiko serupa.
Jika kualitas udara menurun, produktivitas pangan pun ikut terdampak. Di tengah krisis iklim dan pangan, informasi ini sangat krusial bagi pengambil kebijakan dan masyarakat luas.
Berita Terkait
-
Studi: Bekas Tambang Batu Bara Bisa Diubah Jadi Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
-
Emiten Batu Bara Milik Grup Sinarmas Hadapi Pendangkalan Alur Pelayaran
-
MMSR: Batu Bara Masih Memiliki Keunggulan di Pasar Ekspor
-
Produksi Batu Bara Capai 21,35 Juta MT, BSSR Bagikan Dividen 75 Juta Dolar AS
-
Gasifikasi Batu Bara, Pekerjaan Rumah Tertunda Bukit Asam
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
Bernardo Tavares Cabut! Krisis Finansial PSM Makassar Tak Kunjung Selesai
-
Ada Adrian Wibowo! Ini Daftar Pemain Timnas Indonesia U-23 Menuju TC SEA Games 2025
-
6 Fakta Demo Madagaskar: Bawa Bendera One Piece, Terinspirasi dari Indonesia?
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaru, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
Terkini
-
BGN Enggan Bicara Sanksi untuk Dapur MBG, Malah Sebut Mereka 'Pejuang Tanah Air'
-
Agus Suparmanto Sah Pimpin PPP, Mahkamah Partai Bantah Dualisme Usai Muktamar X Ancol
-
DPRD DKI Sidak 4 Lahan Parkir Ilegal, Pemprov Kehilangan Potensi Pendapatan Rp70 M per Tahun
-
Patok di Wilayah IUP PT WKM Jadi Perkara Pidana, Pengacara: Itu Dipasang di Belakang Police Line
-
Divonis 16 Tahun! Eks Dirut Asabri Siapkan PK, Singgung Kekeliruan Hakim
-
Eks Dirut PGN Ditahan KPK! Terima Suap SGD 500 Ribu, Sempat Beri 'Uang Perkenalan'
-
Ikutilah PLN Journalist Awards 2025, Apresiasi Bagi Pewarta Penggerak Literasi Energi Nasional
-
Soal Arahan Jokowi Dukung Prabowo-Gibran 2 Periode, Gus Yasin: PPP Selalu Sejalan dengan Pemerintah
-
Rayakan HUT ke-80 TNI di Monas, Tarif Transportasi Umum Jakarta Jadi Rp80
-
Kepala BPHL Dicecar Pembangunan Jalan di Kawasan IUP PT WKM, Hakim: Saudara Kok Nggak Bisa Jawab!