Suara.com - Peneliti Transparancy International (TI) Indonesia Sahel Al Habsyi mengkritisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai memperpanjang birokrasi penanganan perkara tindak pidana korupsi sekaligus melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu yang menjadi persoalan ialah sejumlah ketentuan yang mengharuskan KPK berkoordinasi, mendapat arahan, kuasa, atau persetujuan, atau diperantarai oleh lembaga penegak hukum lain.
“Nah itu semuanya potensial untuk melemahkan KPK. Dulu dalam revisi undang-undang KPK dulu, kalau tidak salah ada ketentuan untuk penyadapan itu harus ada izin dari Dewas. Itu kemudian dibawa ke MK dan itu kemudian dianulir, betul ya? Karena itu masuk dalam proses penanganan perkara gitu ya,” kata Sahel dalam diskusi media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (22/7/2025).
Dia menjelaskan pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) saat itu ialah izin ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK dianggap mengganggu independensi KPK.
Namun, dalam draft RUU KUHAP sekarang, muncul ketentuan bahwa KPK harus mendapatkan izin dari pengadilan jika akan melakukan penyadapan.
“Gimana? Baca putusan MK enggak sih? Atau kalau baca, ngerti nggak sih? Jangan-jangan baca nggak ngerti. Apakah upaya paksa yang melibatkan izin pengadilan selalu buruk? Tidak. Tidak selalu buruk, tapi pahami ada perbedaan dalam jenis perkara, karakter perkara,” tegas Sahel.
“Dalam perkara korupsi, satu itu memperpanjang proses birokrasi, yang kedua itu berpotensi menciptakan kebocoran, yang ketiga bagaimana kalau yang dikejar bagian dari peradilan, bagian dari pengadilan. Ini repot lagi,” tambah dia.
Potensi memperpanjang birokrasi dalam kerja KPK juga terlihat dalam ketentuan mengenai koordinasi KPK yang diperantarai oleh APH untuk penuntutan yang harus disampaikan ke penuntut umum lewat ke penyidik polisi.
“Jadi, ini juga kalau tidak disebut sub koordinasi kelembagaan KPK, kalau tidak bisa disebut seperti itu, paling kurang ini melemahkan independensinya, paling kurang lagi ini membuat kerja KPK menjadi tidak efisien, menjadi kurang efisien. Jadi, sulit kita berusaha mencari nilai positifnya dari gagasan yang dibawa dalam KUHAP ini dan barangkali cacat logika juga,” tutur Sahel.
Baca Juga: Rismon Klaim Dokter Tifa Punya Bukti Baru soal Ijazah Palsu Jokowi: Bahaya bisa Timbulkan Chaos!
“Bukan barangkali, pasti cacat logika juga karena KPK ini kan didirikan, dia sebagai respons kegagalan APH lain memberantas korupsi. Jadi, KPK itu di dalam undang-undangnya sampai sekarang masih dikasih kewenangan supervisi terhadap APH lain,” lanjut dia.
Sahel juga menegaskan KPK memiliki fungsi trigger mechanism dengan mengambil alih perkara korupsi dari aparat penegak hukum lain yang penanganannya berlarut-larut.
Lantas, dengan perpanjangan birokrasi dalam penanganan perkara KPK, Sahel mempertanyakan siapa yang bisa mengambil alih perkara KPK jika penanganannya berlarut-larut akibat panjangnya birokrasi.
“Jadi, cacat logika tidak sesuai dengan ide awal pendirian KPK yang seharusnya mengakselerasi pemberantasan korupsi,” tandas Sahel.
Sederet Masalah RUU KUHAP
Sebelumnya, KPK menyampaikan 17 poin yang menjadi catatan permasalahan dalam RUU KUHAP. Poin-poin yang dinilai berpotensi melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu berisi beleid yang masih digodok DPR RI.
Berita Terkait
-
Rismon Klaim Dokter Tifa Punya Bukti Baru soal Ijazah Palsu Jokowi: Bahaya bisa Timbulkan Chaos!
-
Tak Gentar jika Tersangka? Rismon Sianipar Pasang Badan: Lawan Jokowi Harus Terima Risiko
-
Heboh Tudingan Prabowo, Cuitan Lawas Akun Gerindra 'Pembuat Hoax Terbaik Adalah Penguasa' Viral Lagi
-
Trending! Tuduh Demo Indonesia Gelap Didanai Koruptor, Prabowo Malah Buka Aib Sendiri?
-
Tabuh Perang? Prabowo Diminta Waspada usai Sebut Gerakan Sipil Didanai Koruptor: Hati-hati di Jalan
Terpopuler
- Lupakan Louis van Gaal, Akira Nishino Calon Kuat Jadi Pelatih Timnas Indonesia
- Mengintip Rekam Jejak Akira Nishino, Calon Kuat Pelatih Timnas Indonesia
- 7 Mobil Keluarga 7 Seater Seharga Kawasaki Ninja yang Irit dan Nyaman
- Link Download Logo Hari Santri 2025 Beserta Makna dan Tema
- 20 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 21 Oktober 2025: Banjir 2.000 Gems, Pemain 110-113, dan Rank Up
Pilihan
-
5 Laga Klasik Real Madrid vs Juventus di Liga Champions: Salto Abadi Ronaldo
-
Prabowo Isyaratkan Maung MV3 Kurang Nyaman untuk Mobil Kepresidenan, Akui Kangen Naik Alphard
-
Suara.com Raih Penghargaan Media Brand Awards 2025 dari SPS
-
Uang Bansos Dipakai untuk Judi Online, Sengaja atau Penyalahgunaan NIK?
-
Dedi Mulyadi Tantang Purbaya Soal Dana APBD Rp4,17 Triliun Parkir di Bank
Terkini
-
Advokat Junaedi Saibih Hingga Eks Direktur JakTv Didakwa Rintangi 3 Kasus Korupsi Besar
-
Prediksi Cuaca Hari Ini 23 Oktober 2025: Waspada Transisi Musim dan Hujan Lebat
-
Presiden Ramaphosa Apresiasi Dukungan Indonesia untuk Afrika Selatan: Sekutu Setia!
-
Hasto Ungkap Hadiah Spesial Megawati Saat Prabowo Ulang Tahun
-
Suami Bakar Istri di Jakarta Timur, Dipicu Cemburu Lihat Pasangan Dibonceng Lelaki Lain
-
Amnesty International Indonesia Tolak Nama Soeharto dalam Daftar Penerima Gelar Pahlawan Nasional
-
Dukung Revisi UU Hak Cipta untuk Lindungi Karya Jurnalistik, AMSI Serahkan Simbol Dukungan Ini
-
Prabowo Setujui Ditjen Pesantren, PDIP Siap 'Perkuat Narasi Patriotisme'
-
Polemik Utang Hingga Dugaan Markup Whoosh, PDIP Tugaskan Fraksi Lakukan Kajian
-
'Skema Mafia' Terbongkar: Rp 40 Miliar Digelontorkan untuk 'Beli' Vonis Lepas Korupsi CPO