Suara.com - Kelompok Tani Kampung Bayam Madani menolak menandatangani draf kontrak hunian yang disodorkan oleh PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk menempati Kampung Susun Bayam (KSB).
Pasalnya, isi perjanjian dinilai tidak sesuai dengan kesepakatan yang pernah dibuat bersama Gubernur Pramono Anung dan mengabaikan prinsip kesetaraan antara warga dan korporasi.
Ketua Kelompok Tani Kampung Bayam Madani, Furqon, menyatakan bahwa draf kontrak tersebut baru diterima pada Senin (28/7/2025) malam, padahal pertemuan dengan Wali Kota Jakarta Utara untuk membahasnya dijadwalkan keesokan harinya.
Keterbatasan waktu ini membuat pihaknya tidak memiliki cukup kesempatan untuk mempelajari dokumen secara mendalam.
"Karena kami belum sempat mempelajari isi draft tersebut, kami tidak berani menandatanganinya," kata Furqon kepada Suara.com, Selasa (30/7/2025).
Akibatnya, kelompok tani memutuskan untuk tidak menghadiri rapat dan hanya mengirimkan perwakilan untuk menyerahkan surat keberatan.
Sengketa ini merupakan babak baru dari polemik panjang yang dialami warga eks Kampung Bayam sejak tergusur untuk pembangunan Jakarta International Stadium (JIS).
Kampung Susun Bayam yang diresmikan pada Oktober 2022 oleh Gubernur Anies Baswedan saat itu, dimaksudkan sebagai solusi hunian bagi warga terdampak.
Namun, hingga kini warga belum dapat menempatinya karena berbagai persoalan, termasuk ketidaksepakatan soal tarif sewa dan status pengelolaan.
Baca Juga: Ketimpangan di Jakarta Meningkat, Pramono Bicara soal Orang Kaya Makin Kaya
Dua Poin Krusial yang Dipermasalahkan
Menurut Furqon, ada dua masalah fundamental dalam draf kontrak yang ditawarkan Jakpro. Pertama adalah kedudukan warga yang dinilai tidak setara.
Ia memandang Jakpro memposisikan warga sebagai pihak yang lemah dan hanya menerima keputusan secara pasif tanpa adanya ruang negosiasi yang adil.
"Ada dua poin. Pertama, soal kedudukan warga dan Jakpro dalam perjanjian harus setara. Dalam draf sebelumnya, posisi warga tidak jelas—seperti pihak yang hanya menerima," ujarnya.
Poin krusial kedua adalah tidak adanya kepastian hukum mengenai masa tinggal dan masa kerja di KSB.
Kelompok tani menuntut agar hak hunian dan hak kelola pertanian selama 30 tahun dicantumkan secara eksplisit dalam kontrak.
Berita Terkait
Terpopuler
- JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
- Nikmati Belanja Hemat F&B dan Home Living, Potongan Harga s/d Rp1,3 Juta Rayakan HUT ke-130 BRI
- 5 Mobil Diesel Bekas di Bawah 100 Juta, Mobil Badak yang Siap Diajak Liburan Akhir Tahun 2025
- Sambut HUT ke-130 BRI: Nikmati Promo Hemat Hingga Rp1,3 Juta untuk Upgrade Gaya dan Hobi Cerdas Anda
- Nikmati Segarnya Re.juve Spesial HUT ke-130 BRI: Harga Istimewa Mulai Rp13 Ribu
Pilihan
-
Pemerintah Naikkan Rentang Alpha Penentuan UMP Jadi 0,5 hingga 0,9, Ini Alasannya
-
Prabowo Perintahkan Tanam Sawit di Papua, Ini Penjelasan Bahlil
-
Peresmian Proyek RDMP Kilang Balikpapan Ditunda, Bahlil Beri Penjelasan
-
Resmi Melantai di Bursa, Saham Superbank Melambung Tinggi
-
Jadwal dan Link Streaming Nonton Rizky Ridho Bakal Raih Puskas Award 2025 Malam Ini
Terkini
-
Geledah Kantor dan Rumah Dinas Bupati Lampung, KPK Sita Uang Ratusan Juta Rupiah
-
Pemerintah Bangun 2.603 Hunian Tetap Korban Bencana di Sumatra Mulai Bulan Ini
-
Bagaimana Perubahan Iklim Bisa Tingkatkan Ancaman Penyakit Zoonosis?
-
Prabowo Mau Tanam Sawit di Papua, Anggota Komisi IV DPR Ingatkan Pengalaman Pahit di Berbagai Daerah
-
Mahfud MD Sebut Potensi Pelanggaran HAM di Kasus Ijazah Jokowi, Ini Penjelasannya
-
DPR Apresiasi Peta Jalan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Negara Diminta Buka Tabir Kebenaran
-
Anggaran Fantastis Belasan Triliun Rupiah Digelontorkan untuk Guru Keagamaan di 2026
-
WALHI Kritik Rencana Prabowo Tanam Sawit dan Tebu di Papua: Tak Punya Hati dan Empati!
-
7 Fakta Ganjil Kebakaran Ruko Terra Drone: Izin Lolos Tanpa Tangga Darurat?
-
Fakta Baru Kebakaran Ruko Terra Drone: Pemilik Lepas Tangan, Perawatan Rutin Nihil